75 Tahun PGI: “Dari Monumen ke Ekosistem: Ziarah Iman, Luka, dan Perlawanan Gereja-Gereja Indonesia”

JAKARTA,PGI.OR.ID-Di tengah pusaran sejarah Indonesia yang terus bergerak dan bergolak, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) hari ini menandai 75 tahun perjalanannya, bukan sebagai sekadar institusi keagamaan, melainkan sebagai tubuh kolektif iman yang terus berziarah dalam luka dan harapan, dalam badai dan kesetiaan.
Dalam perayaan syukur yang berlangsung di GKI Pondok Indah, Jakarta, Ketua Umum PGI, Pdt. Jacklevyn F. Manuputty, menyampaikan pidato yang tajam, reflektif, dan menukik ke jantung realitas Indonesia kontemporer: krisis moral, luka sosial, intoleransi yang membusuk sejak dini, hingga tantangan ekologis yang merobek nalar iman kita. Pidato ini bukan sekadar pengingat sejarah, melainkan deklarasi profetik: gereja tidak boleh lagi menjadi menara gading yang bisu.
“Kita tidak cukup hanya bicara kasih di altar, lalu diam terhadap kemiskinan struktural. Kita tak bisa memadahkan syukur, tapi bungkam saat bumi yang kita injak menjerit karena kerakusan kita,” tegas Pdt. Jacky, sapaan akrab sang Ketua Umum, yang dikenal sebagai teolog-peziarah dengan akar kuat dalam tradisi perdamaian lokal dan praksis profetik.
75 Tahun: Bukan Angka, Tapi Ziarah Luka dan Solidaritas
Didirikan pada 25 Mei 1950 oleh tujuh sinode, PGI kini mewakili 105 sinode dari seluruh penjuru Nusantara. Tubuh Kristus di Indonesia ini bukanlah bangunan homogen, melainkan mozaik kultural dan spiritual yang merayakan keragaman bahasa, adat, dan sejarah. Dalam gaya naratif, Pdt. Jacky menggambarkan PGI bukan sebagai monumen nostalgia, tetapi sebagai ekosistem iman yang mengakar dalam realitas Indonesia yang terus berubah.
Dalam satu dekade terakhir, PGI tidak hanya menavigasi tantangan sektarianisme dan intoleransi, tetapi juga hadir di tengah konflik agraria, bencana ekologis, serta gerakan keadilan sosial di kawasan-kawasan yang terlupakan: dari Papua hingga Mentawai, dari Tanimbar hingga Kalimantan.Sebagai bagian dari perayaan 75 tahun, PGI menggerakkan serangkaian aksi sosial dan ekologi di seluruh Indonesia, menjadikan perayaan bukan sekadar seremoni, tetapi teologi yang menjelma menjadi perbuatan.
Kegiatan tersebut antara lain: (1) Aksi donor darah massal yang dilaksanakan oleh jemaat-jemaat di beberapa daerah, sebagai tanda solidaritas nyata terhadap krisis kesehatan dan kemanusiaan. (2) Pembagian paket sembako di komunitas rentan yang terdampak inflasi dan bencana. (3) Aksi penyelamatan ekologi, seperti: Penanaman pohon untuk memulihkan lahan-lahan yang rusak akibat eksploitasi. (4) Rehabilitasi mangrove di pesisir Maluku dan Papua Barat sebagai perisai alamiah yang selama ini diabaikan. (5) Restorasi terumbu karang oleh komunitas penyelam muda dan nelayan lokal di Ambon sebagai bentuk iman yang menyelam ke kedalaman laut dan sejarah.
“Kami adalah perahu iman, yang terus mendayung melawan arus egoisme dan teologi-teologi yang lupa bahwa Allah tidak tinggal di balik tembok gereja, tetapi berjalan bersama para korban sejarah,” ungkapnya.
Terang di Tengah “Indonesia Gelap”
Mengutip tema Sidang Raya XVIII PGI di Toraja: “Hiduplah sebagai Terang yang Membawa Keadilan, Kebaikan, dan Kebenaran”, Pdt. Jacky menyinggung ironinya tagar viral #Indonesia_gelap di media sosial, yang menggambarkan keresahan publik terhadap krisis keadilan dan runtuhnya etika publik. Gereja, menurutnya, harus menjadi terang yang tak padam, bahkan di tengah malam yang paling kelam.
PGI menolak diam ketika intoleransi merenggut nyawa seorang anak SD karena perbedaan agama. Ia menolak menjadi “tempat rindu” yang nyaman tapi tak mengubah. Gereja, tegasnya, harus memikul “salib publik” dan menjelma sebagai lokomotif moral bangsa, yang menggerakkan perubahan, bukan sekadar memperingati masa lalu.
Ekumenisme sebagai Ziarah Kebangsaan
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGI juga menegaskan bahwa ekumenisme bukan proyek elit global atau wacana liturgis belaka, melainkan praksis lokal yang meresap dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Ekumenisme, bagi PGI, adalah ziarah kebangsaan: perjalanan iman yang terjalin dengan upaya membangun rumah bersama bernama Indonesia, yang adil bagi semua, bukan hanya yang kuat.
“Kita adalah gereja-gereja yang mengaku bahwa melalui dirinya Allah berinkarnasi dalam ruang hidup yang bernama Indonesia,” ungkapnya, menyatukan kosmologi iman dan nasionalisme dalam satu nalar spiritual yang membumi.
Dari ICE ke GKI PI: Solidaritas dalam Skala Kecil dan Aksi Besar
Awalnya, PGI berencana mengadakan perayaan besar-besaran di ICE BSD dengan belasan ribu peserta. Namun, dengan mempertimbangkan krisis ekonomi dan solidaritas terhadap rakyat yang sedang bergumul, skala acara dikecilkan dan dialihkan ke GKI Pondok Indah. Sebaliknya, aksi-aksi sosial dan ekologis diperbesar. Ini bukan kompromi, tetapi pilihan moral.
PGI menegaskan bahwa solidaritas bukan hanya narasi, tetapi tindakan. Gereja yang Bertumbuh, Bukan Berlindung. Dalam semangat ini, PGI pun mengajak seluruh gereja-gereja di Indonesia dan mitra internasionalnya untuk menjadi gereja yang berpihak, bukan netral, menjadi gereja yang terbuka, bukan tertutup, menjadi gereja yang berpikir keras dan bekerja nyata, serta menjadi gereja yang merayakan perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman.
PGI juga menyerukan pentingnya dialog lintas iman, keterlibatan kritis dengan negara, dan jejaring solidaritas internasional. Karena, seperti dikatakan Pdt. Jacky, “Dunia terlalu rapuh untuk dijaga sendiri, dan terlalu luas untuk didiami dengan kebencian.”
Menutup sambutannya, sang Ketua Umum melontarkan pantun bernuansa teologis dan jenaka, yang justru memperjelas arah gerak PGI: bukan hanya menjadi terang, tetapi menjadi terang yang membawa keadilan. “Gereja bukan cuma soal menjadi terang, Tapi juga soal apakah keadilan, kebaikan, dan kebenaran tetap terbawa.”
Tentang PGI
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) adalah wadah ekumenis gereja-gereja Protestan di Indonesia. Didirikan pada 25 Mei 1950, PGI kini menjadi simbol persatuan spiritual yang memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan integritas ciptaan di tengah tantangan kebangsaan dan global.