Tangani Pengungsi di Papua. Peran Gereja Perlu Diarusutamakan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Peran Gereja perlu diarusutamakan karena menjadi pihak yang sangat membantu para pengungsi internal (IDP) di Papua. Dalam kesaksian para IDP berulang kali gereja menjadi tempat berlindung atau tempat transit sementara bagi mereka. Pendampingan para pekerja Gereja (Pendeta, Pastor, Pewarta atau Penginjil) yang membantu para IDP untuk ke luar dari zona merah, sangat krusial. Bahkan setiap kunjungan atau pemindahan pemukiman kembali (repatriasi) harus selalu didampingi oleh perwakilan gereja.
Demikian salah satu rekomendasi dari penelitian berbentuk Rapid Independent Assessment terkait kondisi pengungsi internal (IDP) di Tanah Papua, yang di-launching sekaligus didiskusikan bersama para tim peneliti, pimpinan lembaga gereja, NGO, mahasiswa, serta aktivis peduli Papua, di Grha Oikoumene, Jakarta, Selasa (3/9/2024).
Selain perlunya pengarusutamaan peran gereja, rekomendasi lain diantaranya yaitu pemenuhan terhadap makan minum, akses sekolah, penanganan terhadap pengangguran, perlindungan dan manajemen klien (case management), bantuan yang tepat sasaran, pendaftaran para IDP melalui penerbitan kartu identitas, perlunya posko terdesentralisasi, dan inisiatif bersifat kolaboratif.
Sebagaimana diketahui, PGI, KWI, dan Dewan Gereja Papua Barat mendukung penelitian ini, yang dilakukan dengan mengumpulkan data pada Juli-Agustus 2024, dan diperoleh secara langsung (firsthand) dari 70 para IDP, ditambah wawancara kelompok dengan sekitar 75 orang di empat kawasan yakni Maybrat dan Sorong di Provinsi Papua Barat Daya, Nabire di Provinsi Papua Tengah, dan Wamena di Provinsi Papua Pegunungan.
Sedangkan pemilihan responden atau pengambilan sampel berbentuk “snowball sampling” karena keterbatasan akses dan lingkungan keamanan yang tidak memadai.
Dari hasil penelitian tersebut terungkap beberapa temuan, diantaranya, bahwa penyebab utama pengungsian adalah konflik bersenjata dan korbannya terlihat jelas 99% para IDP penduduk asli Papua, kondisi pengungsi sudah menjadi masalah kronis ketika dilihat dari durasi dan intensitas pengungsian (yakni rata-rata lebih dari tiga tahun termasuk 16 bulan pindah-pindah di hutan), trauma dan kerentanan psikososial, serta resiliensi masyarakat setempat yang semakin diuji (66% responden merasa tidak aman di Lokasi mereka saat ini).
Selain itu, ada empat kebutuhan utama pengungsi saat ini seperti kekurangan makanan (97%), pelayanan kesehatan (87%), faktor ekonomi/mata pencaharian (81%), dan hampir semua tidak dapat sekolah/Pendidikan (90%). Responden menerima bantuan dari berbagai sumber termasuk dari kelompok gereja (30%), keluarga/kerabat (29%), dan/atau dari LSM (24%).
Bantuan pemerintah daerah dilaporkan sangat rendah. Setelah tiga tahun lebih, separuh responden melaporkan tidak menerima bantuan apapun. Tidak mengejutkan jika dua pertiga dan para IDP tidak merasa aman dalam situasi mereka saat ini.
Pada kesempatan itu, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacky Manuputty menyampaikan apreasiasi atas hasil penelitian ini karena diperoleh langsung dari tangan pertama yaitu para pengungsi.
“Kami sangat mengapresiasi laporan yang langsung dari tangan pertama yaitu para pengungsi. Sebab itu laporan narasi yang berbasis korban ini perlu kita selebrasi dan gaungkan resonansinya. Dengan diipublikasikannya laporan ini kita akan melihat pengungsi di Papua dengan sangat nyata, konkrit, dan pada level butuh intervensi, serta tidak bisa disangkal,” tandasnya.
Dia pun mengapresiasi laporan tersebut yang memperlihatkan posisi gereja yang masih dipercaya untuk membantu dan berdiri bersama pengungsi di tengah situasi yang mereka hadapi, serta mapping actor yang sangat jelas.
Sebab itu, lanjut Pdt. Jacky, laporan ini menurutnya tidak hanya milik jaringan Papua, tetapi juga para pengambil kebijakan, dan otoritas untuk digunakan dalam melihat situasi para IDP di Papua.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melihat, salah satu yang terpenting dalam laporan ini, adalah informasi betapa bertahun-tahun pengungsi tidak mendapat perhatian dari negara.
“Ini sangat tidak masuk akal. 5 tahun bukan waktu singkat untuk pindah-pindah hanya demi bertahan hidup. Seharusnya laporan Ini bisa membangunkan pemerintah dari tidur panjangnya untuk mau mengatasi masalah di Papua khususnya pengungsi,” tegas Usman.
Hal senada juga disampaikan Pdt. Benny Giay, mewakili Gereja-gereja di Papua. Dia berharap laporan semacam ini terus diperbarui agar dapat membantu semua pihak untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi di Papua.
Pewarta: Markus Saragih