Sikap Perwakilan Lembaga Kemanusiaan Terhadap Kasus Penembakan Pdt. Yeremia Zanambani
JAKARTA,PGI.OR.ID-Sejumlah perwakilan lembaga kemanusiaan di Indonesia menyampaikan pandangan mereka terkait peristiwa penembakan Pdt.Yeremia Zanambani, dalam jumpa pers virtual yang dilaksanakan oleh PGI pada Senin (28/9). Sebagaimana diketahui, peristiwa ini banyak mendapat perhatian dari semua pihak.
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menuturkan, penembakan terhadap Pdt. Yeremia Zanambani harus dibongkar dengan cara yang imparsial, independen, dan terbuka, dengan membentuk tim penyidik adhoke yang dibentuk oleh Komnas HAM pusat. “Ini penting untuk dibongkar karena menimpa seorang tokoh gereja, yang kegiatannya beribadah, tetapi menjadi korban penembakan. Dalam pandangan kami proses hukum ini harus melibatkan institusi yang independen seperti Komnas HAM, tidak cukup Komnas HAM pewakilan Papua,” tandasnya.
Sebagai negara hukum, lanjut Usman, harus ada penghukuman yang efektif kepada mereka yang melakukan kejahatan yang sangat serius. Dalam konteks kejahatan yang serius itu kejahatan tidak bisa diampuni. Dalam hukum internasional kejahatan-kejahatan yang sangat serius, misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity, tidak boleh diampuni, tidak boleh dihilangkan pertanggungjawaban pelaku hanya karena melaksanakan perintah atasan misalnya. “Jadi kejahatan semacam itu dalam Konvensi PBB tahun 1968 itu wajib diusut, dan tidak boleh dihentikan proses penghukumannya oleh prose apapun apalagi dalam proses informal,” ujar Usman.
Disampaikan pula, dalam beberapa tahun terakhir kasus pembunuhan cukup sering terjadi di Papua. Pada 2018 ada 12 kasus dengan total korban 18 orang. Di 2019 ada 20 kasus dengan jumlah korban 56 orang. Sedangkan di 2020 ada 15 kasus dengan jumlah korban 22 orang.
Sementara itu, Al Araf dari Imparsial, melihat, kasus penembakan pendeta ini menambah dan memperpanjang proses kekerasan yang terus berlangsung di Papua, dan lingkaran kekerasan ini sepertinya masih terus berlanjut. Sebab itu, peristiwa ini harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengevaluasi pendekatan yang dilakukan selama ini dalam menyikapi berbagai persoalan di Papua.
Menurutnya, selama ini pemerintah mengambil langkah kebijakan inkonsistensi terkait Papua. Disatu sisi ingin melakukan pendekatan secara ekonomi, tetapi pada sisi lain pola kebijakan pendekatan keamanan masih berlangsung. Ini menunjukkan meski di era reformasi DOM sudah dicabut tetapi secara defakto operasi itu masih terjadi. “Oleh karenanya, langkah yang harus dilakukan adalah pemerintah merobah langkah pendekatannya, pendekatan keamanan harus ditarik. Pemerintah seharusnya mengambil jalan penyelesaian dengan ranah dialog atau pola-pola kebijakan hukum yang proporsional, dengan tidak melakukan kekerasan dalam proses penegakan hukum,” katanya.
Selain itu, realitas impunitas yang berlangsung di Papua, dimana korban dan pelakunya ada, tetapi tetap tidak ada penghukuman. Ini yang kemudian membuat pola-pola kekerasan terus terjadi, dan penyelesaian kasusnya tidak pernah berujung pada satu bentuk penghukuman bagi keadilan korban. Padahal penghukuman menjadi penting untuk memberi efek jera. “Dalam kasus Pdt. Yeremia tentu proses penghukuman, proses keadilan, dalam mengungkap kasus ini harus dibongkar secara tuntas. Akuntabilitas pertanggungjawaban pelaku yang melakukan penembakan, harus diusut sampai tuntas supaya kemudian ada keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan itu dapat terpenuhi,” katanya.
Koordinator Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI Tanah Papua, Pdt. Dora Balubun, juga melihat impunitas selama ini kerap terjadi di Papua. Sebab itu, dia berharap agar penghukuman terhadap pelaku dapat ditegakkan. Selain itu, perlu juga perhatian terhadap nasib para pengungsi yang terpaksa meninggalkan rumahnya.
Senada dengan Al Araf, Cahyo Pamungkas dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menegaskan, selama ada operasi-operasi keamanan yang mengerahkan pasukan, yang jauh dari prinsip-prinsip akuntabilitas, maka selama itu pula kekerasan akan terus terjadi dan korban akan terus meningkat di Papua.
Pewarta: Markus Saragih