UU Cipta Kerja dan Risiko Kemunduran Perlindungan Substantif Perempuan Pekerja
JAKARTA,PGI.OR.ID-Meski memahami kebutuhan menghadirkan lapangan pekerjaan yang lebih besar, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memiliki catatan kritis terhadap UU Cipta Kerja dalam pengaturan tentang ketenagakerjaan karena memiliki potensi memundurkan pelindungan hak pekerja dan kepastian hubungan kerja yang dapat merugikan perempuan pekerja secara tidak proporsional.
“Hal ini ditengarai terkait dengan proses pembahasan yang terkesan terburu-buru dan tertutup untuk partisipasi substantif masyarakat, terutama kelompok terdampak. Sementara, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang telah lebih dulu diajukan dan akan lebih berdampak langsung pada perlindungan dan kesejahteraan perempuan pekerja justru tertunda-tunda pembahasannya,” demikian siaran pers Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada, Sabtu (9/10).
Menurut Komnas Perempuan, kebutuhan untuk penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia adalah nyata dan mendesak. Menurut data Biro Pusat Statistik (2020) jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 adalah sebanyak 137,91 juta orang dengan kenaikan sebesar 1,73 juta dari tahun sebelumnya. Namun, tingkat pengangguran terus bertambah, terutama sebagai dampak dari pandemi COVID19, sehingga pada Agustus 2020 saja diperkirakan telah melewati 10,5 juta pengangguran di Indonesia. Sebagian besar perempuan pekerja di sektor formal yang kehilangan pekerjaannya dikuatirkan akan lebih sulit mencari pekerjaan pengganti karena kapasitasnya yang minim, di samping potensi reproduksi dan peran gender di dalam keluarga yang kerap dinilai menghambat produktivitas di tengah jumlah lapangan kerja yang terbatas. Dalam upaya percepatan dan perluasan penciptaan lapangan pekerjaan inilah, UU Cipta Kerja diusulkan sebagai langkah koreksi atas kebijakan yang tumpang tindih, berkontradiksi, maupun untuk penyederhanaan regulasi-regulasi yang ada, termasuk yang terkait dengan hal ketenagakerjaan.
Selain itu, dalam penciptaan lapangan kerja tentunya perlu diiringi dengan upaya memperkuat perlindungan bagi pekerja, dengan perhatian khusus pada kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja. Hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur. Upaya perlindungan ini juga merupakan mandat konstitusi pada tanggung jawab negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional, terutama terkait hak atas hidup (Pasal 28 A dan 28 I (1)), atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 (2)), untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D(2)), untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 27 (1)), atas rasa aman (Pasal 28G (1)), dan bebas dari tindak diskriminasi atas dasar apa pun (Pasal 28I (2)). Pelindungan pada perempuan pekerja juga merupakan komitmen negara pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diadopsi sebagai hukum nasional melalui UU No. 7 Tahun 1984. Pasal 11 CEDAW menyatakan bahwa dalam hal perempuan dan kerja, negara memiliki kewajiban termasuk untuk memastikan kesempatan kerja, pelatihan, jaminan sosial ketika pensiun maupun sakit atau cacat akibat pekerjaan, jaminan perlindungan keamanan dan kesehatan yang tidak terbatas pada fungsi reproduksi, serta dukungan untuk memastikan peran sebagai orang tua dapat dilakukan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan tanggung jawab kerja dan kehidupan publiknya.
Komnas Perempuan melihat, upaya untuk memajukan perlindungan pada perempuan pekerja mulai tampak pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan meski masih terbatas. Juga, banyak perempuan pekerja di sektor formal yang tidak dapat menikmati hak-haknya sebagaimana tercantum di dalam UU Ketenagakerjaan. Apalagi perempuan pekerja di sektor informal, yang selama ini tidak terengkuh di dalam UU Ketenagakerjaan. Padahal, sebagian besar perempuan justru bekerja di sektor informal. Komnas Perempuan dalam rentang 2017-2019 menerima 135 pengaduan kasus dari perempuan pekerja di sektor formal maupun informal, mencakup kasus terkait kekerasan seksual, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi kebijakan pengupahan dan pajak, pelanggaran hak atas kesehatan dan keselamatan kerja (K3) termasuk di dalamnya hak atas kesehatan reproduksi, PHK sepihak, pelanggaran hak untuk berserikat dan berkumpul, serta laporan sengketa perburuhan lainnya.
Ruang perbaikan kebijakan pada kondisi kerja dan pekerjaan tentunya sangat penting agar dapat berkontribusi pada pemajuan hak-hak asasi manusia, termasuk upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Namun, pada naskah RUU Cipta Kerja yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu, Komnas Perempuan tidak menemukan terobosan di dalam aspek perlindungan bagi hak-hak perempuan pekerja berbasis pada refleksi atas pelaksanaan UU Ketenagakerjaan dan pengalaman perempuan pekerja selama ini. Komnas Perempuan mencatat: a) Tidak ada pengaturan terkait pekerja informal, b) Aspek kesehatan reproduksi tetap hanya seputar cuti haid, hamil dan melahirkan tanpa dukungan sosial lebih lanjut pada peran perempuan sebagai orang tua dan anggota keluarga, c) Tidak teridentifikasi penguatan implementasi kewajiban, termasuk sanksi atas pelanggaran perusahaan, pada pemenuhan hak pekerja, d) Langkah afirmasi dalam pembinaan karir, dan e) Tidak menyentuh upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang dikeluhkan oleh perempuan pekerja. Sejumlah terobosan hukum untuk pemajuan perlindungan ini ada dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun masih tertunda pembahasannya di DPR RI.
Sebaliknya, Komnas Perempuan mencermati adanya potensi mengurangi jaminan perlindungan yang sudah ada di dalam UU Ketenagakerjaan, yang secara tidak proporsional akan merugikan perempuan pekerja. Kondisi ini dapat hadir dari pasal-pasal yang memiliki peluang multitafsir, yang dapat menjadi celah untuk mendorong model hubungan kerja yang lebih bersifat harian dan borongan. Model hubungan kerja ini merisikokan perempuan pekerja kehilangan hak-hak sebagai pekerja, termasuk cuti dan tunjangan lainnya terkait fungsi reproduksinya. Peluang untuk perpanjangan jam kerja dan jam lembur dalam kesepakatan yang dibuat di kondisi relasi kuasa yang timpang antara pemberi kerja dan pekerja juga ditengarai dapat menyebabkan perempuan pekerja dihadapkan dengan ketegangan baru di tengah tuntutan peran di dalam keluarga. Selama ini, penolakan pada lembur sering dianggap sebagai sikap melawan perintah kerja. Potensi kerugian perempuan pekerja juga hadir dari pengaturan tentang pesangon dan pensiun yang pada awalnya cukup rinci diatur dalam UU Ketenagakerjaan tetapi menjadi sumir dalam UU Cipta Kerja, karena diperintahkan untuk diatur lebih lanjut. Termasuk di dalam pengaturan rinci itu adalah pesangon yang terkait pemutusan hubungan kerja yang dilakukan atas permintaan pekerja akibat kondisi pekerjaannya yang tidak sesuai kesepakatan, termasuk tindak kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.
Demikian juga dengan potensi kerugian akibat pelonggaran aturan tentang pemutusan hubungan kerja dan penghapusan aturan tentang kewajiban pembayaran upah tepat waktu. Meski ada pengaturan dalam UU Cipta Kerja tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dianggap menjadi sebuah terobosan terkait pembagian tanggung jawab antara negara dan korporasi dalam upaya memastikan perlindungan bagi pekerja, namun kecukupan sumber daya dan kapasitas tata kelola yang mumpuni masih menjadi pertanyaan banyak pihak.
Dalam hal perlindungan bagi pekerja migran, Komnas Perempuan mengamati adanya pelonggaran pada aturan dan pengawasan terhadap izin usaha perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. Hal ini bertentangan dengan semangat perbaikan tata kelola migrasi yang berperspektif perlindungan bagi pekerja migran yang diusung dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Pelonggaran ini dikuatirkan akan berdampak pada stagnansi perlindungan bagi pekerja migran, termasuk dan terutama bagi perempuan pekerja migran yang telah begitu rentan pada eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi sejak dari masa rekrutmen hingga kepulangannya.
Sejumlah pengaturan dalam UU Cipta Kerja juga tidak sejalan dengan UU No.8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Beberapa pasal di UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah Penyandang Cacat bukan Penyandang Disabilitas sebagaimana yang tertulis di dalam UU Penyandang Disabilitas. Hal ini akan menguatkan kembali stigma negatif bagi penyandang disabilitas. Ada pula pasal yang bersifat kontradiktif: ada pasal yang melarang pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja, tetapi di saat bersamaan ada pasal lain yang membolehkan pemberhentian jika pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. Bagi perempuan pekerja dengan kondisi cacat atau sakit berkepanjangan akibat kecelakaan kerja, pembolehan penghentian kerja ini akan memberikan dampak berlipat ganda pada kualitas hidupnya.
Menimbang persoalan-persoalan tersebut di atas dan berdasarkan prinsip non regression (nir-kemunduran) dalam semangat penegakan hak asasi manusia, Komnas Perempuan:
1. Mengingatkan kepada DPR dan pemerintah pada potensi UU Cipta Kerja mengurangi daya pelaksanaan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak-hak konstitusional, terutama untuk mengatasi kerentanan perempuan pekerja dari eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan;
2. Mendorong langkah proaktif DPR RI dan pemerintah untuk segera melakukan koreksi pada muatan UU Cipta Kerja dan pada proses perumusan kebijakan selanjutnya agar lebih dapat memastikan dan memajukan jaminan perlindungan hak-hak konstitusional, dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan pekerja;
3. Mendorong DPR dan pemerintah untuk lebih peka terhadap kepentingan dan kesentosaan perempuan pekerja dengan segera membahas dan mengesahkan UU yang secara nyata terkait dengan hal tersebut, antara lain RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual;
4. Mengapresiasi sikap kritis dan konstruktif dari akademisi dan unsur-unsur masyarakat sipil dari berbagai sektor terhadap pengesahan UU Cipta Kerja dalam kerangka memajukan pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, terutama pada hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, rasa aman serta kepastian hukum.
Pewarta: Markus Saragih