Preloader
PGI.OR.ID

Alamat

Jalan Salemba Raya No. 10
Jakarta Pusat (10430)

Hotline

021-3150451

021-3150455

021-3908118-20

Alamat Email

mailto:info@pgi.or.id

Cegah dan Tangani KDRT: Menjadikan Gereja Agen Perobahan demi Menghentikan Kekerasan

Thumbnail
Author

admin

13 Aug 2025 01:31

Share:

JAKARTA,PGI.OR.ID-Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi isu yang cukup tinggi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di lingkungan komunitas beragama seperti gereja. Meski nilai-nilai kasih dan perdamaian dijunjung tinggi, realita menunjukkan bahwa banyak kasus KDRT yang tidak terlaporkan karena stigma, rasa malu, atau kurangnya pengetahuan akan hak, dan perlindungan hukum.

Mengulik kondisi ini, PGI melalui Biro Keluarga dan Anak (BKA), serta bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) menginisiasi Webinar bertajuk Tanggungjawab Bersama untuk Mencegah dan Menangani KDRT, pada Senin (11/8/2025).

Untuk memperkaya webinar, empat narasumber dihadirkan, Pdt. Ira Imelda (MPH-PGI), Dwi Yuliawati (UN Women Indonesia), Dahlia Madani (Komnas Perempuan), dan Pdt. The Paw Liang (Bilangan Research Center). Selain itu, testimoni dua orang pejuang perempuan di lapangan, Cerry Carolina Laisina (YPIM Maluku), serta Ester Mantaon (Rumah Harapan GMIT).

“Sering kita membayangkan gereja itu sebagai rumah rohani, tempat di mana kasih berdiam, di mana damai bersemayam dan bertumbuh. Tapi hari ini kita harus akui sebuah ironi, di balik tembok gereja, bahkan rumah tangga yang disebut rumah tangga Kristen, ada suara yang tidak terdengar, ada jeritan yang ditahan, ada tubuh yang memar. KDRT bukan isu jauh di luar sana, KDRT ini isu di sekitar kita, ia bisa saja terjadi pada jemaat, bahkan pada keluarga yang duduk di bangku depan ibadah setiap minggu,” ujar Ketua Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty dalam sambutan pembuka. 

Pada kesempatan itu, ia pun mengingatkan pentingnya gereja memiliki data berbasis jemaat terkait kasus KDRT. “Saya sering sampaikan ke sinode atau atau jemaat coba melakukan survei tertutup untuk mengetahui berapa banyak kekerasan terjadi dalam rumah tangga di setiap jemaat, supaya pelayanan bisa dibangun berdasarkan data riil yang tersedia,” tandasnya.

Secara periodik, lanjut Pdt. Jacky Manuputty, data tersebut diuji kembali. Jika masih tinggi berarti pelayanan sebagai gereja belum pas. “Misalnya nanti setiap tiga bulan data itu kita uji, jika tetap tinggi, maka kita harus melihat, memproses bagaimana metode-metode intervensi yang harus dilakukan. Data-data seperti itu secara grafis bisa ditampilkan di depan supaya orang gelisah, dan semua komponen pelayanan melihat bahwa ini ada masalah dengan jemaat kita, ada masalah dengan gereja kita,” tandas pendeta GPM ini.

Menurutnya, webinar ini bukan sekadar agenda Biro Keluarga dan Anak PGI, melainkan sebagai ujian moral bagi gereja-gereja di Indonesia apakah hanya akan menjadi penonton dari statistik KDRT, atau akan menjadi agen perobahan yang berani menggoncang struktur yang nyaman demi menghentikan kekerasan.

Ketum PGI mengajak agar menjadikan gereja bukan hanya rumah ibadah, tetapi rumah yang aman bahkan rumah pemulihan milik jemaat. Selain itu, menghentikan budaya diam, dan mewariskan pada generasi mendatang iman yang berani berkata tidak ada kekerasan di rumah Tuhan.

Mengawali webinar, Pdt. Ira Imelda memaparkan secara komprehensif apa yang telah dilakukan PGI dalam rangka melawan KDRT, di antaranya sosialisasi UU PKDRT, membuat modul pelatihan trafficking, pelatihan kesehatan reproduksi, dan seminar 16 Hati Anti Kekerasan. Bahkan di masa Covid 19, PGI menggelar diskusi terkait pemberdayaan ekonomi keluarga, pelatihan paralegal, serta membuat panduan kebijakan responsif gender, advokasi gereja dan pekerja migran, serta pembuatan modul paralegal.

Lebih jauh dijelaskan, sesungguhnya menjadi harapan dan tantangan untuk menjadikan gereja sebagai ruang aman dan pelindung. Namun tidak semua gereja siap menangani KDRT. Sebab itu pentingnya gereja sebagai rumah aman. “KDRT itu melukai tubuh Kristus, maka gereja tidak boleh diam, perhatikan tanda-tanda kekerasan, bersuara untuk yang bungkam, dan bertindak melindungi korban. Bersama hentikan lingkar kekerasan dan ubah menjadi lingkar kasih,” tandasnya.

Sementara itu, Dahlia Madani dari Komnas Perempuan memaparkan data terkini terkait kasus KDRT. Disampaikan bahwa data pengaduan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2024 menunjukkan tren kasus yang paling banyak terjadi adalah kekerasan terhadap istri/KTI (5.950). Data ini juga menunjukkan bahwa data dalam lingkup KDRT (KTI, KTAP, RP lain) sebanyak 83,70% dari total data pelaporan di ranah personal.

Menurut Komnas Perempuan, tingginya data KTI juga menunjukkan ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 20 tahun implementasi UU PKDRT masih mengalami hambatan dan tantangan.

Berdasarkan data pengaduan Komnas Perempuan, tidak sedikit korban yang memilih untuk melepaskan belenggu KDRT dengan menempuh jalur hukum. Terdapat 132 kasus (19.6%) korban yang berani melaporkan kasusnya ke Kepolisian. Namun, korban masih menghadapi hambatan saat membawa kasusnya ke ranah hukum dan peradilan. Data pengaduan Komnas Perempuan menunjukkan sebanyak 7 kasus KTI yang mengalami delayed in justice dan 17 kasus KTI mengalami kriminalisasi. 

Melihat masih tingginya kasus KDRT, Dahlia Madani melihat yang dapat dilakukan oleh gereja adalah memberdayakan korban, menyediakan layanan krisis atau lembaga bantuan hukum berperspektif korban, membentuk komunitas antikekerasan yang memulihkan di lingkungan gereja, dan sosialisasi keadilan gender melalui pelatihan, studi/penelitian, sosialisasi makna keadilan menurut perempuan korban kekerasan melalui penelaahan Alkitab, penerbitan modul audio-visual, dan mimbar gereja.

Selain itu, menggiatkan kembali organisasi/perkumpulan perempuan, serta mengatakan secara jelas dan tegas kepada umat serta publik bahwa kekerasan terhadap perempuan apapun bentuknya adalah dosa. 

Sedangkan Pdt. The Paw Liang menyampaikan hasil riset yang Bilangan Research Center periode 2021-2022 terkait Family Conflict dan Domestic Abuse dengan 500 responden sebagai sampel. Diinformasikan bahwa hanya 55.2% gereja yang memiliki kepedulian atas domestic abuse, akan tetapi sebanyak 70.6% sudah mengambil langkah untuk meningkatkan kepedulian mereka atas hal tersebut. Selain itu, ada dua alasan terbesar yang membuat responden enggan untuk mencari bantuan ke gereja jika mengalami KDRT adalah tidak adanya tenaga ahli di gereja (68.3%), dan kemungkinan gereja justru memperburuk keadaan (26.8%). 

Dalam risetnya juga disampaikan, sebagian gereja (29.4%) sudah sampai dalam tahap membantu mediasi dengan pasangan yang melakukan kekerasan, akan tetapi masih ada 10.8% gereja yang bahkan tidak memberikan bantuan apapun, meski hanya mendengarkan. Bahkan 42% tidak tahu bentuk bantuan apa yang diberikan oleh gereja.  

Memasuki sesi tanya-jawab, salah satu pertanyaan yang muncul adalah keputusan untuk bercerai ketika mengalami KDRT. Menjawab pertanyaan tersebut, Pdt. Ira Imelda menjelaskan bahwa KDRT merupakan persoalan yang kompleks. Sebab itu harus dilihat secara proporsional. “Yang penting kita harus lihat secara proporsional, dan setiap penanganan ada langkah kontrit. Sebab itu akan baik jika sinode punya SOP penanganan dan pemulihan dan rehabilitasi bagi anggotanya, yang pasti gereja perlu berpihak kepada korban,” tandasnya.

Hasil Diskusi Kelompok
Usai paparan narsumber, webinar yang dimoderatori oleh Pdt. Nadia Manuputty ini, dilanjut dengan diskusi kelompok yang memunculkan sejumlah catatan menarik, di antaranya meminta PGI agar memberikan tempat penampungan untuk kekerasan yang terjadi (Rumah Aman). Selain itu mengharapkan PGIW cepat tanggap terhadap persoalan KDRT, memperlengkapi pimpinan gereja terkait bagaimana menanggapi/menyelesaikan kasus KDRT, dan lebih aktif untuk memberikan seminar kepada para pendeta/hamba Tuhan, sebab selama ini kasus KDRT tertutup karena masih dianggap aib. 

Selain itu, Gereja selama ini berdiri untuk warganya dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan, hanya saja para korban dan pelaku menyembunyikan kasus tersebut, karena paradigma yang dibentuk adalah ini urusan domestik, sehingga seringkali gereja terlambat merespon karena jika sudah sangat berat baru disampaikan kepihak gereja. Diharapkan Gereja menyiapkan wadah membantu dengan konseling. Oleh karena itu dibuat komsel dibawah 10 orang, agar gereja dapat mengetahui situasi umatnya. Ini menjadi upaya gereja dalam meminimalkan KDRT.

 

Berikan Komentar

Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *

Komentar *
Nama Lengkap *
Email *
Website
(optional)

Berita & Peristiwa
Cegah dan Tangani KDRT: Menjadikan Gereja Agen Perobahan demi Menghent...
by admin 13 Aug 2025 01:31

JAKARTA,PGI.OR.ID-Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi isu yang cukup tinggi di berbagai lapisan ...

PGI Adukan Tindak Kekerasan Terhadap Anak-anak di Padang Sarai, ke KPP...
by admin 09 Aug 2025 05:15

JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan pengaduan adanya tindak kekerasan ...

PGI dan Presbyterian University and Theological Seminary Korea: Dari I...
by admin 09 Aug 2025 03:39

JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menerima kunjungan delegasi dari Presbyterian U...