Sambangi PGI, Mahasiswa Chung Chi College Diskusikan Gerakan Oikoumene dan Toleransi Agama di Indonesia

JAKARTA,PGI.OR.ID-Sebanyak 19 mahasiswa Chung Chi College, Hog Kong menyambangi kantor PGI dalam rangka mendapatkan pengetahuan terkait gerakan oikoumene, dan toleransi antaragama di Indonesia.
Sekilas Chung Chi College, lembaga pendidikan yang didirikan pada 1951 oleh Gereja-Gereja Protestan di Hong Kong ini, dalam rangka memenuhi kebutuhan akan lembaga pendidikan tinggi lokal. Perguruan tinggi ini juga bertujuan untuk menyediakan pendidikan lanjutan sesuai dengan tradisi Kristen sehingga para mahasiswanya dapat mengembangkan apresiasi terhadap budaya Barat dan Cina. Perguruan tinggi ini secara resmi didirikan pada 1955.
Gereja-gereja lokal, perusahaan-perusahaan, dan perorangan juga memberikan dukungan yang cukup besar. Pada 1956, perguruan tinggi ini pindah ke lokasi permanen di lembah Ma Liu Shui. Chung Chi College juga salah satu dari tiga perguruan tinggi yang bergabung untuk membentuk Chinese University of Hong Kong (CUHK) pada 1963.
Mengetahui bagaimana umat Kristen di Indonesia dapat membangun relasi, tidak hanya antargereja, tetapi juga lintas agama, dipandang penting dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa Chung Chi College.
“Bagi kami sangat penting untuk mengetahui bagaimana umat Kristen di Indonesia membangun relasi di sebuah negara yang sangat beragam, baik etnik, bahasa, dan agama. Juga sangat menarik bagaimana umat Kristen bisa membangun jembatan dan memberi dampak bagi masyarakat untuk menuju keadilan,” ujar pimpinan rombongan, Pdt. Prof. Tobias Brandner dari Chung Chi College, saat ditemui disela-sela pertemuan di Lt. 3 Grha Oikoumene, Jakarta, pada Selasa (13/5/2025).
Selain itu, lanjut Prof. Tobias, Indonesia sangat penting menjadi kerangka kerja atau referensi pemikiran bagi mahasiswa teologi di Chung Chi College, yang letaknya di Asia. “Kami terlalu sering berpikir tentang hubungan dengan Barat. Banyak orang di Hong Kong sangat mengenal Kanada, Inggris, dan AS, tapi mereka tidak tahu apa-apa tentang Indonesia,” tandasnya.
Pada kesempatan itu, Kepala Biro Pemuda dan Remaja (PR) PGI, Pdm. Rosiana Purnomo menguraikan tentang polycrisis yang menjadi perhatian PGI saat ini, serta fungsi dari bidang-bidang dan biro yang ada di lingkungan PGI. Ia juga mengungkapkan kiprah Biro Pemuda dan Remaja PGI dalam membangun relasi, khususnya di kalangan pemuda lintasiman, salah satunya melalui Peace Train, dan Temu Kebangsaan Orang Muda (Tembang), forum pemuda lintas iman yang diprakarsai oleh 5 lembaga, termasuk BPR PGI.
Selain itu, adanya relasi yang dibangun oleh gereja-gereja dalam Gerakan oikoumene dengan adanya dokumen Pokok-Pokok Panggilan dan Tugas Bersama Gereja-Gereja di Indonesia (PPTB PGI), yang merupakan bagian dari Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI.
Sedangkan Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI, Pdt. Johan Kristantara, mengungkapkan bagaimana relasi antaragama terus dibangun dengan dialog. Selain itu, bagaimana PGI berperan aktif mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, serta mengadvokasi hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Kepala Biro Papua, Pdt. Ronald Tapilatu juga memberi penjelasan terkait apa yang terjadi di Papua, berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Bumi Cendrawasih itu, serta kerjasama yang dilakukan oleh gereja-gereja di Papua dalam merespon persoalan kemanusiaan yang terjadi.
Mantan Ketua Umum PGI, Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang yang turut hadir dalam diskusi ini, ikut memberi informasi terkait kerja sama yang telah dilakukan oleh PGI selama ini. “Kita saling berkolaborasi, kita belajar satu dengan yang lain. Memang banyak perbedaan tetapi kami terus Bersama-sama untuk tetap menghargai perbedaan,” jelas Ketua LAI ini.
Dialog yang berlangsung sekitar 2 jam itu, diakhiri dengan tukar-menukar cindarmata antara kedua lembaga serta foto bersama.