WCC Serukan Persatuan dan Keadilan Iklim Global dalam Pembukaan Pertemuan Sentral Komite di Johannesburg

JOHANNESBURG,PGI.OR.ID-Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC) kembali menggelar Central Committee Meeting di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 18–24 Juni 2025. Pertemuan penting ini mempertemukan pemimpin-pemimpin gereja dari seluruh dunia untuk membahas peran gereja dalam menghadapi krisis global.
Indonesia turut ambil bagian dalam forum ini dengan mengutus tokoh-tokoh gereja nasional, antara lain Pdt. Ery Lebang (Presiden WCC untuk wilayah Asia), Pdt. Merry Kolimon, Pdt. Robinson Butar-Butar, dan Sien Yoteni sebagai anggota Central Committee, serta Pdt. Jacky Manuputty dari PGI sebagai penasihat.
Dalam sambutan pembukaan, Moderator WCC, Uskup Dr. Heinrich Bedford-Strohm, menyampaikan refleksi mendalam atas berbagai persoalan dunia dan tantangan yang dihadapi gereja. Ia menyoroti meningkatnya penderitaan global akibat konflik bersenjata, ketidakadilan ekonomi, serta bencana alam yang makin sering terjadi.
“Dunia sedang tidak baik-baik saja,” tegas Bedford-Strohm. “Gereja-gereja tidak boleh diam. Kita dipanggil untuk hadir membawa harapan dan menjadi saksi iman melalui tindakan nyata.”
Persatuan Gereja sebagai Tanda Pengharapan
Dalam pembukaan pertemuan ini, ia menggarisbawahi pentingnya persatuan sebagai jawaban terhadap krisis dunia. Ia mengenang kunjungan Paus Fransiskus ke Jenewa tahun 2018 yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama dalam doa dan kerja demi persatuan. Harapan ini juga ditegaskan kembali oleh Paus Leo XIV yang baru terpilih, yang menjadikan persatuan sebagai prioritas pelayanannya.
Perayaan 1700 tahun Konsili Nicea tahun ini pun dijadikan momen spiritual untuk memperkuat persekutuan. Bedford-Strohm mengaitkan peringatan ini dengan Proses Assisi, yaitu sebuah pendekatan yang memadukan refleksi iman dan etika ekologis sebagai tanggapan gereja terhadap krisis ciptaan.
Proses Assisi: Spiritualitas, Moralitas, dan Aksi Ekologis
Ia menyebut tiga alasan mengapa Proses Assisi sangat relevan saat ini. Pertama, pendekatan ini menyentuh aspek spiritual melalui perenungan keindahan ciptaan sebagai pancaran kehadiran Allah. Kedua, proses ini mendorong reorientasi moral untuk meninggalkan paradigma dominasi manusia atas alam, yang dianggap sebagai akar spiritual krisis ekologi. Ketiga, Proses Assisi diharapkan menjadi perayaan gerejawi bersama umat di akar rumput, serta menjadi bagian tetap dalam kalender gereja global.
Dekade Ekumenis untuk Keadilan Iklim
Topik krusial lainnya adalah keadilan iklim. Bedford-Strohm menyoroti ketimpangan dalam penanganan pemanasan global. Negara-negara di belahan bumi selatan menjadi korban utama, sementara sumber daya finansial untuk mitigasi justru terkonsentrasi di utara. “Kita membutuhkan pertobatan sejati dalam skala global,” ujarnya. “Gereja harus menjadi motor pertobatan ekologis, dari gaya hidup pribadi hingga suara kenabian dalam kebijakan publik.”
Ia menyerukan transformasi radikal, mulai dari membatasi emisi dan penggunaan plastik, hingga mengadopsi energi terbarukan. Gereja dituntut tidak hanya melayani korban, tapi juga menggugat akar penderitaan sistemik.
Dosa, Nasionalisme, dan Kolonialisme
Lebih jauh, ia mengulas konsep dosa sebagai alienasi manusia dari Allah dan sesama, termasuk dosa kolektif seperti komunitas yang memikirkan diri sendiri tanpa memperhatikan generasi mendatang. Ia mengecam nasionalisme sempit yang memicu konflik etnis dan kekerasan, dan menyebutnya sebagai manifestasi dosa yang bertentangan dengan semangat Injil.
Dalam konteks Afrika, Bedford-Strohm menyinggung luka kolonialisme dan warisan ketidakadilan sistemik. Ia menekankan perlunya metanoia, pertobatan kolektif, agar gereja turut serta menghapus ketidakadilan warisan sejarah tersebut. Gereja, menurutnya, tidak boleh terjebak dalam politik kekuasaan, tetapi juga tidak boleh bungkam.
Ia juga menekankan tiga prinsip teologi publik, yaitu Keberanian Profetik, di mana gereja harus menyuarakan kebenaran kepada penguasa, meski tidak disukai, dengan tetap hati-hati menghadapi pemerintah represif; Dasar Injil, yaitu bahwa semua sikap politik gereja harus bersumber dari Injil, bukan kepentingan politik atau kekuasaan; dan Advokasi Terbuka, yaitu menerjemahkan nilai-nilai kasih, keadilan, dan perlindungan ke dalam kebijakan melalui diskursus politik terbuka.
Menutup sambutannya, Bedford-Strohm mengutip pemikiran Dietrich Bonhoeffer yang menekankan tiga ciri eksistensi Kristen: berdoa, melakukan keadilan, dan menantikan waktu Allah. Ia mengajak seluruh gereja untuk tetap percaya bahwa dunia sedang menuju langit dan bumi yang baru, dan perjalanan ke arah itu hanya mungkin jika dijalani dalam kebersamaan.
“Doa yang sejati akan tampak dalam dukungan pada keadilan. Kita menantikan kerajaan Allah, dan penantian itu akan lebih kuat bila kita berjalan bersama.”
Pertemuan Central Committee WCC 2025 ini menjadi pengingat bahwa gereja memiliki peran strategis dalam mendorong perubahan global yang berkeadilan, bersatu dalam kasih, dan bertanggung jawab terhadap masa depan ciptaan. Dalam dunia yang dilanda krisis dan ketidakpastian, suara gereja diharapkan terus menjadi pelita yang menuntun umat manusia kepada harapan dan pembaruan.
Sumber: Catatan Ketua Umum PGI, Pdt. Jacklevyn F. Manuputty