“Imajinasi Profetis: Catatan Perjalanan Sidang Majelis Pusat Dewan Gereja Sedunia Juni 2025”


admin
22 Jul 2025 10:25
“Imajinasi Profetis: Catatan Perjalanan Sidang Majelis Pusat Dewan Gereja Sedunia Juni 2025”
(Dr. Mery Kolimon, pendeta GMIT, pengajar pada UKAW Kupang, anggota CC WCC)
Bersidang di Musim Dingin di Afrika Selatan
Selama satu minggu di Bulan Juni 2025, 18-24 Juni, Majelis Pusat Dewan Gereja Sedunia/DGD (Central Committee of World Council of Churches/CC WCC) berjumpa untuk persidangan dua tahunannya. Pertemuan kali ini berlangsung di Kota Johannesburg, Afrika Selatan. Pertemuan dua tahun yang lalu terjadi di Kantor DGD di Kota Jenewa, Swiss. Peserta utama dari Sidang di tahun 2025 ini adalah 150 anggota CC dari berbagai belahan dunia. Selain itu hadir pimpinan persekutuan gereja-gereja nasional dan regional, serta wakil dari berbagai lembaga ekumenis. Dari Indonesia hadir ketua umum PGI, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty. Dari Dewan Gereja Asia (CCA) hadir Sekjen, Dr. Matthew George Chunakara. Total peserta hampir berjumlah 300 orang. Persidangan ini berlangsung di Birchwood Hotel & Conference. Seluruh peserta menginap di hotel tersebut.
Peserta dari Indonesia yang hadir, selain Ketua Umum PGI, adalah sejumlah anggota CC, yakni Pdt. Dr. Mery Kolimon (GMIT), Ibu Dr. Fransina Yotemi (GKI Tanah Papua), dan Pdt. Dr. Robinson Butar-butar (HKBP). Sedangkan Sdr. Karen Puimera (GPIB) dan Sdr. Rio Dondokambey (GMIM) berhalangan hadir. Turut hadir Presiden WCC untuk Asia, Pdt. Dr. Henrieta Hutabarat-Lebang (Gereja Toraja). Kami anggota CC dan presiden WCC dipilih dalam Sidang Raya WCC pada tahun 2022 di Karlsruhe Jerman untuk masa bakti 2022-2029. Keterpilihan kami mewakili gereja masing-masing dan dengan dukungan dan komunikasi yang intens dari PGI di Komisi Nominasi Sidang Raya.
Bulan Juni biasanya merupakan puncak musim dingin di Afrika Selatan. Suhu pada malam hari bisa mencapai 0 derajat dan di siang hari berkisar antara 13-16 derajat Celsius. Bersyukur matahari selalu bersinar cerah di siang hari sehingga bisa mengurangi rasa dingin. Di ruang pertemuan selalu ada penghangat ruangan sehingga peserta tidak kedinginan.
Persidangan selama tujuh hari ini meliputi sesi ibadah, laporan ketua umum (moderator) dan sekretaris umum DGD; sesi studi (study meetings), sidang komisi, dan pleno pengambilan keputusan. Selain itu ada sesi khusus untuk kelompok berdasarkan tradisi gereja (di antaranya Ortodoks, Lutheran, Reformed, dan Metodis); berdasarkan wilayah (Asia dan Australia, Afrika, Amerika, dan Eropa). Juga ada pertemuan khusus untuk para perempuan peserta persidangan. Seluruh sidang diselenggarakan dalam bahasa Inggris, namun juga tersedia terjemahan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Sejumlah penerjemah bekerja untuk membantu peserta sidang yang tidak bisa berbahasa Inggris secara lancar.
Persidangan itu terlalu kaya sehingga tidak mudah untuk memberikan gambaran yang lengkap tentangnya. Tulisan ini hanya akan menyorot beberapa aspek mengemuka yang menarik perhatian penulis. Tentu peserta lain bisa menambahkan sesuai ketertarikan dan cara pandang mereka.
Iman Apostolik: Merayakan 1700 Tahun Konsili Nicea
Salah satu sesi yang sangat kaya informasi dan inspirasi adalah sesi belajar bersama (study meetings). Sesi ini berisi antara lain pidato moderator, laporan Sekjen, serta tema-tema percakapan harian yang sangat menarik. Tema-tema harian itu adalah Belajar dari Afrika Selatan, Iman Kerasulan, Keadilan Iklim, dan Keadilan Gender.
Tema iman kerasulan (apostolic faith) disebutkan juga oleh moderator WCC dalam hubungan dengan perayaan 1700 tahun Konsili Nicea dalam refleksinya. Ia berharap perayaan 1700 tahun Konsili Nicea pada tahun ini semakin memperkuat persekutuan di antara gereja-gereja anggota WCC. Kasih Allah Tritunggal kiranya menggerakkan dunia menuju rekonsiliasi dan persatuan. Perayaan konsili ekumenis tersebut menunjukkan terdapat lebih banyak kesamaan yang mendasar di antara gereja-gereja sedunia dibandingkan perbedaannya.
Dalam persidangan ada satu panel khusus yang didedikasikan pada percakapan mengenai 1700 tahun Konsili Nicea dan maknanya bagi gereja-gereja masa kini. Terkait ini hadir juga perwakilan dari Gereja Katolik (utusan Vatican) dalam Sidang CC WCC ini. Semua yang hadir bersepakat bahwa oleh karya Roh Kudus, iman Nicea masih tetap menjadi kekuatan yang menyatukan semua gereja dalam keragaman tradisinya. Sungguh itu merupakan suatu hal yang sangat indah dari warisan Konsili itu.
Percakapan mengenai Konsili tersebut juga mengangkat ingatan tentang para peserta yang datang dari berbagai tempat yang jauh dalam kekaisaran Romawi dengan sarana transportasi yang sangat terbatas waktu itu. Mereka menghadapi banyak ancaman dalam perjalanan. Mereka yang bertahun-tahun mengalami penganiayaan berat karena iman, datang berkumpul juga dengan trauma masing-masing. Konsili itu menjadi ruang mencari penyembuhan bersama dalam iman.
Iman pada Kristus yang bangkit menegaskan bahwa Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dia adalah Allah yang telah masuk dalam realitas kehidupan insani. Di dalam Kristus, kita berjumpa Allah yang mengosongkan diri dan mencuci kaki murid-muridNya. Dia adalah Allah yang relasional, yang memasuki dunia material, menjadi bagian dari realitas manusia dan lingkungan. Dia bukan hanya mendamaikan jiwa manusia tetapi menyatukan semua ciptaan. Sidang ini juga menyoroti aspek kontribusi ekologis dari Konsili Nicea.
Pada saat yang sama, studi itu juga menekankan pentingnya mengembangkan sikap kritis terhadap ingatan yang diwariskan. Momen 1700 tahun Nicea menjadi kesempatan merayakan semua keindahan Konsili itu, namun kita juga tak boleh lupa pada warisan terkait intervensi politik kekaisaran Romawi dan semua dampaknya. Kita juga perlu mengingat dan belajar tentang konflik dengan Arius dan pengikutnya yang menyebabkan pengucilan mereka dari gereja. Jadi ada dimensi politik dan kolonialisme yang harus disadari dan diurai dalam ingatan mengenai Konsili tersebut. Ingatan tentang konflik dan peminggiran Arius yang turut didukung oleh Kaisar Konstantinus harus dielaborasi secara kritis agar kita belajar menjadi gereja yang lebih dewasa dan bijaksana dalam menangani perbedaan pandangan dan pendapat, termasuk dalam sikap terhadap kekuasaan politis. Lebih dari itu, dalam konteks panjang sejarah Kekristenan, kita dapat mengembangkan imajinasi profetis (prophetic imagination), yaitu kemampuan mendengar suara mereka yang tidak terwakili di meja pertemuan, yaitu kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Ingatan tentang Konsili Nicea mendorong kita merangkul keragaman suara serta mengembangkan ketrampilan mendengarkan secara mendalam dan bertoleransi pada perbedaan.

Belajar dari Afrika Selatan dan Menamai Apartheid di Konflik Gaza
Berjumpa di Afrika Selatan memberikan kesempatan kepada Persidangan CC ini untuk juga belajar dari pengalaman masyarakat dan gereja-gereja di Afrika Selatan dalam perjuangan melawan Apartheid, yaitu sistem politik rasisme yang membedakan manusia berdasarkan warna kulitnya. Sejumlah pembicara hadir dalam satu sesi studi yang dikhususkan untuk belajar dari perjuangan bangsa Afrika Selatan melawan Apartheid. Termasuk di dalamnya adalah refleksi mengenai dokumen Kairos.
Dokumen Kairos adalah pernyataan teologis yang dikeluarkan pada tahun 1985 oleh sekelompok teolog Afrika Selatan yang sebagian besar berkulit hitam. Dokumen tersebut menantang tanggapan gereja terhadap kebijakan rezim apartheid yang memberi pengisitimewaan kepada kaum kulit putih dan meminggirkan kaum kulit hitam. Dokumen itu telah menimbulkan reaksi luas dan perdebatan sengit tidak hanya di Afrika Selatan, tetapi di seluruh dunia. Sejumlah pembicara dalam panel itu menunjukkan bahwa dokumen Kairos telah menjadi inspirasi terkait teologi kontekstual dan teologi pembebasan atau "teologi dari bawah" di Afrika Selatan. Hingga sekarang dokumen ini menjadi contoh untuk upaya penulisan kritis serupa pada saat-saat yang menentukan di beberapa negara dan konteks lain.
Bagian dari pembelajaran terkait pengalaman Afrika Selatan adalah juga mengenai penyembuhan ingatan. Pendeta Michael Lapsley, dari gereja Anglican Africa Selatan menyampaikan presentasi yang sangat kuat mengenai bagaimana kita berdamai dengan luka-luka kemanusiaan dan luka-luka bumi, ibu pertiwi kita. Dia menceritakan pengalaman memfasilitasi lokakarya penyembuhan ingatan di berbagai daerah paska konflik dan mendorong agar gereja-gereja di seluruh dunia, termasuk WCC menjadikan penyembuhan luka-luka ingatan sebagai program yang lebih esensial. Dia menyebut kekerasan dalam rumah tangga dan patriarki sebagai luka yang tertua di dunia.
Pendeta Lapsley sendiri kehilangan kedua lengan bawahnya karena menjadi korban bom yang ditaruh dalam surat yang dikirim kepadanya. Dia belajar memaafkan pengirim bom itu. Dia melihat bahwa justeru peristiwa itu mendorong dia untuk menjadi “provokator penyembuhan ingatan” melalui berbagai lokakarya dan pelatihan yang dia dan timnya lakukan di seluruh dunia.
Bagian lain dari belajar tentang upaya penyembuhan ingatan Afrika Selatan adalah dengan berkunjung ke dua tempat bersejarah, yaitu museum Apartheid dan Constitution Hill. Museum Apartheid di Kota Johannesburg dibangun untuk mengingat bangkit dan runtuhnya kebijakan apartheid dan dampaknya terhadap masyarakat Afrika Selatan hingga hari ini. Diperlihatkan bahwa kebijakan apartheid yang membedakan masyarakat Afrika Selatan berdasarkan warna kulit itu sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, khususnya terkait penambangan emas di Johannesburg yang mulai ditemukan dan dikerjakan pada tahun 1886. Museum yang memiliki luas 7 hektar ini dibuka pada tahun 2001 dan merupakan museum terkemuka di abad ini yang memberi gambaran mengenai apartheid di Afrika Selatan.
Tempat lain yang kami kunjungi adalah Constitution Hill, yang merupakan tempat penahanan/penjara yang berdiri selama 100 tahun. Tempat ini merupakan bekas penjara dan benteng militer yang menjadi bukti masa lalu Afrika Selatan yang penuh gejolak. Kami mengunjungi kamar-kamar penahanan dan penyiksaan para tahanan. Kisah-kisah penahanan yang kejam dijelaskan oleh pemandu dan dalam sejumlah informasi yang tertulis di ruangan-ruangan bekas penahanan itu. Di tempat ini tokoh-tokoh anti-apartheid seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Joe Slovo, Albertina Sisulu, Winnie Madikizela-Mandela, dan Fatima Meer dipenjarakan. Saat ini, di samping museum, didirikan rumah bagi Mahkamah Konstitusi negara itu, yang dimaksudkan untuk mendukung hak-hak semua warga negara. Sering dikatakan bahwa Constitution Hill adalah museum hidup yang menceritakan kisah perjalanan Afrika Selatan menuju demokrasi.
Dalam persidangan CC juga dibicarakan secara mendalam mengenai sikap WCC terhadap konflik Israel-Palestina. Umumnya semua peserta menerima usulan dari Tim Kairos WCC untuk menyebut konflik dan kekerasan di Timur Tengah itu sebagai apartheid dan genosida. Cukup lama terjadi percakapan di WCC mengenai mana yang harus diutamakan, perdamaian atau keadilan. Sejak dokumen Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC) dirumuskan, keadilan terus dikedepankan. Secara khusus dalam persidangan ini disebutkan dengan jelas mengenai kenyataan yang telah dialami warga Palestina selama lebih dari tujuh dekade: penindasan sistematis, pemindahan paksa, segregasi, dan penyangkalan hak asasi manusia yang mendasar. Sidang juga mendorong gereja-gereja anggota WCC untuk turut menuntut diakhirinya pendudukan Israel dan pencabutan blokade ilegal di Gaza. WCC juga menyerukan negara-negara dan gereja-gereja untuk memberlakukan konsekuensi atas pelanggaran hukum internasional, termasuk sanksi yang ditargetkan, divestasi, dan embargo senjata.
Sidang juga mencatat perlunya berhati-hati untuk tidak menggeneralisir sikap Pemerintah Israel yang kejam sebagai sikap masyarakat Israel secara keseluruhan. Sidang mencatat pentingnya mendukung kelompok-kelompok masyarakat Yahudi maupun Palestina yang berjuang sungguh-sungguh untuk perdamaian kedua bangsa.

Berziarah Bersama untuk Keadilan Gender
Sidang CC kali ini memberi ruang untuk merayakan bersama banyak capaian kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam gereja-gereja anggota WCC, terutama melalui dua gerakan penting di WCC yaitu “Churches in solidarity with women” dan “Pilgrimage of Gender Justice”. Ibu Pdt. Dr. Henriete Lebang sebagai Presiden WCC mewakili gereja-gereja Asia memimpin sesi pleno studi terkait topik keadilan gender ini.
Hadir dalam diskusi itu Dr. Brigalia Bam (kini berusia 90 tahun), seorang aktifis gender terkemuka di Afrika Selatan, yang adalah salah satu staf di WCC pada masanya yang berdedikasi untuk program-program kesetaraan gender. Beliau memberi kesaksian terkait upaya-upaya yang dilakukan WCC untuk pemberdayaan perempuan dan penyadaran bersama kaum laki-laki mengenai pentingnya melucuti patriarki. Berbagai bentuk pendekatan dilakukan untuk melawan seksisme dan androsentrisme dalam gereja dan masyarakat. Dia mengatakan kalau perempuan diberi kesempatan untuk kepemimpinan pasti berbeda. Dunia membutuhkan kepemimpinan perempuan untuk masa depan yang lebih adil dan damai.
Pembicara dari Gereja Ortodox Rusia, Margarita Nelyubova, berbagi tentang dampak gerakan WCC bagi perempuan di gereja-gereja Rusia untuk bersuara dalam gereja. Menurutnya gerakan solidaritas gereja dan perempuan berjalan bersama dengan kebangkitan gereja di Rusia. Para perempuan sangat aktif untuk pelayanan diakonia, termasuk untuk pelayanan kesehatan, pelayanan karitatif untuk anak-anak yatim piatu dan pelayanan sosial lain. Mereka juga aktif di bidang pendidikan. Sekarang ada sekitar 900 sekolah minggu dan TK dibuka. Juga perempuan belajar teologi dan menjadi dosen. Jadi gerakan WCC telah menolong tidak hanya soal pelayanan diakonia gereja, tetapi juga memperkuat peran perempuan untuk pelayanan itu. Di gereja mereka ada juga perhatian untuk isteri para pendeta karena peran para isteri ini penting namun para isteri pendeta itu juga rentan menjadi over-worked (kelelahan karena terlalu banyak pekerjaan). Karena itu pihak gereja di sana membuat program pertemuan rutin isteri-isteri dan janda-janda pendeta. Serempak dengan itu dikembangkan mekanisme yang efektif untuk pelayanan sosial. Sampai sekarang belum ada penahbisan perempuan untuk menjadi pendeta di gereja Ortodox. Sedangkan gereja-gereja Protestan di Rusia terus mendorong penahbisan perempuan.
Sidang ini juga memberi perhatian pada kenyataan bahwa di banyak tempat di dunia, perjuangan untuk keadilan gender masih merupakan upaya yang panjang dan berat. Kekerasan dan peminggiran terhadap perempuan masih terus terjadi, termasuk di Afrika Selatan. Selama persidangan, para peserta sidang diingatkan untuk tidak keluar sendiri dari lokasi sidang sebab situasi keamanan yang masih menjadi ancaman, terutama bagi kaum perempuan. Kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang domestik, maupun di ruang publik, masih terus terjadi. Di tengah sidang kami dikejutkan oleh berita bahwa telah terjadi serangan penembakan kepada salah satu perempuan peserta sidang dari Kepulauan Pasifik. Ibu itu pergi ke ATM diantar oleh mobil hotel. Dalam perjalanan pulang mereka dicegat, tangannya ditembak dan tas tangannya dirampas. Di dalamnya ada uang yang baru diambil dan paspornya. Beliau kemudian dirawat di rumah sakit setempat. Ini menjadi contoh nyata betapa perjuangan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan serta kesetaraan perempuan dan laki-laki masih perlu terus menjadi agenda bersama.
Dua Usulan Public Issues dari Indonesia
Di setiap persidangan ada komisi-komisi yang dibentuk untuk membahas pokok-pokok penting. Komisi-komisi itu antara lain Komisi Program, Anggaran, Nominasi, dan Isu Publik. Khusus terkait Isu Publik dibahas pokok-pokok seperti konflik Israel-Palestina, Rusia-Ukraina, kekerasan di Armenia, Republik Demokratik Kongo, Kamerun, Haiti, dan migrasi di Eropa dan Amerika Serikat. Sidang mendorong gereja-gereja setempat dan pemerintah untuk mengupayakan jalan damai dan mengupayakan keadilan bagi semua.
Masih terkait Komisi Isu-Isu Publik, diberikan kesempatan kepada gereja-gereja anggota untuk mengusulkan isu-isu public di wilayahnya yang perlu mendapat perhatian dan intervensi WCC. Delegasi Indonesia menyampaikan usulan terkait kekerasan dan pelanggaran HAM serta perusakan alam di Papua. Isu lain yang juga disebutkan adalah pentingnya mendorong pemerintah Indonesia mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kejahatan kemanusiaan anti-komunis 1965, termasuk melalui mekanisme pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan rehabilitasi serta reparasi hak-hak korban. Kedua isu dari Indonesia ini akan diteruskan percakapannya di Sidang Majelis Eksekutif WCC pada November 2025.
Beribadah dengan Cara Afrika
Satu acara lain yang sangat indah di sidang-sidang WCC adalah ibadahnya. Sesi-sesi ibadah selalu disiapkan dengan baik sehingga menjadi sumber energi spiritual yang menguatkan iman dan tugas pengutusan. Secara khusus dalam Sidang CC kali ini, setiap hari ada dua kali ibadah umum, yaitu ibadah pagi dan ibadah malam. Acara ibadah ini disiapkan dan dipimpin secara bergantian oleh gereja-gereja Afrika dari berbagai tradisi. Jadi ada kawan-kawan dari Gereja Anglikan, Ortodox, Reformed, dan Injili yang bergilir memimpin kebaktian menggunakan liturgi mereka. Yang paling menyentuh adalah ketika doa Bapa Kami diucapkan oleh semua peserta sidang dalam bahasa masing-masing. Di ruangan ibadah kita mendengar suara dan bahasa yang berbeda namun semua dipersembahkan pada Allah yang Satu, Bapa dan Ibu bagi semua.
Pada hari minggu 22 Juni para peserta dibagi untuk beribadah di gereja-gereja setempat, juga dari berbagai tradisi. Sebelum keberangkatan ke Afrika Selatan, peserta sudah diberi kesempatan untuk memilih gereja mana yang akan menjadi tempat berbakti. Saya dan sejumlah peserta dari Indonesia mendapat kesempatan berbakti di Jemaat Cahaya Harapan Gereja Reformed Bersatu Afrika Selatan. Dalam kebaktian itu liturgi mirip dengan tata ibadah Reformed di Indonesia, termasuk sama dengan GMIT, kecuali lagu-lagu dan tarian yang sangat meriah dari tradisi Afrika. Juga sebelum votum dan salam ada nyanyi bersama lagu kebangsaan Afrika Selatan. Sangat menarik bahwa dalam lagu kebangsaan ini ada campuran bahasa daerah, bahasa Afrikan (yang akarnya berasal dari Bahasa Belanda karena sebelumnya Afrika Selatan juga dijajah Belanda) dan sebait lirik berbahasa Inggris.
Saya selalu kagum dengan kontekstualisasi yang dilakukan gereja-gereja Afrika umumnya, termasuk di Afrika Selatan. Lagu-lagu mereka dalam ibadah berasal dari lagu-lagu Kristiani klasik warisan gereja-gereja Eropa pada masa Zending dan lagu-lagu kontemporer dari berbagai tempat, sekaligus juga lagu dan musik tradisional yang sangat kaya. Ibadah mereka dilakukan dengan cara Afrika, memadukan lagu, musik, dan tarian yang sangat hidup. Salah satu semboyan yang mereka pegang adalah “Let us worship God in African way. Mari menyembah Allah dengan cara Afrika”. Upaya dekolonisasi juga terjadi dalam liturgi dan teologi mereka.

Menjaga Harapan, Merawat Spirit Profetis
Sidang yang padat dan melelahkan itu akhirnya selesai. Kami biasa mulai sidang pada jam 08.30 pagi dan selesai pada pukul 21.30. Setiap hari kami bersidang selama 11 jam sehingga cukup menguras energi. Apalagi kita mendengar bahasa Inggris dalam berbagai dialek. Namun ini sungguh menjadi pengalaman yang sangat berharga: bertemu kawan lama, belajar mengenal kawan baru dan memperluas lingkaran persaudaraan lintas gereja dan lintas benua. Fasilitas persidangan cukup memadai, termasuk makanan yang selalu tersedia cukup dengan menu yang lengkap untuk ratusan orang yang bersidang.
Saya bangga mewakili gerejaku, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), komunitas akademisku (Universitas Kristen Artha Wacana di Kupang) dan bangsaku, Indonesia, di forum ekumenis global. Kehadiran saya di Sidang itu dibiayai oleh WCC, PGI, dukungan sahabat, dan dana pribadi. Ku katakan pada diriku, ketika kita hadir dalam pertemuan ekumenis global, kehadiran itu tidak saja untuk menyerap banyak pengetahuan dan pengalaman beriman dari saudara-saudari di berbagai konteks dunia yang lain. Ketika hadir, saya juga mesti siap memberi kontribusi dan kesaksian dari pengalaman beriman dari konteksku. Bahasa Inggris bukan bahasa ibuku, namun itu tak boleh menjadi alasan untuk hanya menjadi pendengar. Kehadiran di Sidang adalah kesempatan belajar dan berbagi pengetahuan, iman, dan pengalaman spiritual. Terima kasih untuk semua pihak yang telah mendukung kehadiranku mewakili GMIT dalam salah satu Sidang terluas di dunia ini.
Ketika kami bersiap untuk pulang, kami mendengar berita bahwa militer Amerika telah membom Iran. Kami cukup khawatir mengenai situasi keamanan dunia, termasuk terkait perjalanan pulang kami. Sebagian besar rombongan di Sidang datang dan pergi dengan menggunakan Qatar Airways. Kami mendengar Qatar turut dibom kembali oleh Iran sehingga bandara Doha sempat ditutup. Penerbangan kami turut terganggu sehingga oleh WCC beberapa dari antara kami dialihkan menggunakan penerbangan lain. Saya dan Ibu Fransina dari Papua dialihkan memakai Ethiopian Airlines. Jadi sebagai ganti melalui Doha, kami terbang melalui Adis Ababa di Etiopia dan kemudian lanjut ke Bangkok, Thailand, dan tiba di Jakarta. Saya meneruskan perjalanan kembali ke Kupang dan Ibu Fransina pulang ke Tanah Papua. Perjalanan pergi memakan waktu sekitar 20 jam dari Jakarta ke Johannesburg dan sekitar 24 jam dari Johannesburg kembali ke Jakarta.
Pada acara pembukaan, Moderator WCC, Pdt. Dr. Heinrich Bedford-Strohm, yang merupakan ketua sinode Gereja Lutheran Jerman, menekankan beberapa hal. Pertama, dia menyinggung konflik dan peperangan di berbagai belahan dunia, seperti Gaza, Ukraina, dan Armenia. Selain itu dia menyinggung perkembangan goncangan dan ketidakpastian politik dan ekonomi global yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan kepemimpinan baru USA di bawah Donald Trump. Pdt Bedform-Strohm sangat menekankan pentingnya harapan di dalam situasi yang sangat sulit. Tantangan polycrisis bisa membuat banyak orang kehilangan harapan dan diserang rasa cemas. Dalam situasi ini peran gereja menjadi sangat penting untuk memberikan harapan sebagai wujud iman. Jika harapan tetap ada, daya tahan dapat bertumbuh.
Dalam sidang ini saya juga mendorong gereja-gereja sedunia menjaga spirit kenabian. Berhadapan dengan kecenderungan totalitarianisme di berbagai negara, gereja-gereja tak boleh diam dan mengikuti kecenderungan umum. Keteguhan iman pada Kristus yang berbela-rasa dengan mereka yang terpinggirkan mendorong gereja untuk bersikap kritis pada kekuasaan yang sewenang-wenang dan berdiri bersama mereka yang rentan. Gereja mesti siap berdiri dengan segala daya dan keterbatasannya untuk mengumumkan belas kasih Allah pada semua ciptaan dan menolak kekerasan, penindasan, dan kekejaman.
Bonen, Juli 2025
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Ketua Umum PGI dan Rombongan Kunjungi Padang Sarai: "Anak-anak korban ...
PADANG,PGI.OR.ID-Peristiwa pembubaran dan perusakan sebuah rumah doa sekaligus tempat pendidikan bagi siswa Kr...
PGI-ICRP Perkuat Komitmen Merawat Dunia dengan Cinta
JAKARTA,PGI.OR.ID-Peristiwa intoleransi belakangan makin marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Meresp...
PGI dan PIKI Bertemu, Tegaskan Pentingnya Sinergi Gereja dan Masyaraka...
JAKARTA-PGI.OR.ID Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (P...