Refleksi Kemanusiaan: Ajakan dari Kedalaman Nurani
Muhlisin Turkan - Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (ABI)
21 Nov 2025 15:00
Lembang, 21 November 2025 – Di aula Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) Lembang, tempat berlangsungnya seminar lintas iman yang diselenggarakan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada 19–22 November 2025, saya merasakan sesuatu yang jarang muncul dalam ruang publik kita, tentang suasana ketika manusia duduk bersama bukan untuk mempertajam perbedaan, melainkan untuk menemukan kembali alasan mengapa kita dipertemukan sebagai sesama. Ada keheningan batin yang pelan-pelan tumbuh di tengah dialog itu, yaitu kesadaran halus bahwa kita semua sedang berusaha memahami diri sendiri sekaligus memahami manusia lain dengan kejujuran yang lebih dalam.
Tema pertemuan, “Memperjuangkan Keadilan, Merawat Kerukunan: Perjalanan Bersama Agama-agama dan Kepercayaan Menuju Indonesia yang Adil dan Rukun”, menegaskan bahwa hubungan antar manusia tidak bertumpu pada ketakutan atau prasangka. Hubungan itu tumbuh dari pengakuan bahwa hidup adalah anugerah yang kita terima bersama. Pada titik inilah nilai-nilai kemanusiaan tampil sebagai jangkar yang lebih kokoh daripada identitas apa pun yang kita sandang.
Nilai tersebut mengingatkan saya pada perkataan Imam Ali a.s., yang melihat manusia bukan dari batas agama dan kelompok, tetapi dari sumber penciptaannya. Ucapannya yang terkenal bahwa manusia hanya ada dua, saudaramu dalam iman atau saudaramu dalam kemanusiaan, selalu menghujam di hati saya. Kalimat itu bukan kategori yang membelah, kalimat itu adalah panggilan untuk mengingat kehormatan yang Tuhan berikan kepada setiap manusia. Dari asal penciptaan, kita datang dari sumber yang sama. Dari sisi kehidupan, kita memikul kerentanan yang serupa.
Kesadaran ini menuntut keberanian batin, yaitu keberanian untuk menahan diri dari memperkecil nilai siapa pun. Merendahkan manusia adalah bentuk pengingkaran terhadap nilai yang telah Tuhan tanamkan padanya. Di tengah dunia modern yang penuh kegaduhan dan polarisasi, prinsip sederhana ini justru menjadi penunjuk arah yang paling jernih. Martabat manusia tidak boleh disusutkan oleh rasa takut, apalagi oleh ambisi yang menyingkirkan orang lain.
Selama seminar berlangsung, saya melihat bagaimana gagasan itu bergema dalam tema-tema yang dibawakan para pemateri serta percakapan-percakapan yang muncul. Ada dialog yang hangat, ada pula yang tegang namun jujur. Dari rangkaian yang saya dengar dan saksikan, semakin jelas bagi saya bahwa keadilan dan kerukunan adalah dua komitmen yang tak dapat dipisahkan. Keadilan memberi struktur bagi kehidupan bersama; kerukunan memberi jiwa kepada struktur itu. Tanpa keadilan, kerukunan menjadi rapuh. Tanpa kerukunan, keadilan kehilangan wajah manusianya.
Kebebasan beragama, sebagaimana mengemuka dalam diskusi-diskusi itu, bukan perkara administratif semata. Kebebasan itu adalah sikap batin, kesiapan menerima kehadiran orang lain dengan penuh hormat, meski keyakinannya sangat berbeda dari yang kita anut. Kebebasan itu hadir ketika seseorang dihargai karena kemanusiaannya, bukan karena kedekatan atau keserupaan.
Harapan saya bagi kita semua, terutama bagi tokoh-tokoh yang hadir dalam seminar ini, adalah agar yang kita bawa pulang bukan lagi daftar kegiatan ataupun rancangan program. Harapan itu muncul dari getaran hati yang mengingatkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus hadir dalam tindakan-tindakan sederhana setiap hari, dalam cara kita berbicara, mendengar, dan merawat perbedaan. Nilai itu harus bekerja dengan ketenangan yang konsisten, seperti cahaya kecil yang tetap menyala di tengah gelap, menuntun kita untuk bersikap beradab, berani berbeda tanpa memusuhi, serta menjaga agar setiap manusia merasa aman menjadi dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, ketika kita meninggalkan ruang seminar itu, saya meyakini bahwa yang tersisa bukanlah catatan akademis atau rangkuman materi. Yang benar-benar tinggal adalah panggilan nurani, bahwa masyarakat yang adil dan rukun hanya akan tumbuh jika setiap orang menjunjung martabat manusia lain sebagaimana ia menjaga martabat dirinya sendiri. Bahwa penghormatan selalu lebih kuat daripada prasangka. Bahwa nilai seorang manusia jauh melampaui batas keyakinan yang sering kali memisahkan kita.
Jika seluruh refleksi ini disarikan menjadi satu prinsip, maka satu kalimat sudah cukup bahwa manusia layak dihormati karena ia manusia. Dari prinsip itulah kerukunan mendapatkan nafasnya, keadilan menemukan pijaknya, dan masa depan bersama dapat dibangun tanpa rasa gentar.
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
TAB Angkatan VI Goes to Yogyakarta: 30 Pemuda Multikultural Dilatih Me...
YOGYAKARTA.PGI.OR.ID – Sebanyak 30 pemuda dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, dan budaya berkum...
Kick Off Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak 2...
JAKARTA,PGI.OR.ID-Dunia kembali diingatkan untuk membangun solidaritas dalam rangka melawan segala bentuk keke...
Refleksi Kemanusiaan: Ajakan dari Kedalaman Nurani
Lembang, 21 November 2025 – Di aula Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB) Lembang, tempat berlangsungnya sem...

