PGI Ajak Umat Kristen Pembawa Damai Sejahtera, Sampaikan Suara Kenabian, dan Bangun Ruang Persaudaraan

MEDAN,PGI.OR.ID-Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan menegaskan bahwa kebebasan beragama bukan hanya isu hukum atau politik, tetapi isu moral dan teologis. Sebab itu, umat Kristen dipanggil untuk berpartisipasi secara positif sebagai pembawa damai sejahtera, kritis dengan menyampaikan suara kenabian, kreatif dalam membangun ruang-ruang persaudaraan, dan realistis-berpengharapan dalam mentransformasi struktur dan kultur dalam hidup rersama.
Ajakan tersebut disampaikannya saat diskusi yang diinisiasi oleh Forum Umat Kristiani Indonesia (Fukri) dalam rangka Paskah Nasional, di GBI Rumah Persembahan, Jl. Jamin Ginting KM 11.5 Medan, Sumatera Utara, pada Jumat (16/5/2025).
Menurut Sekum PGI, positif sebagai pembawa damai dan harapan, artinya umat Kristen dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13–16), menjadi pelopor kerukunan dan agen transformasi sosial di daerahnya. Dalam banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, ditemukan banyak faktor yang saling berkelindan.
“Tidak ada faktor tunggal dalam kasus intoleransi atau pelarangan beragama-berkeyakinan. Rivalitas politik lokal, kepentingan ekonomi, nilai budaya/agama, saling berhimpitan dan membuat kebebasan beragama terasa mahal di beberapa tempat. Dalam kondisi seperti itu, umat Kristen perlu bersikap positif. Penolakan kebebasan beragama untuk satu atau beberapa kelompok beragama menunjukkan urgensi menjadi garam dan terang dunia,” tandasnya.
Sedangkan panggilan menjadi garam dan terang dunia, lanjutnya, adalah panggilan untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab (responsible citizenship). Dari pada meratapi gelap, kita perlu menyalakan terang-Nya. Gereja-gereja perlu menerjemahkan panggilan untuk menyejahterakan kota (Yer 29:7)secara konkret.
Sementara kritis dengan menyampaikan suara ketidakadilan, diartikan, kita tidak boleh naif dengan berpikir, dalam hidup bersama, umat Kristen harus selalu positif, mengalah, menerima perlakuan tidak adil. Imperatif Kristus kalau pengikutnya “tidak boleh melawan orang yang berbuat jahat melainkan jika ditampar pipi kanan berikan pipi kiri” (Mat 5:39) tidak boleh ditafsirkan bahwa kita tidak boleh bersikap kritis.
“Dalam kitab Suci, para nabi, termasuk Kristus, mengkritik penyimpangan, ketidakadilan, kejahatan dan penindasan. Kritik perlu dilakukan bukan sebagai provokasi atau kebencian, tapi sebagai koreksi penyimpangan,” ujarnya.
Terakhir, membangun ruang baru untuk dialog dan literasi. Ia melihat, sikap kritis perlu dibarengi dengan tindakan kreatif. Ketika Tuhan memuji bendahara yang tidak jujur (Luk 16:1-9), Tuhan sesungguhnya sedang mengapresiasi tindakannya yang tidak mau menyerah dan mencari jalan untuk menggurangi tanggung jawabnya. “Tuhan ingin agar anak-anak terang lebih cerdik dari anak-anak dunia. Kalau untuk hal yang buruk orang bisa kreatif dan ceerdik mencapai maksudnya, mestinya untuk hal baik dan benar orang lebih kreatif dan cerdik mewujudkannya.” tandas Pdt. Darwin Darmawan.
Pembicara lain, pimpinan dan pendiri dari Gereja Orthodox Indonesia, Romo Episkop Daniel Byantoro, Ph.D, menegaskan bahwa ada tugas yang amat penting yang dimiliki oleh Gereja Orthodox dalam mewujudkan partisipasinya dalam membangun Negara Indonesia dalam Kebebasan Beragama. Hal itu dilandaskan pada ajaran, praktik, dan apa yang seharusnya merupakan keterlibatannya yang aktif dalam usaha untuk menciptakan toleransi dan moderasi dalam beragama di tengahtengah masyarakat bangsa Indonesia ini.
Ia pun menegaskan, dalam suatu masyarakat yang majemuk dimana adanya macam-macam pemeluk agama, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda seperti Indonesia, suatu pemahaman tentang cara hubungan yang kondusif antara satu dengan yang lain dalam kehidupan anggota masyarakat yang berbeda keyakinan dan latar belakang budaya itu perlu diupayakan.