Lima Catatan Empatik untuk PSR GPIB 2025
Rudy Rahabeat, Pendeta GPM
28 Oct 2025 22:25

Tanpa bermaksud untuk mencampuri urusan internal GPIB namun sebagai sesama rekan pelayan dari himpunan Gereja Orang Bersaudara, perkenankan beta berbagi lima sudut pandang disertai doa tulus bagi suksesnya penyelenggaraan Persidangan Sinode Raya (PSR) XXII Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) yang berlangsung di Makassar, 27-31 Oktober 2025.
Pertama, kembali kepada azaz-azaz reformasi Protestan. GPIB dan sebelas Gereja Bagian Mandiri (GBM) yang terhimpun dalam Gereja Protestan di Indonesia (GPI) merupakan pewaris dan penafsir transformatif paling sahih terhadap warisan Protestantisme di Indonesia. Akar sejarah ini jangan sampai putus digilas roda perubahan yang makin ruwet. Akar protestantisme itu antara lain nampak pada semboyan sola scriptura (hanya Alkitab), sola fide (hanya iman) dan hanya anugerah (sola gratia), Solus Christus (hanya Kristus) dan Soli Deo Gloria (Kemuliaan hanya bagi Allah). Bukan kebetulan jika sidang ini berakhir tanggal 31 Oktober bertepatan dengan hari Reformasi gereja. Hal ini memberi pesan historik gerejawi bahwa GPIB dan gereja-gereja di Indonesia pada umumnya harus benar-benar berakar di dalam Firman (Alkitab), bertumbuh dalam iman dan anugerah, berpusat pada Kristus dan senantiasa memuliakan Allah dan bukan manusia (Mazmur 86:12; 1 Korintus 10:13; Kolose 3:23). Sidang Sinode menjadi momentum kairotis guna mempertegas komitmen, konsistensi dan persistensi untuk menumbuhkan dan menghidupi azaz-azaz Protestantisme sembari terus terbuka pada pembaruan Roh Kudus di tengah dunia yang terus berubah. Hal ini akan nampak pada berbagai produk program dan keputusan Sidang Sinode serta visi dan misi pemimpin Sinode yang baru.
Kedua, menjadi gereja yang terbuka dan inklusif. GPIB merupakan salah satu sinode yang jemaat-jemaatnya tersebar hampir di seluruh Indonesia. Walau nama gerejanya di Indonesia Barat tetapi jemaat-jemaatnya ada di Indonesia Timur, termasuk Makassar tempat dilaksanakannya Sidang Sinode tahun 2025 ini. Realitas ini jika dikelola secara arif maka GPIB dapat menjadi perekat Nusantara sekaligus transformasi nilai-nilai keindonesiaan. Tokoh GPIB, Ds WJ Rumambi merupakan seorang pioneer gerakan keesaan sekaligus kebangsaan. Rintisan beliau dihidupkan dan ditransmisikan melalui Rumambi Institute yang diharapkan menjadi lokomotif sekaligus katalisator pemikiran dan aksi keesaan dan kebangsaan di Indonesia. Gereja tidak boleh hidup di zona nyaman. Gereja harus keluar merengkuh dunia. Menjadi gereja yang inklusif berarti merangkul semua orang dan semesta ciptaan dalam segala perbedaan dan keunikannya. No one left behind, jangan ada seorang pun terabaikan. Gereja merangkul semesta ciptaan dalam segala keragamannya. Gereja pun tidak berkutat secara lokal, namun terus terhubung secara nasional dan mondial. GPIB telah memainkan peran itu dalam sejarahnya sejak mandiri 31 Oktober 1948. Keberadaan Pdt Irene Puimera sebagai Ketua Pemuda Dewan Gereja-Gereja sedunia (WCC) merupakan salah satu bukti peran global GPIB dalam arak-arakan oikumene mondial.
Ketiga, pimpinan Sinode Perempuan. Saya tidak bermaksud melakukan insinuasi apalagi provokasi terhadap proses Sidang Sinode terkait pemilihan Ketua Sinode yang baru. Siapakah saya ini? Namun sebagaimana gereja saya Gereja Protestan Maluku kami terus mendorong partisipasi perempuan dalam gereja, termasuk dalam kepemimpinan. Memang hingga saat ini GPM belum memiliki Ketua Sinode perempuan, namun bukan tidak mungkin menjelang 1 abad PM tahun 2035 akan tampil perempuan sebagai Ketua Sinode. Kita dapat belajar dari gereja-gereja yang lain yang telah memiliki Ketua Sinode perempuan seperti Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Gereja Kristen Sunda (GKS), Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Gereja Protestan Indonesia Buol Tolitoli (GPIBT), Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-TP), dan sebagainya. Bahkan Pendeta Dr Henriete Lebang-Hutabarat dari Gereja Toraja (GT) pernah menjadi Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) masa pelayanan 2014-2019. Menyebutkan peran perempuan bukan sekedar menyoal angka dan harapan. Tetapi ini merupakan panggilan sejarah dan tindakan teologis yang menempatkan semua manusia setara dihadapan Allah dan mesti turut berperan aktif dalam melaksanakan misi Allah di tengah dunia, termasuk kepemimpinan gereja. Ini tentu tidak mudah di tengah masih menguatkan budaya dan struktur patriakhi. Perempuan perlu terus mengkonsolidasikan diri dan merajut soliditas internal, juga laki-laki sadar gender perlu terus berkolaborasi untuk mewujudkan tatanan sosial gerejawi yang egaliter dan adil gender (gender justice). Ini bukan sebentuk gairah politik tetapi panggilan teologis gereja-gereja di Indonesia bahkan gereja universal.
Keempat, kepemimpinan intergenerasi. Beta pernah bertanya kepada seorang sahabat Pendeta GPIB tentang peluang tampilnya sosok pendeta-pendeta muda dalam bursa calon Ketua Sinode. Yang bersangkutan menjawab dengan hati-hati dan agak ragu-ragu. Sebenarnya pertanyaan ini cukup realistis di tengah dunia yang memberi ruang bagi tampilnya tokoh-tokoh muda dalam kepemimpinan publik bahkan agama-agama termasuk gereja. Alkitab juga telah memberi landasan teologis yang terang benderang tentang peran orang muda. “Janganlah seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda” (1 Timotius 4: 12). Ini posisi teologi Paulus yang jelas tentang posisi dan peran orang muda. Bahkan Yesus Kristus sendiri adalah sosok pemimpin muda yang wafat pada usia relatif muda, 33 tahun. Ini menjadi penegas bahwa orang-orang muda mesti tampil di depan (moving forward), diberi ruang yang setara serta percaya diri untuk menjadi pemimpin. Dengan mengatakan begitu sama sekali mengabaikan peran para senior. Dalam budaya masyarakat komunal, peran orang tua tak terelakan. Namun dalam perspektif intergenerasi (salah satu diksi yang kuat disampaikan oleh Ketua Sinode GPIB saat ini, Pdt Paulus Kariso Rumambi) maka sudah saatnya gereja-gereja mendorong kolaborasi kepemimpin intergenerasi, dengan memberi porsi yang signifikan bagi kaum muda.
Kelima, menjadi gereja yang mengIndonesia. Apalah artinya menjadi gereja jika hanya untuk diri sendiri. Apalah gunanya pelita jika diletakan di bawah gantang? Kehadiran GPIB dan gereja-gereja di Indonesia adalah pembawa terang bagi bangsa. Demikian pula gereja-gereja dapat menerima cahaya dari agama-agama lain, dari negara dan berbagai aktor non-negara. Itu berarti diperlukan kerendahan hati epistemologis dan teologis untuk saling menerangi. GPM pernah menerbitkan sebuah buku berjudul “Gereja di Hati Bangsanya”. Hal ini merupakan refleksi kritis evaluatif terhadap apa makna dan dampak gereja bagi bangsa. Kata Indonesia pada nama GPIB secara semiotik memberi penanda sekaligus petanda bahwa GPIB terpanggil untuk terus menjadi berkat bagi bangsa. Hal itu tentu telah dilakoni oleh para pelayan dan umat GPIB dalam lintasan sejarahnya. Tak berlebihan jika di momen sidang Sinode ini diajukan pertanyaan pengingat tentang sejauhmana GPIB menjadi berkat bagi bangsa Indonesia bahkan dunia. Hal ini selaras dengan tema jangka pendek GPIB untuk periode 2026-2031 adalah "Melayani dan bersaksi secara intergenerasional berbasis komunitas digital demi kesejahteraan bangsa dan keutuhan ciptaan"
Selamat bersidang. Tuhan Yesus Menyertai. Kita Semua Bersaudara (RR).
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Lima Catatan Empatik untuk PSR GPIB 2025
Tanpa bermaksud untuk mencampuri urusan internal GPIB namun sebagai sesama rekan pelayan dari himpunan Gereja...
PGI Mendorong Gereja-gereja Berperan Aktif dalam Mewujudkan Perdamaian...
BALI, PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melaksanakan kegiatan Lokakarya Teologi Pariwisat...
PGI Apresiasi Peluncuran Institut WJ. Rumambi. Membangun Gereja Ramah ...
JAKARTA, PGI.OR.ID-Wilhelm Johannis Rumambi adalah salah satu tokoh Kristen yang telah mendarmabaktikan hidup...

