Sejumlah Tokoh Bangsa Minta Jeda Kemanusiaan di Papua
JAKARTA,PGI.OR.ID-Sejumlah tokoh bangsa, di antaranya Hj. Sinta Nuriyah, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, Prof. Dr. Abdul Mu‟ti, Pdt. Gomar Gultom, Mgr. Antonius Subianto, Marzuki Darusman, dan Makarim Wibisono, menggelar Deklarasi untuk Perdamaian Papua, yang berlangsung di Grha Oikoumene, kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (9/11/2023).
Pada kesempatan tersebut, Hj. Sinta Nuriyah menyebutkan, “akhir-akhir ini, kita berulangkali mendengar kabar yang menyedihkan dari Papua. Berkali-kali terjadi konflik bersenjata yang menyebabkan banyak korban jiwa dari warga sipil, aparat keamanan, maupun dari kelompok bersenjata. Warga papua yang harus mengungsi pun semakin banyak. Bahkan beberapa hari lalu kita membaca kabar puluhan warga Papua yang meninggal karena kelaparan”.
Apa yang terjadi di Papua saat ini, disebutnya, seharusnya menjadi pengingat, bahwa ada pekerjaan rumah bagi bangsa kita yang belum selesai. Persoalan Papua sudah berlangsung sekian lama, namun kita belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
“Pada zaman Pemerintahan Gus Dur, Papua termasuk salah satu isu yang mendapatkan perhatian besar. Almarhum Gus Dur memilih pendekatan membangun perdamaian sejati dan berkelanjutan di sana. Gus Dur menyadari, persoalan Papua tidak bisa didekati dengan pendekatan atasan bawahan apalagi pendekatan represif. Bagi Gus Dur, persoalan Papua berakar pada martabat dan jati diri warga Papua. Karena itu, Gus Dur mengembalikan nama Papua bagi warga Papua. Sejarah pun mencatat bahwa di masa tersebut, konflik berdarah dan pelanggaran HAM dapat dimininalisir,” bebernya.
Belajar dari pendekatan Gus Dur tersebut, dan mencermati keadaan Papua saat ini, menurut Hj. Sinta Nuriyah, rasanya penting untuk mengupayakan pendekatan perdamaian dengan berlandaskan keadilan. “Kami mewakili para tokoh agama dan tokoh masyarakat, menyerukan agar Pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat mengambil inisiatif Jeda Kemanusiaan, menghentikan kekerasan, sehingga kita dapat mengurus warga sipil yang terdampak oleh konflik ini,” imbaunya.
“Walaupun saat ini dinamika politik Pemilu 2024 menyita perhatian kita, kita tidak boleh mengesampingkan krisis kemanusiaan yang terjadi di Papua. Sebab, Papua adalah Indonesia. Semoga Tuhan terus merahmati kita dengan kejernihan nurani, sehingga kita bisa melangkah ke depan dalam perdamaian sejati,” sambungnya.
Senada dengan Hj. Sinta Nuriyah, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom menuturkan, Papua selalu bersimbah darah. Derita Papua adalah derita kita semua. “Kita harus mendesak semua pihak yang bertikai di Papua, terutama pemerintah Indonesia untuk memulai jeda kemanusiaan,” tegasnya.
Pemerintah, kata Pdt. Gomar, harus mengambil tindakan itu sembari mempersiapkan dialog. Semua bentuk kekerasan harus dihentikan, termasuk oleh aparat keamanan. “Roadmap to Papua” yang dirumuskan LIPI harus sepenuhnya dilakukan. “Pemerintah sejauh ini hanya tertarik pada pembangunan infrastruktur, tetapi belum menyentuh hal lain, yakni persoalan HAM dan kerusakan ekologi,” ucapnya.
Sementara mantan Jaksa Agung RI, Marzuki Darusman menegaskan, persoalan Papua adalah persoalan eksistensialisme orang Papua yang terancam relasinya terhadap bumi Papua. “Sudah saatnya dialog ditingkatkan ke level negosiasi, atau perundingan antara Orang Papua dan Pemerintah secara setara dan bermartabat. Sejarah integrasi Papua ke Indonesia harus dibicarakan dengan transparan. Mungkin kita tak bisa lagi mengubah realitas integrasi, tetapi kita perlu bertanya, apa yang diperoleh Masyarakat Papua sejak integrasi?, tandasnya.
Uskup Jayapura, Mgr Yanuarius You, Pr, yang hadir dalam pertemuan itu turut menyampaikan keprihatinannya terhadap masyarakat sipil yang menjadi korban, maupun masyarakat Papua yang tinggalkan kampung mereka dan hidup terlunta-lunta di pengungsian.
“Untuk menyelesaikan konflik ini, saya tak melihat jalan lain selain dialog. Kami akui bahwa pemerintah sudah membangun banyak infrastruktur, dan kami memberi apresiasi, namun di atas semua itu kekerasan terus berlanjut,” tandasnya. Menurutnya, pemerintah harus membangun dialog dalam relasi yang bersifat bapak – anak. Tentu tak semua permintaan masyarakat Papua bisa diterima, tetapi yang paling utama pemerintah harus lebih dahulu bersedia untuk mendengar. Sampai saat ini pintu dialog masih dikunci. Kalau masih melihat orang Papua sebagai warga bangsa maka sediakanlah jalan dialog yang bermartabat,” pungkasnya.
Selanjutnya, para tokoh bangsa ini menilai, situasi krisis kemanusiaan secara global, terutama di Ukraina dan Palestina, merupakan panggilan bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan fokus pada halaman rumah kita sendiri, terutama konflik yang melanda Papua.
Menurut mereka, ketika merenungkan tantangan-tantangan global itu, pada waktu bersamaan, kita juga perlu merenungkan perhatian kita pada halaman rumah kita sendiri, yaitu Indonesia. “Dengan sekala berbeda, krisis kemanusiaan yang kita saksikan di dunia itu sebenarnya juga dapat kita lihat secara dekat di Tanah Papua,” tandas mereka.
Menyikapi ini semua, sejumlah tokoh bangsa ini, memprakarsai seruan damai Papua untuk membangun kerja sama para pihak, yang bertikai dalam rangka menjajaki proses menuju penyelesaian damai di Papua. Sebab dengan sekala berbeda, krisis kemanusiaan yang kita saksikan di dunia itu sebenarnya juga dapat kita lihat secara dekat di Tanah Papua.
Melalui seruan damainya, para tokoh bangsa ini menilai, tanah Papua terus menerus dinodai oleh konflik bersenjata, pelanggaran hak-hak asasi manusia, kerusakan alam, kepunahan satwa langka, dan penderitaan kemanusiaan berupa pengungsian dan kelaparan akibat konflik. “Kami sangat yakin bahwa penyelesaian damai adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh. Hanya lewat jalan penyelesaian damai maka kita dapat mencegah jatuhnya korban jiwa, dan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran di Papua,” ujar mereka.
Para tokoh yang menandatangani seruan tersebut, antara lain Dr. (H.C). Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ, Prof. Dr. Makarim Wibisono, MA, Drs. Marzuki Darusman, S.H., Alissa Wahid (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Pdt. Gomar Gultom (Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), Prof. Dr. H.Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum, PP Muhammadiyah) dan Mgr. Siprianus Hormat (KKP-PMP Konferensi Waligereja Indonesia), memiliki keprihatinan yang mendalam atas situasi konflik bersenjata di Tanah Papua.
“Dengan keprihatinan ini, kami menyampaikan seruan perdamaian bagi Pemerintah Republik Indonesia dan para pihak berkonflik, terutama faksi-faksi Kelompok Sipil Bersenjata, ULMWP, para tokoh adat dan masyarakat asli Papua, serta agamawan setempat. Kami menyerukan kepada para penyelenggara negara di lembaga eksekutif dan legislatif dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk segera mengambil langkah-langkah menuju perdamaian di Papua,” papar mereka.
Sebagai langkah awal, para tokoh ini mengimbau agar pihak berkonflik dapat membangun kepercayaan. Penyelenggara negara perlu bekerja sama dengan segenap komponen bangsa untuk menangani situasi krisis kemanusiaan dan memulai kembali penjajakan-penjajakan menuju dialog damai. Semua pihak perlu membuka dialog, termasuk menangani pengungsian, kelaparan, ketidakadilan, kerawanan pemilu, serta memperbaiki situasi hak asasi manusia di Papua.
“Maka dengan ini kami menyerukan kepada Pemerintah dan para pihak berkonflik di Papua untuk melanjutkan kembali proses penjajakan damai. Pembicaraan ini harus difasilitasi oleh penengah yang terpercaya dan imparsial, termasuk tokoh nasional dan para pemimpin perempuan, agama dan adat Papua, demi membangun kepercayaan dan keyakinan untuk adanya penjajakan dialog,” tutup mereka.