Pdt Jacklevyn F. Manuputty: Paus Fransiskus Teladan Satunya Kata dan Perbuatan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacklevyn F. Manuputty mengenang Paus Fransiskus sebagai figur yang langka dalam lanskap kepemimpinan spiritual global: seorang pemimpin yang kata-katanya senantiasa selaras dengan tindakan nyata.
Hal tersebut mengemuka saat Pdt. Manuputty menyampaikan refleksi dalam seminar “Sebuah Mosaik Indah: Indonesia di Mata Paus Fransiskus” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus (PRASKIS), pada Sabtu (10/5/2025).
Seminar yang berlangsung di Aula Gedung KWI, Jakarta Pusat, ini menjadi ruang perjumpaan lintas iman untuk mengenang kunjungan bersejarah Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3-6 September 2024 lalu. Dengan mengusung tema “Faith, Fraternity, and Compassion”, kunjungan tersebut tidak hanya menjadi peristiwa keagamaan tetapi juga momen penting dalam memperkuat dialog antaragama dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan bersama.
Dalam testimoninya, Pdt. Jacky Manuputty membagikan kesan mendalam dari dua perjumpaannya secara langsung dengan Paus Fransiskus, yaitu saat berkunjung ke Vatikan sebelum kunjungan Paus ke Indonesia, dan saat menyambut beliau di Jakarta pada September 2024 dalam acara Deklarasi Istiqlal. Dari kedua peristiwa tersebut, ia menyaksikan secara langsung penghormatan dan kekaguman Paus Fransiskus terhadap Indonesia.
“Dalam pertemuan di Vatikan, Paus Fransiskus berbicara tentang Indonesia dengan penuh kebanggaan. Ia melihat Pancasila sebagai warisan luar biasa yang patut dijaga, sebagai kekuatan sejati bangsa ini,” ungkap Pdt. Manuputty. Hal itu, katanya, ditegaskan kembali saat Paus Fransiskus menyampaikan bahwa kekayaan terbesar Indonesia bukanlah tambang emas, melainkan keragaman dan kerukunan yang hidup di tengah masyarakat.
Refleksi tersebut mengantarkan pada pertanyaan kritis yang disampaikan Pdt. Manuputty kepada bangsa Indonesia: “Apakah kita sungguh menghidupi keragaman itu? Ataukah kita hanya memujanya di kata-kata tetapi mengkhianatinya dalam tindakan?” Seruan ini menjadi ajakan untuk merefleksikan kembali konsistensi antara nilai-nilai yang dijunjung dan praktik kehidupan bersama dalam masyarakat.
Lebih lanjut, Pdt. Manuputty menyatakan bahwa wafatnya Paus Fransiskus bukan hanya kehilangan bagi Gereja Katolik, melainkan duka global karena dunia kehilangan figur ayah—seorang pemimpin spiritual dunia yang menembus sekat identitas karena cinta kasih yang lahir dari kedalaman spiritualitas. “Ia adalah gembala agung yang meletakkan kemanusiaan sebagai altar utamanya dan dunia sebagai ladang kasihnya,” katanya.
Paus Fransiskus, menurutnya, hadir sebagai suara profetis dalam dunia yang riuh oleh politik identitas, eksklusivisme ekonomi, dan polarisasi sosial. Ia dikenal sebagai pemimpin yang menolak kemewahan, memilih untuk hidup dalam kesederhanaan, menjadi sahabat para migran, pelindung bumi yang terluka, dan advokat perdamaian global. “Beliau bukan sekadar simbol institusi Gereja, tetapi simbol kolektif dari harapan baru bahwa kekudusan bisa tumbuh dari dapur rakyat, dari lorong pengungsi, dari tangis bumi yang terlupakan,” tambahnya.
Ketua Umum PGI periode 2024-2029 ini, juga menyinggung pentingnya ensiklik-ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus seperti Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, yang menurutnya memberikan navigasi moral dan spiritual bagi dunia yang tengah dilanda krisis ekologis dan kemanusiaan. “Di tengah dunia yang seolah bergerak dalam autopilot karena kemajuan teknologi, tetapi juga penuh ketidakpastian dan bencana, Paus Fransiskus mengajak kita untuk menavigasi kehidupan dengan iman, dengan relasi yang sejajar kepada Allah dan sesama,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa kerusakan ekologis yang menjadi sorotan dalam Laudato Si’ berakar pada moralitas manusia yang rusak—yakni pola pikir individualistik dan eksploitatif yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai keterhubungan dengan sesama dan alam. “Laudato Si’ adalah seruan untuk pertobatan ekologis, untuk melihat bumi sebagai rumah bersama yang harus dirawat bukan demi keuntungan, tapi demi kehidupan,” ujarnya.
Dalam Fratelli Tutti, lanjutnya, Paus Fransiskus mengangkat kembali pentingnya persaudaraan universal yang tidak hanya menjadi wacana tetapi menjadi aksi konkret untuk melawan dehumanisasi, konflik, kekerasan, dan segregasi sosial. “Ini sangat selaras dengan DNA bangsa Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang ‘guyub’, tetapi kini sedang terpecah oleh politik identitas dan kepentingan kelompok,” katanya.
Mengakhiri refleksi, Pdt. Manuputty menyerukan agar warisan moral dan spiritual Paus Fransiskus menjadi inspirasi lintas iman untuk membangun masa depan bersama yang penuh damai dan keadilan. “Kita semua, apapun latar belakang kita, terpanggil untuk membangun jembatan, bukan tembok. Kita hadir di sini untuk menginternalisasi nilai-nilai kemanusiaan yang melampaui batas agama, demi relevansi iman kita di tengah dunia dan demi masa depan bumi,” tutupnya.
Pada kesempatan yang sama, Pdt. Manuputty juga menyampaikan ucapan selamat kepada Gereja Katolik atas terpilihnya Paus baru, Paus Leo XIV, yang kini melanjutkan warisan kasih dan keberpihakan pada yang lemah dari pendahulunya.
Sebelumnya Mgr. Antonius S. Bunjamin, Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam refleksinya, menyampaikan bahwa tema kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia Iman, Persaudaraan dan Belarasa adalah cermin dari dari kehidupan Paus Fransiskus “tema itu adalah ringkasan hidup Paus Fransiskus, di mana iman yang sejati kepada Allah itu berbuah pada komitmen yang sungguh kepada sesama melalui tindakan konkret belarasa” ungkapnya.
Lebih lanjut ia sampaikan bahwa tema terebut mencerminkan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia: gotong royong. “Paus bahkan menyebut istilah gotong royong dalam sambutan resminya. Sepulang dari Indonesia, yang paling banyak dibicarakan beliau adalah negeri ini. Indonesia telah memberi kesan mendalam sebagai negara mayoritas Muslim yang menyambut pemimpin Katolik dengan cinta,” ucapnya.
Sementara itu, Dr. Siti Musda Mulia, cendekiawan Muslim perempuan, menyoroti keteladanan universal Paus Fransiskus. “Beliau bukan hanya pemimpin Katolik, tapi teladan bagi semua umat manusia. Hidupnya adalah cermin: bagaimana seharusnya menjadi manusia. Saya merasa terberkati pernah bertemu beliau dua kali,” ungkapnya haru.
Dalam seminar ini, hadir juga Ignatius Jonan (Ketua Panitia Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia) dan Francisia S.E. Ery Seda (selaku moderator) dan diikuti oleh para Pastor, Umat dan kaum muda Katolik.
“Be a Friend. Jadi sahabat,, bukalah ruang untuk persahabatan sehingga tidak ada jarak bagi kita untuk membangun prasangka, prejudice. Semakin terbuka dan semakin menjadi sahabat semakin kita membangun jembatan, semakin kita paham, apa sebenarnya yang berbeda dan kita bisa menerima perbedaan itu ketika kita menjadi dekat sebagai sahabat. Kekuatan kita pada guyub itu yang harus dikembalikan ditengah masyarakat yang majemuk” ajakan dari Pdt Jacklevyn F. Maunuputty menutup acara.