Perspektif Agama-agama tentang Martabat Manusia dan Hak Asasi Manusia Diangkat dalam Diskusi Konferensi Lintas Agama


admin
17 Sep 2025 22:43
JAKARTA, PGI.OR.ID – Sesi II Inter-Religious Conference on Freedom of Religion and Rights of Religious Minorities in Asia menghadirkan diskusi tematik bertajuk Upholding the Values of Human Dignity and Human Rights: Inter-religious Perspectives. Dalam sesi ini, lima narasumber dari berbagai tradisi agama memaparkan pandangan mereka mengenai martabat manusia dan hak asasi manusia. Mereka adalah Phramaha Napan Thawornbanjob (Buddhisme, Thailand), Pdt. Jacklevyn F. Manuputty (Kristen, Indonesia), Swami Gururethnam Jnana Thapaswi (Hindu, India), Prof. Dr. Musdah Mulia (Islam, Indonesia), dan Rachpal Singhsrisethi (Sikh, Thailand).
Imago Dei dan Missio Dei
Dalam pemaparannya, Pdt. Jacky Manuputty menekankan bahwa Asia merupakan rumah bagi keragaman agama terbesar di dunia, namun sekaligus menyimpan paradoks berupa meningkatnya intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan berbasis agama. Menurutnya, meskipun Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) menjamin kebebasan beragama, kenyataannya di lapangan minoritas agama masih hidup di bawah ancaman serius.
“Agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian justru sering dipakai untuk menjustifikasi kebencian, nasionalisme sempit, dan kekerasan politik,” tegas Ketua Umum PGI tersebut.
Dari perspektif Kristen, Manuputty menjelaskan konsep Imago Dei—bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27). Konsep ini, menurutnya, bukan sekadar doktrin gereja, melainkan etika universal yang mengafirmasi martabat setiap manusia. Jika setiap orang adalah citra Allah, tidak seorang pun boleh diperlakukan inferior karena keyakinannya; hak-hak minoritas adalah konsekuensi pengakuan martabat ilahi, bukan sekadar konsesi politik.
Ia menambahkan, gagasan serupa juga hadir dalam tradisi lain: prinsip karamah insaniyah dalam Islam, konsep kesalingterhubungan (interbeing) dalam Buddhisme, keyakinan bahwa setiap Atman adalah percikan Brahman dalam Hindu, serta harmoni kosmik dalam tradisi leluhur Asia. “Dengan demikian, Imago Dei dapat menjadi bahasa bersama yang memungkinkan kita bergerak dari sekadar toleransi menuju solidaritas spiritual,” ujarnya.
Manuputty juga menyinggung konsep Missio Dei, bahwa Allah sendiri adalah Subyek utama misi. Misi bukanlah proyek gereja, melainkan inisiatif Allah yang mengutus umat beriman untuk karya pendamaian dan pemulihan seluruh ciptaan. “Dengan menggabungkan Imago Dei dan Missio Dei, kita menemukan etika interfaith yang kokoh. Dialog antaragama bukan sekadar strategi damai, tetapi partisipasi dalam misi Allah bagi seluruh umat manusia dan bumi,” tandasnya.
Martabat dalam Perspektif Islam dan Sikh
Prof. Dr. Musdah Mulia memulai dengan menegaskan bahwa semua agama mengakui martabat manusia dan mempromosikan HAM. Karena itu, setiap agama menolak ketidakadilan, diskriminasi, serta menekankan kesederhanaan, empati, dan keadilan sosial. Namun, menurutnya, realitas di banyak masyarakat justru menunjukkan paradoks keagamaan. Mengutip data Pew Research Centre, masyarakat yang sangat religius sering kali justru ditandai korupsi, kejahatan, dan konflik, sebagaimana terlihat di Indonesia, Nepal, dan Filipina.
Merujuk Al-Qur’an, ia menegaskan bahwa manusia adalah khalīfah fil-ardh (wakil Allah di bumi) yang setara tanpa memandang ras, gender, atau status. Martabat manusia adalah anugerah ilahi (Q. 17:70), yang menuntut manusia menjalankan amanah amar ma‘rûf nahi munkar.
Sementara itu, Rachpal Singhsrisethi menyoroti perspektif Sikhisme, agama yang lahir pada abad ke-15 melalui ajaran Guru Nanak Dev Ji di tengah sistem kasta, diskriminasi gender, dan tirani sosial. Pesan Guru Nanak, menurutnya, sangat revolusioner: hanya ada satu Tuhan dan satu umat manusia, sehingga semua orang sama tanpa memandang kasta, ras, atau agama.
Martabat sejati, jelasnya, tidak ditentukan oleh status atau kekayaan, melainkan dari hidup jujur, bekerja keras, berbagi dengan sesama, dan senantiasa mengingat Tuhan. Karena itu, Guru Nanak menolak sistem kasta dan mengajarkan kesetaraan yang universal.
Menegaskan perspektif narasumber yang lain, Bhante Napan Santibhaddo dari Thailand menyatakan bahwa untuk menegakkan nilai martabat manusia dan hak asasi manusia, kita perlu membuka hati untuk membuka ruang nyata; membuka ruang nyata untuk membuka hati; dan membuka ruang virtual untuk membuka baik ruang nyata maupun hati.
_1758267510.jpeg)
Respons Peserta
Sesi yang dimoderatori oleh Pdt. John Gilmore ini mendapat sambutan hangat. Peserta tidak hanya mengajukan pertanyaan, tetapi juga memberikan saran dan refleksi, menegaskan relevansi perspektif lintas agama dalam memperjuangkan martabat manusia dan hak asasi di tengah situasi global yang semakin kompleks.
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Christian Conference of Asia (CCA) Highlights Country-Specific Challen...
Jakarta, Indonesia – September 18, 2025 – The second day of the Inter-Religious Conference on Freedom of R...
When Faiths Collide and Converse: CCA Inter-religious Conference Testi...
Jakarta’s afternoon was heavy with humidity. On the fifth floor of the Communion of Churches in Indonesia (P...
Christian Conference of Asia – Inter-Religious Conference on Freedom...
A Historic Convergence in JakartaJakarta became the stage for a defining moment in Asia’s interfaith history...