“AYAH: LEBIH DARI SEKADAR WAJAH & NAFKAH” Meneguhkan Ecclesia Domestica Melalui Kasih, Teladan, dan Iman
Oleh: Biro Keluarga Dan Anak PGI
12 Nov 2025 09:31
Keluarga dalam iman Kristen, sejatinya bukanlah sekadar sebuah unit sosial, melainkan ecclesia domestica (gereja domestik atau gereja keluarga), tempat di mana iman dilahirkan, dibina, dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya dalam banyak keluarga, figur ayah sering kali diingat karena perannya sebagai pencari nafkah. Ia bekerja keras, menafkahi, dan memastikan roda rumah tangga berputar. Namun, seiring waktu, kita belajar bahwa kehadiran ayah bukan sekadar wajah (fisik) dan nafkah (finansial), melainkan juga kehadiran secara emosional, spiritual, dan relasional. Ecclesia domestica membutuhkan figur ayah yang membentuk keamanan emosional, keteladanan moral, serta terlibat penuh dalam mendampingi pertumbuhan iman anak-anak dan anggota keluarga lain.
Fakta Fatherless di Indonesia
Berbagai sumber menunjukkan bahwa fenomena fatherless (ketiadaan figur ayah secara aktif) bukan sekadar masalah individu, melainkan tantangan sosial yang nyata. Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN), Wihaji, dalam pernyataan tahun 2023 mengutip data UNICEF 2021 bahwa sekitar 20,9 persen atau satu dari lima anak Indonesia tumbuh tanpa peran ayah (fatherless). Angka ini bukan hanya menggambarkan ketiadaan fisik (ayah yang meninggal, bekerja jauh, atau bercerai), tetapi juga ketiadaan emosional dan spiritual, ketika ayah ada secara fisik, namun tidak terlibat dalam dinamika kehidupan anak.
Fenomena ini diam-diam meluas. Banyak anak kehilangan figur panutan yang membantu mereka menavigasi emosi, nilai, dan iman. Akibatnya, muncul berbagai hambatan dalam perkembangan sosial, moral, dan psikologis anak. Faktor penyebabnya pun bermacam-macam: kematian, perceraian, ayah yang bekerja jauh dari keluarga atau migrasi, dan ‘tradisi’ serta konstruksi sosial masyarakat yang menempatkan ayah hanya sebagai pencari nafkah. Hal ini pula yang menunjukkan bagaimana figur ayah kerap digambarkan hanya perlu hadir secara fisik, namun alpa dalam peran emosional serta spiritual anak.
Dampak Psikologis & Perkembangan Anak
Merujuk pada teori tahap perkembangan psikososial, Erik Erikson mengembangkan teori bahwa manusia melalui delapan tahap perkembangan psikososial dari bayi sampai lanjut usia, dan setiap tahap memiliki krisis psikososial yang harus diselesaikan. Ketidakhadiran figur ayah, baik secara fisik maupun fungsional, sangat berpengaruh setidaknya terhadap lima dari delapan tahap perkembangan psikososial, yaitu: tahap 1 “Trust vs Mistrust” (0–1 tahun), tahap 3 “Initiative vs Guilt” (usia prasekolah), tahap 4 “Industry vs Inferiority” (usia sekolah), tahap 5 “Identity vs Role Confusion” (masa remaja), dan tahap 7 “Generativity vs Stagnation” (dewasa), di mana figur ayah, khususnya dalam konteks ecclesia domestica, adalah agen generativity, yaitu berperan dalam membimbing iman & karakter anak-anaknya, menanam sesuatu yang abadi bagi keluarga dan gereja.
Karena keberhasilan menyelesaikan krisis tiap tahap memengaruhi tahap berikutnya, maka dapat dikatakan bahwa kehadiran ayah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai figur emosional dan spiritual yang stabil, sangat penting agar anak dapat berkembang secara utuh dalam aspek psikologis, sosial, dan iman.
Panggilan bagi Keluarga dan Gereja
Dalam Efesus 6:4 (TB 2) Rasul Paulus menasihati, “Dan kamu, Bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Bacaan ini menegaskan bahwa peran ayah bukan untuk mendominasi secara absolut, tetapi mendidik di dalam kasih. Setiap ayah, dengan segala keterbatasan dan pergumulannya, sebenarnya sedang memerankan fragmen kecil dari kasih Allah Bapa. Ia dipanggil bukan untuk menjadi sempurna, tetapi setia, dalam mengasihi dengan kesabaran, menegur dengan kelembutan, dan menguatkan dengan doa.
Namun kita juga sadar, tidak semua anak memiliki figur ayah yang hadir. Ada yang kehilangan sejak dini, ada yang ditinggalkan, ada pula yang tumbuh di bawah bayang-bayang luka. Bagi mereka, gereja dipanggil menjadi ruang yang memulihkan, menjadi komunitas iman yang menyalurkan kasih Bapa melalui relasi yang sehat dan komunitas yang menerima. Maka, mari mengingat bahwa “Hari Ayah Nasional” bukan sekadar selebrasi, melainkan panggilan untuk pemulihan.
- Bagi para ayah: hadirlah secara aktif, bukan hanya di meja makan, atau sekadar dalam komunikasi digital, melainkan juga dalam percakapan dari hati ke hati.
- Bagi gereja: siapkanlah ruang pemuridan bagi para ayah melalui kelompok pendampingan keluarga, kelas mentoring berbasis iman, atau ruang doa bagi para laki-laki yang bergumul dengan perannya di dalam keluarga.
- Bagi anak-anak: mari belajar melihat sosok ayah, yang betapa pun rapuh, namun merupakan bagian dari perjalanan menuju pengenalan akan kasih Bapa yang sempurna.
Keluarga yang sehat akan membentuk gereja yang kuat. Gereja yang kuat akan melahirkan generasi yang mengenal kasih Bapa, bukan sekadar lewat khotbah, tetapi lewat kehidupan ayah yang hadir dengan hati.
Selamat Hari Ayah Nasional 2025!
Kiranya setiap ayah menemukan kembali makna kehadiran dan perannya: sebagai hati dan teladan iman dari gereja kecil yang disebut keluarga.
Biro Keluarga dan Anak PGI
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
“AYAH: LEBIH DARI SEKADAR WAJAH & NAFKAH” Meneguhkan Ecclesia Dom...
Keluarga dalam iman Kristen, sejatinya bukanlah sekadar sebuah unit sosial, melainkan ecclesia domestica (gere...
Ketua Umum PGI Tekankan Spiritualitas Ugahari dalam World Peace Forum ...
JAKARTA, PGI.OR.ID – The 9th World Peace Forum (WPF) yang diselenggarakan di Jakarta pada 9–11 November 20...
PGI dan YAMUGER Teguhkan Sinergi untuk Menjaga Hidupnya Kidung Keesaan
JAKARTA, PGI.OR.ID – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Yayasan Musik Gereja Indonesia (YAMUGE...

