Kebangkitan Agama dalam Politik dan Hak-Hak Minoritas Jadi Sorotan Pembukaan Konferensi Lintas Agama di Jakarta
_1758252759.jpeg)

admin
17 Sep 2025 22:31
JAKARTA, PGI.OR.ID — Sesi pembukaan Inter-Religious Conference on Freedom of Religion and Rights of Religious Minorities in Asia (Konferensi Lintas Agama tentang Kebebasan Beragama dan Hak-Hak Minoritas Agama di Asia) dimulai hari ini, 17 September 2025, di Grha Oikoumene, Jakarta. Acara dibuka dengan ceramah utama yang disampaikan oleh Dr. Mathews George Chunakara, Sekretaris Jenderal Christian Conference of Asia (CCA).
Dalam ceramah berjudul “Resurgence of Religion in Politics, Freedom of Religion, and Rights of Religious Minorities in Asia”, Dr. Chunakara memaparkan analisis yang mendapat perhatian besar dan antusiasme dari para peserta. Paparan ini menjadi landasan penting serta pengantar yang jelas dan tajam bagi rangkaian diskusi yang akan berlangsung selama tiga hari ke depan.
Sebagai akademisi dan tokoh lintas agama, Dr. Chunakara mengulas peran agama yang terus berkembang dalam politik global maupun Asia. Ia menegaskan bahwa, bertolak belakang dengan anggapan modernisasi dan sekularisasi akan melemahkan peran agama di ruang publik, justru beberapa dekade terakhir menunjukkan kebangkitan agama dalam kehidupan politik dan sosial, khususnya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Menurutnya, agama kini semakin berperan menentukan dalam melegitimasi maupun mendelegitimasi rezim politik, bukan hanya memengaruhi ranah iman pribadi, tetapi juga tata kelola dan kebijakan publik.
Ceramah tersebut juga menyoroti isu kontroversial terkait undang-undang penodaan agama dan penghujatan. Ia mencatat bahwa lebih dari 70 negara masih memberlakukan hukum semacam ini, yang dengan rumusan kabur dan tidak tepat kerap disalahgunakan. Hukum tersebut, tegasnya, sering diterapkan secara diskriminatif terhadap minoritas agama maupun pihak yang berbeda pandangan politik, sehingga meruntuhkan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Dari perspektif hak asasi, hukum ini lebih berfungsi sebagai instrumen represi daripada perlindungan.
Untuk memperluas kerangka pemahaman, Dr. Chunakara meninjau instrumen internasional penting di bidang hak asasi manusia, termasuk Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1966), serta sejumlah deklarasi PBB tentang intoleransi, diskriminasi, dan hak-hak minoritas. Ia menekankan bahwa standar global ini sebenarnya memberi jaminan jelas atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun implementasinya di berbagai negara Asia masih lemah dan tidak konsisten.
Lebih jauh, ia menggambarkan Asia sebagai kawasan yang kaya akan keragaman budaya dan agama—rumah bagi agama-agama besar dunia seperti Buddha, Kristen, Hindu, Islam, Sikh, Tao, serta berbagai kepercayaan lokal. Sejarah Asia, katanya, mencerminkan pluralisme dan koeksistensi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, intoleransi justru meningkat, seringkali dengan kekerasan. Ia menyoroti tren “othering” atau pengucilan, ketika kelompok minoritas diperlakukan sebagai ancaman, serta politisasi agama yang memicu perpecahan, konflik komunal, hingga persekusi.

Perkembangan yang sangat memprihatinkan, lanjutnya, adalah aliansi antara aktor politik dengan pemimpin agama yang mengambil posisi radikal. Koalisi ini memanfaatkan agama sebagai alat mobilisasi elektoral, yang pada akhirnya meminggirkan komunitas minoritas dan membatasi kebebasan beragama mereka. Laporan dari berbagai negara Asia menunjukkan meningkatnya permusuhan, mulai dari pelecehan verbal, diskriminasi, hingga serangan kekerasan terhadap minoritas agama.
Dr. Chunakara menegaskan bahwa persoalan utamanya bukan pada agama itu sendiri, melainkan manipulasi agama untuk kepentingan politik dan sektarian. Dampaknya adalah melemahnya perlindungan konstitusional serta terkikisnya kebebasan sipil bagi semua orang. Ia menyerukan perlunya advokasi yang lebih kuat, solidaritas, dan kerja sama lintas iman untuk menghadapi tantangan tersebut. Ia menekankan bahwa kebebasan beragama adalah perlindungan bagi individu dan komunitas, bukan perisai bagi agama dari kritik.
“Mengelola kompleksitas kebebasan beragama di Asia membutuhkan kombinasi antara nilai-nilai universal dan kepekaan budaya,” ujarnya. “Hanya melalui upaya kolektif kita dapat memastikan martabat, kesetaraan, dan hidup berdampingan secara damai bagi semua komunitas.”
Dr. Pradit Takerngrangsarit dari Church of Christ, Thailand, selaku moderator menggarisbawahi bahwa hak-hak religius dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor dan aspek, seperti hukum, politik, budaya, dan faktor sosial. Tantangan dan masalah yang masih berlanjut hingga saat ini adalah menyeimbangkan kebebasan beragama dengan penghormatan terhadap status keagamaan, menangani diskriminasi dan integrasi sosial bagi kelompok agama minoritas, serta memastikan bahwa hak-hak beragama dilindungi sambil memelihara harmoni sosial. Kelompok minoritas mungkin menghadapi hambatan sosial atau perbedaan regional yang mempengaruhi hak-hak agama mereka dan integrasi sosial.
Paparan Dr. Chunakara mendapat respons yang sangat positif dan diapresiasi para peserta, serta memberikan gambaran komprehensif mengenai kebangkitan agama dalam politik serta tantangan yang dihadapi minoritas agama di Asia. Konferensi ini akan berlanjut selama tiga hari dengan agenda dialog, kolaborasi, dan advokasi di antara para pemimpin lintas iman, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil.
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Christian Conference of Asia (CCA) Highlights Country-Specific Challen...
Jakarta, Indonesia – September 18, 2025 – The second day of the Inter-Religious Conference on Freedom of R...
When Faiths Collide and Converse: CCA Inter-religious Conference Testi...
Jakarta’s afternoon was heavy with humidity. On the fifth floor of the Communion of Churches in Indonesia (P...
Christian Conference of Asia – Inter-Religious Conference on Freedom...
A Historic Convergence in JakartaJakarta became the stage for a defining moment in Asia’s interfaith history...