Seruan Pemuka Lintas Iman: Segera Sahkan RUU PPRT demi Kemanusiaan
JAKARTA,PGI.OR.ID-Pemuka lintas iman menyerukan agar DPR RI segera mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), karena lebih dari setahun, tepatnya sejak 21 Maret 2023, meski telah ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, namun hingga saat ini belum disahkan.
Seruan tersebut disampaikan dalam jumpa pers secara daring yang diinisasi oleh Koalisi Sipil untuk UU PPRT, pada Selasa (19/3/2024).
Pada kesempatan itu, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menegaskan, bahwa 5 juta orang Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak mendapatkan perlindungan berarti. Mereka bekerja 24 jam/hari, 7 hari/minggu, dan kesejahteraan sepenuhnya tergantung kemurahan hati pemberi kerja.
“Segudang kewajiban, nyaris tanpa hak. Tidak ada kewajiban yang diatur oleh hukum tentang kewajiban majikan terhadap PRT, ini tidak beda dengan perbudakan modern. Mereka juga tidak mendapat perlindungan dari negara, padahal menjadi tugas negara untuk melindungi seluruh rakyat, termasuk mensejahterakan. Sebab itu, RUU PPRT mendesak untuk disahkan menjadi UU PPRT demi kemanusiaan seturut amanat UUD 1945 dan konvensi ILO,” tandasnya.
Lebih jauh dijelaskan, dari perspektif iman Kristen, manusia dipahami sebagai gambar Allah. Karena itu jika memberlakukan PRT tidak wajar sama dengan tidak saja melukai Allah, tetapi juga merobek-robek tubuh Allah. Karena itu, gereja harus turut memperjuangkan regulasi yang memberikan jaminan sosial kepada PRT, sama seperti pekerja lainnya, yang meliputi layak, dan nyaman kerja, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua serta jaminan kematian. Selain itu, advokasi PPRT harus masuk dalam agenda pastoral gereja.
Ketum PGI pun mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mendorong parlemen membahas, dan segera mensahkan RUU PPRT menjadi undang-undang. Sebab jika tidak perjuangan akan kembali sulit karena harus dimulai dengan periode yang baru.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Komisi KPP KWI Pater Martin Jemarut Pr. Menurutnya, KWI menaruh keprihatinan terhadap apa yang dialami oleh PRT, yang juga adalah manusia. “Keprihatinan kami berangkat dari satu prinsip bahwa setiap manusia adalah bermartabat, karena bermartabat maka semua pihak punya kewajiban baik sosial, dan moral untuk memberi penghargaan serta penghormatan terhadap martabat kemanusiaan,” ujar Martin.
Sebab itu, KWI sebagai institusi keagamaan, mendesak kepada DPR RI, sebagai lembaga yang berwenang untuk membuat regulasi, secepatnya mensahkan RUU PPRT. Karena dengan dijadikan undang-undang maka ada jaminan perlindungan yang sah terhadap apa yang menjadi hak para PRT. Selain itu, kekerasan, kesewenang-wenangan yang terjadi bisa diminalisir, termasuk jaminan sosial dapat diterima.
Sementara itu, mewakili PBNU dan juga Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid berharap agar kita sebagai bangsa menunjukan keberpihakan kepada salah satu kelompok yang paling lemah, salah satunya PRT. Dengan disahkannya RUU PPRT menjadi undang-undang maka sebagai salah satu indikator bahwa kita telah berupaya membangun kemaslahatan bersama.
“Kemaslahatan dibangun dengan landasan keadilan. Landasan keadilan ini yang diperlukan oleh para PRT, kaum perempuan yang dilemahkan. Sehingga RUU ini harus segera disahkan untuk melindungi mereka,” tandasnya.
Undang-undang yang mengatur PRT, lanjut Lissa, juga dibutuhkan untuk membangun masyarakat agar melihat bahwa hak-hak pekerja adalah hak yang melekat, dan mendasar seperti beragama, memiliki kekayaan atau kepemilikan aset. “Inilah panggilan yang dimunculkan melalui ruu ini. Jangan dilihat ruu ini sebagai hubungan seperti di pabrik, hanya untuk kepentingan para majikan, tetapi sebagai bagian dari keluarga, sehingga RUU PPRT ini dilihat dalam rangka membangun bangsa yang membangun kebaikan semua rakyatnya,” ujarnya.
Sedangkan Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Nasaruddin Umar melihat dengan disahkannya RUU PPRT menjadi bagian dalam rangka mengangkat harkat dan martabat perempuan. “Soal perempuan dalam PRT adalah soal kemanusiaan. Sebab itu, tidak ada yang berhak menolak upaya pemberdayaan perempuan. Inilah spirit yang dibangun dalam ruu tersebut,” ujarnya.
Selain melakukan konferensi pers atas keprihatinan dan desakan disahkannya RUU PPRT, para pemuka lintas iman juga akan mengadakan doa tadarusan di depan DPR pada 21 Maret 2024.
Pewarta: Markus Saragih