Pdt. Jacklevyn Manuputty: Imago Dei sebagai Fondasi Lintas Iman untuk Kebebasan Beragama dan Martabat Manusia


admin
17 Oct 2025 12:35
UTAH-USA, PGI.OR.ID — Dalam 32nd Annual International Law & Religion Symposium yang digelar 5–7 Oktober 2025 di J. Reuben Clark Law School, Brigham Young University (BYU), Provo, Utah, lebih dari 30 pembicara dari berbagai negara berbicara membahas tema “Building Paths to Flourishing: Regional, National, and International Protections of Religious Freedom.” Forum internasional ini dihadiri oleh sekitar 100 orang peserta lintas iman dari 54 negara yang mewakili lembaga pemerintahan, komunitas agama, lembaga akademik, dan organisasi masyarakat sipil. Kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh International Center for Law and Religion Studies (ICLRS) ini menjadi ajang penting bagi para pemimpin lintas iman, pakar hukum, dan aktivis HAM untuk berdialog dan merumuskan strategi memperkuat kebebasan beragama di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Simposium ini digelar sebagai refleksi historis ICLRS BYU yang merayakan ulang tahun ke-25, 80 tahun PBB, dan 50 tahun OSCE. Forum ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana kebebasan beragama dilindungi — melalui jalur yudisial, legislatif, organisasi regional, dan kerangka hukum internasional — serta bagaimana lapisan perlindungan itu dapat bekerja bersama untuk menegakkan hak beragama, supremasi hukum, dan pluralisme global.
Simposium BYU tahun ini dihidupkan oleh sesi-sesi diskusi panel tematik tentang hubungan antara hukum nasional dan norma internasional dalam menjamin kebebasan beragama, tantangan regulasi terhadap komunitas minoritas, serta peran agama dalam membangun perdamaian pascakonflik. Para peserta menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor untuk memastikan bahwa kebebasan beragama tidak hanya dijamin secara hukum, tetapi juga dihidupi dalam praktik sosial dan budaya sehari-hari.

Di antara jajaran narasumber internasional, hadir Pdt. Jacklevyn F. Manuputty, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sebagai salah satu pembicara pada sesi pleno “Multi-Faith Promotion of Religious Freedom” bersama tokoh agama dari berbagai negara. Pdt. Jacky Manuputty memaparkan gagasan bertajuk “Imago Dei as the Interfaith Foundation for Religious Freedom and Minority Rights in Indonesia.”
Ia mengawali dengan menegaskan bahwa keberagaman Indonesia—yang mencakup 17.000 pulau, 600 kelompok etnis, dan 718 bahasa—adalah anugerah besar yang seharusnya menjadi sumber harmoni. Namun di balik keindahan itu, Indonesia menghadapi krisis martabat manusia akibat meningkatnya intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan berbasis agama. Meskipun kebebasan beragama dijamin konstitusi dan berbagai instrumen HAM internasional, kenyataannya masih banyak kelompok minoritas yang hidup di bawah ancaman dan tidak memperoleh keadilan.
Menurut Pdt. Jacky, akar persoalan terletak pada politisasi agama—agama dijadikan alat kekuasaan untuk mempertahankan rezim, memobilisasi dukungan politik, dan mengontrol masyarakat sipil. Akibatnya, agama kehilangan kesuciannya sebagai ruang penyembahan dan berubah menjadi mesin ideologi yang memecah belah.
Sebagai jalan keluar, ia mengajukan konsep teologis Imago Dei—bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27). Pemahaman ini, katanya, tidak hanya menjadi doktrin internal gereja, tetapi dapat menjadi bahasa etika universal yang mempersatukan antaragama. Jika setiap manusia adalah gambar Allah, maka tidak seorang pun boleh direndahkan karena keyakinannya, dan pelanggaran terhadap kelompok mana pun merupakan bentuk penodaan terhadap Sang Pencipta.
Pdt. Jacky menambahkan bahwa konsep Imago Dei memiliki resonansi dengan nilai-nilai luhur berbagai agama: karamah insaniyah dalam Islam, interbeing dalam Buddhisme, Atman-Brahman dalam Hindu, dan harmoni kosmis dalam tradisi leluhur Asia. Dengan dasar ini, dialog antaragama dapat berkembang menjadi solidaritas spiritual yang aktif membangun perdamaian dan melindungi martabat manusia.

Dalam bagian akhir, ia mengaitkan Imago Dei dengan Missio Dei—misi Allah yang mengutus umat berpartisipasi dalam karya rekonsiliasi dan pemulihan ciptaan. Ia menyerukan agar Indonesia tidak diwariskan sebagai tanah luka akibat politisasi agama, tetapi sebagai rumah bersama yang berakar pada martabat, kebebasan, dan kasih universal.
“Melihat wajah Allah dalam wajah ‘yang lain’ adalah panggilan etis kita,” tutupnya. “Hanya dengan itu, kita dapat bergerak dari krisis menuju peradaban baru yang menumbuhkan solidaritas lintas iman.”
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Talkshow Bertajuk “Bersama Menjaga Ciptaan” Tekankan Kolaborasi Im...
YOGYAKARTA, PGI.OR.ID — Talkshow keempat dalam rangkaian Konsultasi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB...
DIALOG INDONESIA - JERMAN: KETIKA IMAN DAN DEMOKRASI BERBAGI RUANG PUB...
Münster, kota yang pernah menjadi simbol Perdamaian Westphalia tahun 1648, kembali menjadi panggung pertemuan...
Pdt. Jacklevyn Manuputty: Imago Dei sebagai Fondasi Lintas Iman untuk ...
UTAH-USA, PGI.OR.ID — Dalam 32nd Annual International Law & Religion Symposium yang digelar 5–7 Oktobe...