Sesi Panel Subtema SR XVIII PGI. Pancasila, Krisis Global, dan Masyarakat Adat
TORAJA.PGI.OR.ID-Salah satu agenda di hari kedua Sidang Raya ke XVIII PGI 2024, Sabtu (9/11/2024), yaitu sesi panel pembahasan mengenai subtema Sidang Raya ke XVIII PGI 2024: Bersama-sama Mewujudkan Masyarakat Majemuk yang Pancasilais dan Berdamai dengan Segenap Ciptaan Allah. Untuk itu, panitia menghadirkan narasumber Pdt. Binsar Pakpahan (Ketua STFT Jakarta), Ruka Sambolonggi (Sekjen AMAN), dan Margaretha Hanita (Dosen UI).
Pdt. Binsar Pakpahan dalam paparannya menegaskan, pergerakan ekonomi membawa perpindahan penduduk dalam rangka mewujudkan ekonomi yang lebih baik. Akibat perpindahan ini membawa pula pertukaran budaya.
“Orang merantau ke daerah lain dalam rangka perbaikan ekonomi dan membawa pertukaran budaya. Sebab itu penting bagaimana perbedaan dikelola di Indonesia dengan algoritma medsos. Ada gerakan menolak intoleransi sehingga kecendrungan angka intoleransi meningkat.Sebagai umat Kristen kita ditantang untuk menerima, dan bersikap ramah kepada para perantau, meskipun hal itu memiliki risiko,” jelasnya.
Keramahan, lanjut Pdt. Binsar Pakpahan, memiliki 2 model. Pertama Model Orang Samaria: menolong yang terdekat yang membutuhkan bantuan, risiko lebih besar tapi tidak pilih kasih, dan berprinsip “First come first served”. Kedua, Model Pemberi Beasiswa: menyeleksi yang paling membutuhkan, risiko minimum namun menjadi sangat selektif dan berdasarkan prefesensi, dan berprinsip “the most impact”.
Sebab itu, Pancasila sebagai bingkai bersama, menjadi nilai integrasi yang menerima keberagaman. Landasan teologis nilai integrasi yang mewujudkan masyarakat majemuk yaitu kita semua adalah orang asing.
Ditambahkan, keramahan juga diperlukan terhadap lingkungan. Sumber kerusakan lingkungan adalah kerakusan. Sebab itu, prinsip ugahari, yang dicanangkan oleh PGI, prinsip yang menekankan kepada rasa cukup, penting untuk dilaksanakan.
Margaretha Hanita menyoroti tantangan masyarakat majemuk dalam implementasi Pancasila menghadapi krisis global. Menurutnya, krisis global semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Dunia menghadapi polarisasi sosial dan politik yang menimbulkan krisis.
Indonesia, yang masyarakatnya majemuk multi identitas, punya karakteristik beda, bisa berpotensi konflik, karena hal ini menjadi isu sensitif, tidak hanya agama tapi juga etnis.
Indonesia sangat heterogen di berbagai aspek, di satu sisi hal ini merupakan kekayaan. Namun di sisi lain menjadi kerentanan dalam polarisasi sosial, yang merupakan risiko global jangka panjang. “Pancasila menjadi harapan perekat integrasi nasional, namun implemengtasinya belum optimal, terutama Sila I, karena mendapatkan nilai buruk secara global. Sila-sila yang lain juga masih banyak menempatkan Indonesia di bawah secara global,” ujar dalam diskusi yang dimoderatori oleh Pdt. Jimmy Sormin ini.
Sebab itu, menurut Margaretha gereja berperan besar untuk menguatkan iman dan spiritual masyarkat majemuk agar polarisasi sosial dapat diantisipasi dengan nilai-nilai perdamaian abadi dan ajaran cinta kasih terhadap sesama.
Sedangkan Ruka Sambolonggi, dari perspektif masyarakat adat yang hingga kini masih menghadapi tantangan. Sebab itu AMAN masih terus memperjuangkan undang-undang terkait masyarakat adat. Menurutnya, 2/3 masyarakat adat ada di asia, dan 80 persen ekosistem yang baik masih ada karena dijaga oleh masyarakat adat. Mereka (Masyarakat adat, red) sebagai penjaga bumi dan umat manusia.
Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir situasi masyarakat adat dunia telah mengalami 687 kasus kriminalisasi, yaitu berupa perampasan tanah untuk perusahaan tambang, sawit, geotermal, pariwisata, dan lainnya. Negara absen melaksanakan mandat konstitusi tentang pembentukan UU Masyarakat Adat.
Sementara saat ini ada 34 peraturan perundang-undangan sectoral yang justru digunakan untuk mereduksi, merampas ruang hidup masyarakat adat, menciptakan pengakuan yang bersyarat yang panjang dan rumit bagi masyrakat adat, diantaranya UU 41 tahun 1999 lewat pembentukan Perda, Permendagri 52/2014, dan lewat SK Kepala Daerah. Selain itu, masih berwatak kolonial, belum berwatak memerdekakan seluruh seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk masyarakat adat.
Sebab itu, di tengah berbagai persoalan yang multi dimensi, gereja dapat bersinar dengan memperkuat dukungan kepada masyarakat adat, yaitu melalui Integritas Iman (pikiran, ucapan, dan tindakan), pemulihan manusia dan bumi di sekeliling kita mulai dari unit jemaat, memperkuat khotbah tentang pemulihan manusia dan bumi, mendukung perjuangan masyarakat adat melawan korporasi perampas wilayah adat.
“Melalui Sidang Raya ke XVIII PGI ini saya juga berharap ada resolusi atau rekomendasi terhadap pemulihan bumi dan keberpihakan terhadap masyarakat adat,” tandasnya.
Sesi panel subtema Sidang Raya ke XVIII PGI berlangsung alot. Peserta merespon tidak hanya dalam bentuk pertanyaan tetapi juga pemikiran-pemikiran konstruktif kepada para narasumber.
Pewarta: Markus Saragih