Gereja Didorong Aktif Tangani Krisis Pendidikan di Era Digital

SURABAYA,PGI.OR.ID-Krisis pendidikan di Indonesia kian nyata di tengah derasnya arus digitalisasi global. Dalam paparannya pada acara Semiloka dan Penjemaatan Dokumen Keesaan Gereja, Prof. Sonny Zaluchu menekankan perlunya gereja ambil bagian aktif dalam pelayanan sosial-ekologis, khususnya di bidang pendidikan yang kini dihadapkan pada tantangan multidimensi.
Semiloka ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menyambut 75 tahun Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan diselenggarakan di Surabaya pada 9–10 Mei 2025. Acara diikuti oleh pimpinan PGIW Jawa Timur, pimpinan sinode, pimpinan jemaat, pimpinan Sinode Gereja Allah Peduli Indonesia (GAPI), serta pengajar dan mahasiswa Sekolah Teologi Anugerah Indonesia.
Meskipun data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sekolah di Indonesia meningkat—98% di tingkat dasar dan 76% di tingkat menengah pada 2023—tantangan seperti akses tidak merata, keterbatasan teknologi, hingga ketimpangan kualitas pendidikan masih mewarnai wajah pendidikan nasional. “Kita menghadapi krisis bukan hanya pada aspek sumber daya, tapi juga sistem yang tidak konsisten dan distribusi layanan pendidikan yang timpang,” ungkap Prof. Sonny.
Digitalisasi, lanjutnya, menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Laporan “Digital 2025” menunjukkan bahwa 80% masyarakat Indonesia telah terkoneksi dengan internet, dengan pengguna media sosial mencapai 183 juta. Namun, kesenjangan digital di wilayah rural dan rendahnya literasi digital justru memperlebar jurang ketimpangan pendidikan.
Dalam konteks ini, gereja dinilai memiliki peran strategis. “Gereja tidak cukup hanya berkhotbah. Ia harus menjadi pusat literasi digital, menyediakan ruang belajar daring, hingga memberikan pendampingan rohani dan psikologis bagi anak dan keluarga,” ujarnya. Lebih jauh, gereja juga diajak menjalin kemitraan dengan pemerintah dan swasta untuk merancang sistem pendidikan yang holistik dan inklusif.
Mengacu pada contoh sukses Finlandia, Prof. Sonny menekankan pentingnya pendekatan pendidikan yang holistik, bukan semata fokus akademis, tapi juga pembentukan karakter dan keterampilan sosial.
Sebagai penutup, ia menyerukan agar gereja menanggapi krisis pendidikan sebagai bagian dari panggilannya—persekutuan, pekabaran Injil, dan pelayanan sosial-ekologis. “Era digital menuntut gereja hadir bukan hanya secara spiritual, tapi juga sosial dan edukatif,” pungkasnya.