PGI Rayakan 75 Tahun dengan Semangat Kesatuan dan Kebangsaan, Relevansi sebagai Terang di Tengah Gelapnya Dunia

JAKARTA,PGI.OR.ID-Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menandai tonggak sejarahnya yang ke-75 dengan Ibadah Syukur dan Perayaan di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Indah, Jakarta, pada Sabtu (31/5/2025).
Acara yang mengangkat tema “Kesatuan Tubuh Kristus yang Tangguh dan Relevan” ini menjadi puncak dari rangkaian perayaan yang mencerminkan perjalanan panjang oikoumene sejak PGI pertama kali dibentuk pada 25 Mei 1950, sekaligus menjadi momentum reflektif sekaligus profetik bagi gereja-gereja anggota PGI dan bangsa Indonesia.
Ibadah dimulai secara khidmat dengan arak-arakan para pelayan ibadah yang diikuti oleh pemimpin sinode gereja, pimpinan PGI Wilayah, dan Majelis Pekerja Harian PGI. Seluruh tata liturgi sarat makna, menghadirkan simbol kapal yang tengah mengarungi lautan berombak—sebuah lambang perjalanan iman dalam perahu oikoumene bersama 105 sinode anggota PGI.
Dalam khotbahnya, Pendeta Andreas A. Yewangoe, mantan Ketua Umum PGI periode 2000–2004, mengajak jemaat untuk merefleksikan tantangan gereja di era peradaban baru yang didominasi kecerdasan buatan. Ia menyoroti bagaimana kepintaran diagungkan tanpa diimbangi hati dan empati. Dalam dunia post-truth, kebenaran obyektif digantikan oleh persepsi pribadi.
Ia mengaitkan hal ini dengan kisah para murid Yesus yang takut menghadapi badai dan mempertanyakan kehadiran-Nya, sebuah cerminan dari keraguan gereja masa kini dalam menyandarkan iman kepada Kristus di tengah gelombang dunia modern dan pertikaian internal gereja. “Apakah kita memenjarakan Yesus dalam perahu oikoumene kita karena merasa mampu menyelesaikan masalah dengan profesionalitas semata?” tanya Pdt. Andreas dalam renungannya yang menyentuh.
Setelah ibadah, suasana berganti meriah dalam perayaan ulang tahun yang diisi oleh pujian dari paduan suara GKE, pemenang lomba Mars PGI, dan penampilan para penyanyi rohani. Acara ini dihadiri sejumlah tokoh lintas agama dan pejabat publik seperti Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq, serta Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.
Ketua Panitia HUT ke-75 PGI, Olly Dondokambey, menyatakan bahwa perayaan ini dirancang dengan semangat kebangsaan. Bukan sekadar seremoni, tetapi juga menjadi wujud teologi yang menjelma menjadi aksi nyata. Dalam rangkaian HUT, PGI telah menggerakkan kegiatan sosial dan ekologi di seluruh Indonesia, menyelenggarakan seminar penjemaatan dokumen keesaan gereja, serta melakukan ziarah oikoumenis ke makam tokoh-tokoh pendiri PGI.
Dalam sambutannya, Gubernur Pramono Anung menekankan pentingnya menjaga kesejukan, kedamaian, dan toleransi. Ia menegaskan komitmennya sebagai pemimpin yang melayani seluruh agama.
Wakil Menteri Fajar Riza Ul Haq menyampaikan harapannya agar di usia ke-75, PGI terus memberi kontribusi nyata bagi seluruh anak bangsa. “Ketika kita manusia beriman peduli pada entitas yang lain, yang berbeda, itu adalah wujud kesolehan sosial paling tinggi,” ujarnya. Ia juga menilai kehadiran tokoh lintas agama mencerminkan komitmen kebersamaan sebagai anak bangsa.
Menteri Raja Juli Antoni dalam pesannya menggarisbawahi bahwa kebinekaan dan Pancasila bukanlah pemberian, melainkan perjuangan yang harus terus dihidupi. Ia mendorong komunikasi dan koordinasi erat lintas agama untuk mencari titik temu di tengah potensi perpecahan, terutama di masa kontestasi politik. Ia mengajak anak-anak muda PGI untuk merawat nilai-nilai kebangsaan dan menghidupkan semangat kebinekaan dalam kehidupan sehari-hari.
Penegasan tentang peran gereja dalam kehidupan bangsa disampaikan pula oleh Ketua Umum PGI 2024–2029, Pendeta Jacklevyn Fritz Manuputty. Ia menegaskan bahwa “yang bernama Indonesia” adalah hasil perpaduan iman dan nasionalisme dalam satu nalar spiritual yang membumi. Menyinggung tagar viral #Indonesia_gelap, Pdt. Jacky menyatakan bahwa gereja harus menjadi terang di tengah krisis keadilan dan runtuhnya etika publik.
Ia juga menyoroti tragedi kematian seorang anak karena perbedaan agama, dan mempertanyakan, “Jika anak-anak telah terpapar perilaku intoleran, imajinasi kebangsaan seperti apakah yang akan mereka miliki dalam pertumbuhan ke depan?” Pdt. Jacky menegaskan komitmen PGI untuk mendorong dialog lintas iman, keterlibatan kritis dengan negara, serta membangun jejaring solidaritas internasional. “Dunia terlalu rapuh untuk dijaga sendiri, dan terlalu luas untuk didiami dengan kebencian,” tegasnya.
Perayaan HUT ke-75 PGI ini tidak hanya menjadi momen syukur atas perjalanan panjang oikoumene di Indonesia, tetapi juga seruan moral dan spiritual untuk menghadirkan gereja yang kuat, peduli, dan relevan di tengah bangsa yang terus bertumbuh dalam kebinekaan. (EDP)