Refleksi HUT ke 71 PGI. Menggerakkan Gerakan Oikoumene Menuju Gereja Kristen yang Esa
Oleh Weinata Sairin
Ketika penulis mendampingi Panitia Jambore Nasional Sekolah Minggu PGI beraudiensi dengan Ibu Tien Soeharto tanggal 8 April 1996 -25 tahun yang lalu- di Cendana, Ibu Tien menyimak dengan penuh perhatian lambang oikoumene, yang terdapat dalam logo Jambore Nasional. Dan tanpa diduga, Ibu Tien kemudian meminta penjelasan lebih jauh apa sebenarnya makna istilah oikoumene serta berbagai elemen lain yang ada di dalam lambang itu. Pendeta Sularso Sopater, Ketua Umum PGI saat itu, dalam aksen Jawa yang agak kental menjelaskan bahwa oikoumene adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk mempersatukan Gereja-gereja yang ada.
Dari senyum penuh keibuan yang memancar dari wajah Ibu Tien Soeharto terkesan bahwa penjelasan Pendeta Sularso Sopater dapat dipahami dengan baik. Pertemuan itu amat berkesan bukan saja karena Ibu Tien dalam kesibukannya yang padat berjanji untuk membuka Jambore Nasional Sekolah Minggu yang diselenggarakan PGI awal Juli 1996 di TMII Jakarta, tetapi lebih dari itu, karena ternyata itulah pertemuan kami yang terakhir dengan Ibu Tien. Tuhan Maha Kasih telah memanggil hambaNya, kembali ke hadiratNya yang baka. Dukacita teramat dalam menyinggahi nurani segenap warga bangsa pada zaman itu, bumi pertiwi dibasahi oleh derai air mata segenap anak bangsa.
Banyak orang yang memang membutuhkan informasi yang jelas tentang makna istilah oikumene, sebab istilah itu sudah terlanjur digunakan secara tidak pas oleh banyak lembaga, dengan menggunakan istilah oikoumene sekadar untuk menunjukkan bahwa lembaga tersebut terdiri dari berbagai denominasi Gereja.
Istilah oikoumene (kata Yunani yang berarti “dunia yang didiami”) dengan gambar perahu membawa salib berlayar di tengah lautan, telah menjadi “simbol resmi” dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sejak organisasi ini didirikan dengan nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta. Menurut Dr. Abineno seorang teolog Indonesia terkenal yang bertahun-tahun memimpin DGI, istilah oikoumene itu sendiri telah dipakai oleh Herodotus sejak abad ke-5 M, dan setelah melalui perjalanan sejarah yang panjang, pengertiannya mengalami banyak perkembangan. Dalam kajian Abineno, istilah oikoumene pernah diberi arti kebudayaan, kerajaan, bahkan juga Gereja.
Menurut tradisi Yunani, oikoumene identik dengan dunia kebudayaan, sebab itu mereka yang berada di luar oikoumene dianggap sebagai orang-orang tidak berbudaya. Sementara itu dalam Alkitab Perjanjian Baru istilah oikoumene cenderung memiliki pengertian kerajaan, jelasnya kerajaan Romawi. Oikoumene dalam arti Gereja mula-mula dipakai oleh Origenes (185-254 sM) yang kemudian diteruskan oleh pimpinan-pimpinan Gereja yang lain, sehingga istilah itu semakin menjadi dikenal di lingkungan Gereja. Istilah oikoumene kemudian menjadi lazim dipakai untuk menyebut suatu pertemuan/konsili yang dilakukan oleh Gereja-gereja, termasuk di dalamnya Gereja Katolik. Dalam hubungan pengertian oikoumene sebagai gerakan untuk mempersatukan seluruh Gereja yang ada di dunia, peranan Uskup Agung Soderblom dari Upsala, amat penting. Berkat pengaruhnya gerakan oikoumene merambah ke setiap Gereja lokal sehingga ia menjadi sebuah gerakan dari seluruh warga Gereja, dan tidak hanya concern dari segelintir elite pimpinan Gereja.
Ketika Dewan Gereja-gereja di Indonesia didirikan pada tahun 1950, isu persatuan dan kesatuan baik dalam konteks Gereja maupun dalam konteks nasional memang amat menonjol. Gereja-gereja di Indonesia saat itu hidup terserak-serak di berbagaiterminis Nusantara dalam lingkungan denominasi sendiri, dan sebab itu hampir tidak pernah mampu menampilkan peran yang memadai di tengah kecamuk dunia. Sementara itu kerinduan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa begitu menggebu-gebu, justru karena kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keluasan wilayahnya, amat disadari oleh pemimpin nasional kala itu dan hanya dengan persatuan yang kokoh penjajah bisa dikalahkan.
Berangkat dari lingkungan strategis seperti itu, maka rumusan tujuan DGI tatkala didirikan adalah “Pembentukan Gereka Kristen yang Esa di Indonesia” dan itulah aktualisasi dari terminilogi oikoumene, yang hingga kini menjadi simbol dari PGI. Rumusan tujuan seperti itu tidak pernah mengalami perubahan substantif dari waktu ke waktu hingga saat ini.
Ketika tanggal 25 Mei 2021, PGI yang kini beranggotakan 91 sinode/pusat Gereja, 28 PGI Wilayah,1 Sinode Am Gereja Wilayah Suluteng dan menghimpun 85% umat Kristen di Indonesia berusia 71 tahun, PGI tetap menggunakan lambang perahu yang membawa salib, melayari lautan, ditambah dengan istilah oikoumene melingkari salib itu.
Lambang itu menunjuk pada komitmen PGI bahwa ia adalah sebuah organisasi Gerejawi di aras nasional yang terus-menerus mengupayakan terwujudnya persatuan, kesatuan dan keesaan di kalangan umat Kristen di Indonesia. Dalam kapasitas seperti itu maka PGI harus berperan menjadi lokomotif gerakan oikoumene, menjadi pengemban aspirasi masyarakat Indonesia dan yang sigap melakukan sesuatu bila gerbong-gerbong itu ternyata tidak lagi berjalan pada rel yang telah disepakati. PGI dan umat Kristen Indonesia tidak akan bisa memberi kontribusi apa-apa dalam hal persatuan dan kesatuan bangsa jika dirinya sendiri rapuh, pecah dan tercerai-berai.
Gerakan oikoumene di Indonesia yang menjadi jantung dari gerak pelayanan PGI harus terus menerus menampilkan dirinya sebuah gerakan, organisasi yang dinamik, visioner dan misioner; bukan gerakan yang diam dan stagnan, apalagi yang cenderung mengalami perpecahan internal karena ada anggotanya yang kediriannya bertentangan dengan TD TRT PGI. Gerakan oikoumene sebagai gerakan yang berupaya mempersatukan seluruh Gereja harus menjadi gerakan dari setiap umat Kristen, tidak hanya menjadi gerakan elitis dari beberapa orang pemimpin Gereja. Gerakan oikoumene harus benar-benar menjadi real dan operasional, tidak boleh berhenti menjadi slogan, motto, serta rumusan tanpa jiwa; gerakan oikoumene harus menjadi roh, menjadi darah daging dari setiap aktivitas warga jemaat. Ketika roh pemecah belah merasuki hidup Gereja, ketika jati diri Gereja telah diintervensi dunia luar, ketika nilai-nilai sekular telah menggerogoti nafas kehidupan Gereja, ketika ambisi pribadi, sikap otoriter, primordialisme, telah juga mewarnai kehidupan Gereja, PGI harus melakukan sesuatu. Inilah agenda internal yang perlu dilakukan oleh PGI. PGI juga tidak boleh terbelenggu oleh sikap introvert dan ekslusif dan menutup mata terhadap lingkungan eksternalnya. Berdasarkan visi teologisnya yang kukuh, PGI bersama dengan Gereja-gereja harus dengan sigap dan tanggap mengungkapkan suara kenabiannya di tengah-tengah kehidupan umat sebagai wujud ketaatannya kepada Tuhan.
PGI dan gereja-gereja tak bisa tinggal diam jika harkat dan martabat manusia makin direndahkan, PGI dan gereja-gereja tidak boleh berpangku tangan ketika HAM dilecehkan, ketika lingkungan makin dikotori polusi,ketika hutan makin gundul, ketika pembangunan rumah ibadah dan beribadah dihambat, ketika rumah ibadah agama-agama disegel, ketika cyber crime dan korupsi makin menguat, ketika buruh dan rakyat kecil tersingkir dan terkapar di tepi-tepi kehidupan, ketika pembangunan melahirkan marginalisasi ketika terorisme dan radikalisme merajalela,ketika Pancasila mau diubah. Inilah agenda eksternal PGI yang perlu dijalankan penuh kearifan, cerdik seperti ular tulus seperti merpati dan tanpa takut. Ketika oikoumene tidak lagi menjadi sebuah gerakan dan berhenti sebagai sebuah simbol, ornamen dan slogan, maka keesaan gereja hanyalah sebuah utopia.
Oikoumene sebuah gerak, gerak proaktif menuju perwujudan Gereja Kristen yang Esa. Ketika pengguna simbol itu tidak lagi mempunyai sikap yang dinamik dan kreatif dalam menyelesaikan perpecahan yang terjadi dalam Gereja serta mencari solusi terhadap berbagai permasalahan yang digumuli umat manusia di tengah kekinian sejarah, maka oikumene tidak lebih dari sebuah contradictio-in terminis. Maka gerakan oikoumene tidak lagi sebuah gerakan tetapi sebuah kisah masa lalu,atau telah berangkat menjadi sebuah fosil yang mewujud diruang-ruang sejarah!
PGI merayakan HUT ke-71 ditengah kondisi pandemi yang merusak tatanan kehidupan.PGI harus makin kuat,makin bergerak. Visi,Misi Aksi PGI mesti diwujudkan oleh 91 Sinode, 28 PGI Wilayah/SAG secara solid, utuh,padu dan satu dipandu oleh Dokumen Keesaan Gereja.
Pesan Bulan Oikoumene PGI 2021 “Bersama Menghadapi Bencana”menginspirasi kita agar kita konsisten membangun kebersamaan, dan bukan dengan arogan membangun kesendirian.Kita sebagai Gereja mesti menghadapi bencana,bukan terpenjara pada bencana atau menciptakan bencana karena nafsu kekuasaan yang menguasai tubuh fana kita.Tuhan, Raja dan Kepala Gereja telah mengantarkan PGI memasuki usia ke-71.Kita bersyukur kepada Tuhan atas karya besarNya melalui kehadiran PGi di Indonesia.
Mari syukuri HUT ke-71 dengan melafaz tembang syukur: “Kiranya kemurahan Tuhan,Allah kami,atas kami dan teguhkanlah perbuatan tangan kami, ya perbuatan tangan kami, teguhkanlah itu”.( Mazmur 90: 17)
Selamat HUT ke-71 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia(PGI)
Tuhan memberkati.