SAGKI V KWI, Ketum PGI: Relasi Katolik–Protestan Tidak Hanya Teologis, tetapi Juga Sosial dan Kultural
admin
06 Nov 2025 15:09
JAKARTA, PGI.OR.ID — Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, menegaskan bahwa perjalanan Gereja Katolik dan Protestan di Indonesia telah melampaui sekadar dialog teologis. Relasi keduanya kini tumbuh menjadi spiritualitas bersama yang menyentuh dimensi sosial, kultural, dan ekologis kehidupan umat. Pesan tersebut disampaikan dalam Sidang Agung Katolik Indonesia (SAGKI) V Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berlangsung di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, pada Rabu (5/10/2025).
Landasan Kitab Suci dan Ajaran
Dalam pemaparannya yang bertajuk “Sun Hodos: Peziarahan Bersama Gereja Protestan dan Gereja Katolik di Jalan Kemanusiaan dan Harapan,” Pdt. Manuputty menegaskan bahwa ada dua teks fundamental yang mendasari konsep “Teologi Perjalanan.”
Yang pertama, Lukas 24:13–35, tentang perjalanan dua murid ke Emaus. Dalam kisah ini, dua murid berjalan bersama dalam kekecewaan. Pada momen itulah, Yesus hadir tanpa dikenali. Ia menafsirkan Kitab Suci, lalu baru dikenali oleh para murid-Nya Ketika Ia memecah roti. Inilah “Ekklesiologi Berjalan Bersama”, yaitu Kristus yang hadir dalam dialog, dalam perjalanan, dan dalam tindakan berbagi. Gereja baru mengenal Kristus ketika ia mau berbagi, bukan ketika sibuk berdebat tentang siapa yang paling benar. Yang kedua, Yohanes 17:21, doa Yesus agar para pengikut-Nya menjadi satu. Kesatuan yang didoakan Yesus bukanlah keseragaman, melainkan kesaksian kasih yang mempercayakan diri pada relasi. “Kasih tanpa berjalan bersama hanyalah romantisme spiritual,” ujarnya. Dari dua teks ini lahir imperatif moral bagi Gereja masa kini: persatuan bukanlah tujuan akhir, melainkan cara berjalan menuju kemanusiaan yang disembuhkan.

Hubungan Gereja Katolik dan Protestan, menurutnya, adalah sejarah luka yang berubah menjadi dialog, dan kini sedang menjadi spiritualitas bersama. Reformasi abad ke-16 memang memisahkan tubuh Kristus, tetapi juga membuka ruang bagi kesadaran baru bahwa kebenaran Allah lebih besar daripada denominasi. Pasca Konsili Vatikan II—terutama melalui Unitatis Redintegratio—Gereja Katolik membuka pintu dialog yang sejajar, dan disambut oleh Dewan Gereja Dunia (WCC) dengan penuh keterbukaan dan kerendahan hati. “Kini, yang kita hadapi bukan lagi benturan doktrin, melainkan ketegangan antara spiritualitas dan institusi: Gereja sering menjadi locus kekuasaan, bukan locus communio. Dogma kadang berfungsi sebagai benteng, bukan jembatan. Dalam arus globalisasi, banyak Gereja sibuk mempertahankan eksistensi lembaganya, tetapi melupakan eksistensi dunia yang sedang sekarat,” ujarnya.
Ia menambahkan, ekumenisme sejati hari ini bukan proyek dokumen bersama, melainkan konversi bersama—berpaling dari ego ecclesiae menuju missio Dei, karya keselamatan Allah di tengah dunia. Dalam konteks etnografis Indonesia, relasi Katolik–Protestan tidak pernah hanya teologis, tetapi juga sosial dan kultural. “Di Ambon, Tanimbar, Flores, hingga Papua, umat Katolik dan Protestan hidup berdampingan, berbagi sekolah, rumah sakit, bahkan air bersih. Di situ, ekumenisme bukan wacana; ia adalah roti yang dibagi di meja penderitaan rakyat. Sun hodos dalam krisis kemanusiaan dan ekologi berarti menapaki dunia yang terluka: di satu sisi dehumanisasi—ketika manusia direduksi menjadi angka atau buruh kapital; di sisi lain kerusakan ekologis—ketika bumi berteriak karena keserakahan manusia,” paparnya.

Dari Karitatif Menuju Spiritualitas Ekoprofetik
Lebih jauh, Pdt. Jacklevyn Manuputty menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia dan Asia, Gereja Protestan dan Katolik telah menunjukkan kolaborasi nyata: pelayanan lintas lembaga dalam krisis kemanusiaan dan bencana alam, advokasi bersama terhadap intoleransi dan kerusakan lingkungan, serta kerja sama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat 3T.
“Namun, kita perlu melangkah lebih jauh, dari kolaborasi karitatif menuju spiritualitas ekoprofetik—yang menuntun tindakan etis untuk membela bumi sebagai sakramen ciptaan Allah,” tandasnya.
Meski demikian, tantangan tetap ada: eksklusivitas dogmatis ketika kebenaran dijadikan senjata, bukan rahmat; sekularisasi ketika Gereja kehilangan daya profetik di tengah meningkatnya sekularisme; serta erosi moral dan spiritual yang membuat umat kehilangan harapan di tengah kekerasan sosial dan politik uang. Ia menegaskan, harapan tetap menyala ketika Gereja berani menghidupi tiga praksis sun hodos: mendengar sebelum mengajar, berjalan bersama yang miskin, dan melayani bumi sebagai tubuh Kristus yang lain.

Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
SAGKI V KWI, Ketum PGI: Relasi Katolik–Protestan Tidak Hanya Teologi...
JAKARTA, PGI.OR.ID — Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty...
Pembukaan Sidang MPH-PGI: Ketum Tegaskan Komitmen PGI yang Semakin Men...
JAKARTA, PGI.OR.ID-Sidang Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) resmi dibuka...
Sidang Wilayah PGIW NTT 2025 Tegaskan Komitmen Gereja Sebagai Terang K...
KUPANG, PGI.OR.ID — Sidang Wilayah Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Nusa Tenggara Timur...

