DIALOG INDONESIA - JERMAN: KETIKA IMAN DAN DEMOKRASI BERBAGI RUANG PUBLIK YANG SAMA


Nadia Manuputty
17 Oct 2025 12:39
Münster, kota yang pernah menjadi simbol Perdamaian Westphalia tahun 1648, kembali menjadi panggung pertemuan antara agama dan demokrasi. Bukan untuk berkonflik, melainkan untuk berdialog. Pada 26–28 September 2025, Universitas Münster di Jerman menjadi rumah bagi Konferensi Internasional “Peran Islam dan Kekristenan di Ruang Publik: Perspektif dari Indonesia dan Jerman.”
Perhelatan ini mempertemukan para teolog, akademisi, dan pemimpin lintas iman dari dua dunia yang berbeda namun menghadapi pertanyaan yang sama: bagaimana agama hidup di tengah demokrasi modern? Salah satu pembicara adalah Pdt. Jacky Manuputty, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), yang berbicara dalam sesi bertema “Religion and Democracy.”
Iman di Pasar Demokrasi
Dalam ulasannya, Manuputty menegaskan paradoks demokrasi Indonesia. Indonesia kerap dipuji sebagai keajaiban pluralisme, negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, namun berdiri di atas fondasi Pancasila yang sekuler dan inklusif. Di balik pujian itu, tersembunyi paradoks yang menohok. Demokrasi Indonesia tumbuh dari akar keberagaman, tetapi terus diuji oleh politisasi agama dan pragmatisme kekuasaan.
Sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, Indonesia mengalami konsolidasi demokrasi: pemilu yang bebas, media yang kritis, dan masyarakat sipil yang dinamis. Namun dua dekade kemudian, banyak yang merasa demokrasi kehilangan jiwanya. Partai-partai politik kehilangan ideologinya, tenggelam dalam arus politik transaksional dan oligarki. Lembaga-lembaga negara yang mestinya menjaga etika demokrasi, Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi, tak jarang terseret ke dalam pusaran kepentingan politik.
Dalam situasi inilah agama memainkan dua wajah: kompas moral dan pedang eksklusi. Ia mampu menumbuhkan integritas dan solidaritas sosial, tetapi juga kerap dijadikan legitimasi intoleransi. Bagi Indonesia, agama adalah denyut nadi demokrasi sekaligus retakan paling rapuh di tubuhnya.
_1760680146.jpeg)
Dua Konteks, Satu Pertanyaan
Bagi Jerman, pertanyaan tentang agama di ruang publik sudah berusia berabad-abad. Münster, simbol perdamaian yang menandai berakhirnya perang agama di Eropa: menjadi tempat yang tepat untuk merenungkan ulang relasi antara iman dan negara modern.
Kini, sekularisasi dan arus migrasi mengubah lanskap sosial Jerman. Kekristenan tidak lagi menjadi satu-satunya narasi moral, sementara komunitas Muslim berkembang pesat. Di tengah realitas baru itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: bukan bagaimana memisahkan agama dari publik, tetapi bagaimana agama dapat berkontribusi secara etis dalam ruang publik yang demokratis.
“Agama sebenarnya tidak pernah benar-benar meninggalkan ruang publik,” ujar Prof. Dr. Mouhanad Khorchide, Direktur Pusat Teologi Islam Münster. “Ia hanya berubah bentuk. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjadikannya suara konstruktif bagi keadilan, bukan sumber perpecahan.”
Nada serupa datang dari Prof. Dr. Simone Sinn, Direktur Departemen Studi Agama dan Teologi Interkultural, yang menekankan pentingnya “moral imagination”: imajinasi moral, dalam membangun demokrasi yang berjiwa.
Tujuh Isu Besar yang Menyatukan Dua Dunia
Selama tiga hari, tujuh panel utama menghidupkan diskusi lintas budaya dan teologi. Isu-isu yang dibahas menunjukkan bahwa relasi iman dan demokrasi tak dapat dipisahkan dari problem kemanusiaan kontemporer:
1. Role of Religion in Public Space – menilai peran dan fokus tematik aktor keagamaan dalam debat publik di Indonesia dan Jerman, serta bagaimana kerangka hukum membantu atau justru menghambat agensi keagamaan.
2. Religion and Democracy – menganalisis peran agama, teologi, dan kolaborasi antaragama terhadap demokrasi, termasuk tantangan yang dihadapinya.
3. Religion and Ecology – menggali perspektif religius dan interreligius dalam menghadapi krisis ekologis dan memperkuat riset tentang keberlanjutan planet.
4. Religion and Gender – mengkaji studi terkini tentang kesetaraan gender dan keberagaman dalam Islam dan Kekristenan.
5. Religion and Education – menelaah perkembangan pendidikan agama di tingkat menengah dan pendidikan tinggi di Indonesia dan Jerman, serta membandingkan teori pendidikan dari kedua tradisi teologis.
6. Interpreting the Bible and the Qur’an Today – mengeksplorasi pendekatan hermeneutik lintas iman, dan bagaimana Alkitab dan Al-Qur’an saling berkelindan dalam tafsir kontemporer.
7. Interreligious Relations in Academia and Civil Society – menganalisis pengaruh dan tantangan kerja sama antaragama di dunia akademik dan masyarakat sipil.
Topik-topik ini membuka ruang refleksi mendalam tentang perempuan, masyarakat adat, ekologi, dialog antaragama, dan masa depan pendidikan tinggi, dengan nada yang sama: agama tak boleh diam dalam menghadapi krisis zaman.
Suara Indonesia di Panggung Global
Selain Pdt. Jacky Manuputty, hadir pula sejumlah pemikir dari Indonesia yang telah lama memperjuangkan ruang publik yang inklusif: Alissa Wahid, Koordinator Nasional Gusdurian Network Indonesia; Merry Kolimon, teolog perempuan dari Kupang yang menyoroti teologi tubuh dan keadilan gender; serta Zainal Abidin Bagir, akademisi Universitas Gadjah Mada yang meneliti relasi agama dan demokrasi; Burhanuddin Muhtadi yang menyoroti perilaku Muslim dalam situasi menurunnya demokrasi di Indonesia; Izak Lattu, Dekan Fakultas Teologia UKSW yang mengulas hubungan antaragama di universitas dan masyarakat sipil; Robert Setio, Dekan Fakultas Teologia UKDW yang membicarakan kontribusi kritik ideologi untuk hermeneutika antaragama di Indonesia, serta sejumlah narasumber lainnya dari Idnonesia.
Kehadiran mereka memperkaya dialog yang menembus batas agama dan disiplin ilmu. Dari etika publik hingga hermeneutika teks suci, dari krisis ekologi hingga hak masyarakat adat, Indonesia menghadirkan wajah agama yang hidup di tengah riuh politik dan realitas sosial yang keras.
“Demokrasi Indonesia itu bising, tidak sempurna, tapi hidup,” ujar Manuputty. “Pertanyaannya bukan apakah agama boleh hadir dalam demokrasi, tetapi bagaimana agama bisa menghumanisasi demokrasi itu sendiri.”
Menuju Masa Depan Bersama
Konferensi di Münster tidak berhenti sebagai forum wacana. Di luar ruang diskusi, lahir gagasan membangun Konsorsium Jerman–Indonesia untuk Hubungan Muslim-Kristen (GIC), sebuah platform kerja sama jangka panjang antara akademisi dan masyarakat sipil kedua negara. Inisiatif ini menjadi narasi tandingan terhadap polarisasi global, menawarkan paradigma bahwa sekularisme dan religiositas tidak harus saling meniadakan.
Para teolog dari dua benua itu sepakat: agama mesti kembali ke hakikat profetisnya, menghibur yang lemah, mengoreksi yang berkuasa, dan menerangi ruang publik dengan kasih serta keadilan.

Dari Münster untuk Dunia
Ketika lonceng-lonceng Münster berdentang di akhir September, gema itu melampaui dinding katedral dan menyeberangi lautan, mungkin terdengar di masjid dan gereja di Ambon, Jakarta, dan Jayapura. Di sana, orang-orang yang pernah mengalami luka sosial dan konflik belajar kembali untuk berdialog.
Bagi Jerman, ini tentang menemukan kedalaman spiritual dalam demokrasi yang sekuler. Bagi Indonesia, ini tentang menghidupkan kembali nurani iman di tengah demokrasi yang sering kehilangan arah.
Dalam dialog dua dunia ini, mungkin sedang lahir sebuah geografi moral baru, di mana ruang publik tidak lagi menjadi medan perang keyakinan, melainkan tanah bersama bagi kemanusiaan, di mana iman dan demokrasi belajar bernapas dalam udara yang sama: udara keadilan, penghormatan, dan harapan.
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Talkshow Bertajuk “Bersama Menjaga Ciptaan” Tekankan Kolaborasi Im...
YOGYAKARTA, PGI.OR.ID — Talkshow keempat dalam rangkaian Konsultasi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB...
DIALOG INDONESIA - JERMAN: KETIKA IMAN DAN DEMOKRASI BERBAGI RUANG PUB...
Münster, kota yang pernah menjadi simbol Perdamaian Westphalia tahun 1648, kembali menjadi panggung pertemuan...
Pdt. Jacklevyn Manuputty: Imago Dei sebagai Fondasi Lintas Iman untuk ...
UTAH-USA, PGI.OR.ID — Dalam 32nd Annual International Law & Religion Symposium yang digelar 5–7 Oktobe...