Workshop Pemberdayaan Komunitas Tamblingan dan Kebebasan Beragama: Generasi Muda dan Digitalisasi
PGI.OR.ID – Hari Kedua Tanah Air Itu Bhinneka (TAB) Angkatan V Goes to Bali, Selasa (10/9/2024), para pesetara mempelajari bagaimana pemberdayaan komunitas adat Tamblingan dan diskusi tentang kebebasan beragama, serta peran generasi muda dalam era digital, memengaruhi perubahan sosial.
Komunitas adat Tamblingan, adalah salah satu komunitas tertua di Bali, terus memperkuat eksistensinya melalui berbagai kegiatan pelestarian alam dan budaya. Dalam sesi pertama bersama komunitas Tamblingan yaitu Brasti, dimulai dengan presentasi dari Ketut Santi Adyana, seorang warga asli yang telah lama terlibat dalam pelestarian budaya dan ekosistem di desa adat tersebut.
Ketut berbicara tentang bagaimana desa menjadi fondasi peradaban, terutama ketika krisis terjadi, seperti pandemi COVID-19. Ia menekankan bahwa ketika kota dan sektor pariwisata runtuh, desa tetap berdiri kokoh sebagai pusat ketahanan pangan dan budaya.
Ia menuturkan, Brasti adalah sebuah organisasi yang bertujuan mendorong anak muda, untuk kembali ke desa dan membangun peradaban lokal. Brasti memiliki lima divisi utama yang berfokus pada pelestarian alam, pendidikan, ekonomi berkelanjutan, jaringan internasional, dan dokumentasi budaya.
“Salah satu program yang paling menarik dari Brasti adalah pelepasan bibit ikan gabus ke Danau Tamblingan, yang dulunya merupakan bagian dari tradisi adat namun punah akibat kerusakan ekosistem,’ terangnya di Desa Gobleg, Bali, Selasa (10/9/2024).
Ketut Santi sampaikan bahwa dalam budaya Tamblingan, ikan gabus memiliki peran penting dalam ritual adat yang dilaksanakan setiap dua tahun. Pemulihan populasi ikan gabus tidak hanya merupakan upaya pelestarian lingkungan tetapi juga bagian dari keberlanjutan tradisi. Dengan kembali memperkenalkan ikan ini, masyarakat adat menjaga hubungan yang harmonis dengan alam sekaligus mempertahankan nilai-nilai leluhur.
Ia katakan, salah satu langkah utama yang diambil Brasti adalah pemetaan partisipatif, di mana generasi muda dilibatkan untuk memahami batas wilayah dan sumber daya desa mereka. Pemetaan ini tidak hanya mengajarkan pengetahuan tentang tanah adat tetapi juga memperkuat keterikatan emosional dengan desa.
“Hingga kini, Brasti telah membantu lima desa adat di Bali dalam pemetaan wilayah mereka, sebuah langkah penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya,” jelasnya.
Sementara itu pada sesi kedua, diskusi berfokus pada kebebasan beragama dan bagaimana generasi muda dapat berperan dalam era digital. Di sesi ini, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Cipataan (KKC) PGI, Pdt. Jimmy Sormin, menyoroti lima masalah utama dalam kebebasan beragama di Indonesia, antara lain masalah rumah ibadah, penodaan agama, ujaran kebencian, dan tantangan yang dihadapi kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah.
“Kebebasan beragama adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, dalam praktiknya, sering kali hak ini dibatasi oleh pasal-pasal karet dan digunakan untuk menekan kelompok minoritas. Ia juga menyoroti pentingnya literasi digital di kalangan generasi muda agar mereka dapat merespons tantangan ini dengan bijak,” ujarnya.
Pdt. Jimmy katakan, dalam konteks HAM, kebebasan beragama dibagi menjadi dua aspek, forum internum dan forum eksternum. Forum internum mengacu pada kebebasan untuk meyakini sesuatu dalam hati dan pikiran, sementara forum eksternum adalah hak untuk mengekspresikan keyakinan tersebut di depan umum. Kedua aspek ini sangat penting dalam memahami bagaimana kebebasan beragama dapat diterapkan di Indonesia.
“Digitalisasi telah memengaruhi kebebasan beragama di Indonesia. Meskipun internet memungkinkan penyebaran informasi yang lebih luas, literasi digital yang rendah sering kali menyebabkan misinformasi dan ujaran kebencian menyebar dengan cepat. Generasi muda, khususnya Gen Z, memiliki peran penting dalam menangani isu ini dengan meningkatkan kesadaran digital dan mempromosikan toleransi,” jelasnya.
Pdt. Jimmy menyebutkan salah satu temuan penting dalam diskusi ini adalah bahwa generasi muda, terutama Gen Z, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Mereka cenderung fleksibel dalam hal agama, tidak terlalu terlibat dalam konflik antaragama, tetapi tetap menunjukkan empati yang tinggi terhadap kasus-kasus intoleransi. Namun, agar potensi ini dapat dioptimalkan, generasi muda membutuhkan dukungan dari institusi keagamaan dan sosial yang lebih kuat.
“Melalui workshop ini, jelas terlihat bahwa pemberdayaan komunitas adat dan kebebasan beragama adalah dua isu yang saling terkait. Desa adat Tamblingan, melalui program seperti Brasti, menunjukkan bagaimana pelestarian budaya dan lingkungan dapat berjalan seiring dengan modernisasi. Di sisi lain, generasi muda Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan beragama di era digital, dengan literasi digital dan sikap empatik yang mereka miliki,” tuturnya.
Dengan mengedepankan nilai-nilai adat dan tradisi, serta memanfaatkan teknologi modern, Pdt. Jimmy katakanmasa depan yang berkelanjutan dan toleran di Indonesia dapat tercapai. Generasi muda adalah kunci dari perubahan ini, dan mereka harus dilibatkan dalam setiap langkah menuju keberlanjutan budaya dan hak asasi manusia.(*)
Pewarta: Tiara Salampessy