Belajar dari Insiden Cidahu: Menolak Intoleransi, Menegakkan Hak Beribadah Sesuai Agama dan Keprcayaan

admin
01 Jul 2025 17:13
JAKARTA-PGI.OR.ID. Kasus perusakan sebuah rumah di Kampung Tangkil, Cidahu, Sukabumi pada 27 Juni 2025 menjadi potret buram praktik intoleransi yang masih mencederai wajah keberagaman Indonesia. Rumah milik Yohanes Wedi, yang saat itu digunakan untuk kegiatan retreat remaja gereja, menjadi sasaran aksi massa yang berujung pengrusakan, dengan dalih kekhawatiran kegiatan ibadah dilakukan di tempat yang bukan rumah ibadah resmi. Insiden ini terekam dan viral di media sosial, memunculkan respons luas dari masyarakat, sebagian bahkan bernada provokatif dan berpotensi memperkeruh suasana.
Saat turun langsung ke lokasi, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menemukan fakta bahwa rumah tersebut digunakan untuk pertemuan dan kegiatan spiritual. Dalam konteks umat Kristiani, kegiatan seperti retreat dan doa bersama dalam lingkungan rumah adalah praktik umum yang tidak bisa serta-merta disamakan dengan pendirian tempat ibadah. Maka, respons warga yang menolak hingga berujung perusakan jelas merupakan bentuk pelanggaran hukum, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan persekusi.
Yang lebih memprihatinkan, tindakan main hakim sendiri ini terjadi meski telah ada mediasi oleh parat dan lembaga keagamaan setempat. Namun sebelum proses klarifikasi tuntas, aksi kekerasan terjadi dan menimbulkan trauma bagi para peserta retreat, termasuk anak-anak. Ironisnya, pengrusakan dilakukan oleh massa yang sebagian besar bukan berasal dari warga sekitar, yang justru selama ini menjaga hubungan baik dengan penjaga rumah.
Pernyataan para pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat dan Sekretaris Eksekutif PGI, menekankan pentingnya sikap saling menghormati antarumat beragama. Akar masalah dalam kasus ini bukan sekadar soal teknis penggunaan rumah pribadi untuk kegiatan keagamaan, melainkan pada kegagalan dalam membangun pemahaman lintas iman serta lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan beragama. PGI pun mendesak Presiden untuk mengevaluasi ulang regulasi terkait kerukunan umat beragama agar tidak menjadi alat diskriminatif, tetapi sebaliknya menjamin hak asasi warga negara sesuai amanat konstitusi.
Insiden di Cidahu bukan hanya persoalan satu komunitas atau satu tempat. Ini menjadi cermin retaknya fondasi toleransi kita jika negara dan masyarakat membiarkan kekerasan atas nama agama terus terjadi. Sudah saatnya regulasi tentang kerukunan umat beragama direvisi agar berpihak pada keadilan dan konstitusi, bukan pada tekanan mayoritas. Lebih dari itu, masyarakat harus dididik untuk terbuka terhadap perbedaan dan tidak mudah terpancing oleh sentimen sempit.
PGI menegaskan bahwa hak beribadah dan berkeyakinan adalah hak asasi yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Negara wajib hadir untuk menjamin keamanan setiap warga, tanpa kecuali. Intoleransi harus dilawan bersama, karena keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.
Berikan Komentar
Alamat email anda tidak akan dipublish, form yang wajib diisi *
Berita & Peristiwa
Ketua Umum PGI dan Rombongan Kunjungi Padang Sarai: "Anak-anak korban ...
PADANG,PGI.OR.ID-Peristiwa pembubaran dan perusakan sebuah rumah doa sekaligus tempat pendidikan bagi siswa Kr...
PGI-ICRP Perkuat Komitmen Merawat Dunia dengan Cinta
JAKARTA,PGI.OR.ID-Peristiwa intoleransi belakangan makin marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Meresp...
PGI dan PIKI Bertemu, Tegaskan Pentingnya Sinergi Gereja dan Masyaraka...
JAKARTA-PGI.OR.ID Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (P...