Preloader
PGI.OR.ID

Alamat

Jalan Salemba Raya No. 10
Jakarta Pusat (10430)

Hotline

021-3150451

021-3150455

021-3908118-20

Alamat Email

mailto:info@pgi.or.id

Membaca Ulang Kebebasan Beragama Melalui Paradigma Keadilan Relasional: Sekum PGI Buka Arah Diskusi SAA ke-39

Thumbnail
Author

admin

20 Nov 2025 14:07

Share:

BANDUNG, PGI.OR.ID — Mengusung tema “Memperjuangkan Keadilan, Merawat Kerukunan: Perjalanan Bersama Agama-agama dan Kepercayaan Menuju Indonesia yang Adil dan Rukun”, Seminar Agama-agama (SAA) ke-39 memasuki hari kedua dengan suasana diskusi yang semakin menguat. Sekitar 120 peserta dari berbagai wilayah Indonesia—terdiri dari akademisi, aktivis, praktisi, serta para pemerhati isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) lintas iman—menghadiri rangkaian kegiatan yang dirancang untuk memperdalam pemahaman bersama mengenai tema besar SAA tahun ini.

Pada sesi pembuka hari kedua, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan, menyampaikan kajian pemantik yang menjadi landasan bagi diskusi selama tiga hari ke depan. Dalam pemaparannya, Pdt. Darwin menegaskan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dipahami secara sempit sebagai persoalan hukum semata, tetapi harus dilihat sebagai isu moral, etis, dan relasional dalam masyarakat yang majemuk. Ia mengingatkan bahwa meski UUD 1945 dan ICCPR menjamin kebebasan beragama, implementasinya di lapangan kerap terbentur tafsir tentang “nilai agama” dan “ketertiban umum.” Karena itu, menurutnya, perdebatan KBB di Indonesia pada hakikatnya merupakan pertemuan dua paradigma besar: kebebasan yang menekankan hak individu dan harmoni yang menekankan nilai sosial, sebagaimana juga diulas oleh akademisi Zainal Abidin Bagir.

Pdt. Darwin mengurai lebih jauh ambiguitas UUD 1945 pasca-amandemen. Pasal 28E dan 28I menyatakan kebebasan beragama sebagai hak yang tidak dapat dikurangi, tetapi Pasal 28J membuka ruang pembatasan. Ketegangan inilah yang memunculkan tarik-menarik antara perlindungan HAM dan stabilitas sosial. Dalam praktik, negara lebih sering menonjolkan stabilitas, sehingga hak minoritas kerap dinegosiasikan atau bahkan dikompromikan. “Dalam sejumlah kasus pelanggaran KBB, negara memilih meredam gejolak ketimbang menegakkan konstitusi,” tegasnya.

Ia kemudian menempatkan persoalan ini dalam kerangka lebih luas mengenai posisi Indonesia sebagai negara religius non-konfesional. Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga tidak menetapkan satu agama resmi. Sistem ini sejalan dengan apa yang oleh Jeremy Menchik sebut godly nationalism, sebuah nasionalisme yang berlandaskan nilai ketuhanan sebagai moral publik. Model ini menghargai hak-hak asasi, tetapi sekaligus menjaga moralitas kolektif. Namun, Pdt. Darwin mengingatkan adanya sisi gelap—yakni kemungkinan dominasi tafsir nilai ketuhanan oleh kelompok mayoritas atau yang dekat dengan kekuasaan. Kasus Ahmadiyah, Syiah Sampang, hingga GKI Pos Yasmin menunjukkan bagaimana “kerukunan” kadang dibangun dengan mengorbankan kelompok rentan. “Kerukunan semacam itu seperti ruang tunggu dokter gigi: tampak tenang, tetapi dipenuhi orang yang menahan sakit,” ujarnya.

Untuk keluar dari paradigma lama ini, Sekum PGI menawarkan pendekatan keadilan relasional. Ia mengutip pemikiran Anthony Duff tentang keadilan sebagai komunikasi moral; Nancy Fraser yang menekankan aspek distribusi, pengakuan, dan representasi; Margaret Urban Walker tentang pemulihan jaringan kepercayaan; serta John Paul Lederach yang memadukan kebenaran, kasih, keadilan, dan perdamaian dalam kerangka rekonsiliasi. Dari sini ia menegaskan bahwa keadilan tidak mungkin bertahan tanpa relasi yang sehat, dan relasi tidak sehat tanpa keadilan.

Kasus GKI Pos Yasmin menjadi ilustrasi penting keadilan relasional. Putusan Mahkamah Agung tidak serta-merta menyelesaikan ketegangan sosial. Butuh mediasi panjang hingga gereja dapat diresmikan kembali pada 2022. Menurutnya, proses ini memperlihatkan bahwa hak dan harmoni bisa bertemu melalui paradigma keadilan relasional.

Sekum PGI menutup paparannya dengan menegaskan pentingnya fondasi etis lintas agama seperti Golden Rule dan kearifan lokal “asah, asih, asuh” sebagai landasan moral bangsa, yang memungkinkan keadilan relasional dihidupi. Kebebasan beragama, ujarnya, harus dipahami sebagai proyek moral nasional yang menuntut praksis keadilan relasional  dari negara, masyarakat sipil, dan komunitas agama.

Dengan materi pembukaan yang disajikan oleh Sekum PGI, sesi-sesi SAA ke-39 diharapkan menjadi ruang refleksi strategis untuk memperdalam pemahaman, memperkuat jejaring, dan merumuskan langkah bersama dalam memajukan kebebasan beragama di Indonesia. (EDP)

Berikan Komentar

Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *

Komentar *
Nama Lengkap *
Email *
Website
(optional)

Berita & Peristiwa
TAB Angkatan VI Goes to Yogyakarta: 30 Pemuda Multikultural Dilatih Me...
by admin 26 Nov 2025 01:24

YOGYAKARTA.PGI.OR.ID – Sebanyak 30 pemuda dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, dan budaya berkum...

Kick Off Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak 2...
by admin 24 Nov 2025 14:23

JAKARTA,PGI.OR.ID-Dunia kembali diingatkan untuk membangun solidaritas dalam rangka melawan segala bentuk keke...

Refleksi Kemanusiaan: Ajakan dari Kedalaman Nurani

Lembang, 21 November 2025 – Di aula Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) Lembang, tempat berlangsungnya sem...