Refleksi Akhir Tahun 2023 Kelompok Marginal Soroti Sejumlah Persoalan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Moderasi beragama belum menyentuh akar permasalahan. Perizinan beribadah, bully, pendidikan, persetejuan rumah ibadah berdasarkan warga setempat, pendidikan dalam pemaksaan pakaian masih kerap terjadi. Sebab itu, untuk mewujudkan moderasi berama bukan hanya tangggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama.
Hal tersebut ditegaskan oleh Yendra dari Ahmadiyah di acara Peluncuran dan Diskusi Film Tuhan, Apakah Kau Serumit Itu? sekaligus Refleksi Akhir Tahun 2023 dari Kelompok Marginal, yang diinisiasi oleh Bidang KKC PGI, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Kamis (28/12/2023).
“Toleransi tidak menyelesaikan masalah, karena sudah ada sejak lama. Tetapi yang paling penting, semua agama bicara dan melakukan tentang kasih, sukacita, dan damai,” jelas Yendra.
Sedangkan Aan dari komunitas HIV AIDS, bahwa orang berpenyakit dan gejala HIV, jumlahnya mencapai 515.000 orang. Yang mana, 55 persen belum menjalani pengobatan, dan 45 persen sudah menjalani pengobatan. Lebih ekstrim lagi, tambah Aan orang HIV tak boleh naik haji, dan tidak bisa bekerja secara normal di kementerian, walaupun di kemenaker diperbolehkan, tetapi di kemenkes masih menjadi kendala.
Sementara itu, Andreas Harsono dari KBB di sekolah, lebih menyoroti tentang 37 aturan jilbab, perundungan terhadap siswa dengan siswa, dan guru. Masih adanya diskriminasi yang terjadi di lembaga pendidikan.
Mensoroti eskalasi pelanggaran HAM atas kekerasan bersenjata di Papua, antara KKB dengan Polri dan TNI, Kabiro Papua PGI Pdt Ronald Tapilatu, berpendapat, pendekatan keamanan di Papua tidak akan menyelesaikan masalah. Yang terjadi malah semakin meluas. “Justru yang perlu dilakukan, pendekatan humanis dan dialog. Pasalnya, di Papua, saat ini hanya ada dua; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” tandasnya.
Menurut Pdt. Ronald, di Papua saat ini masih terjadi bencana sosial (konflik kekerasan). Padahal, Presiden Jokowi telah 19 kali berkunjung ke Papua, dan menggelontorkan dana bebegitu banyak, tetapi anehnya pembangunan tidak menyentuh dan dirasakan sama sekali oleh warga Papua.
Sementara itu, dalam sesi diskusi peluncuran Film Apakah Tuhan Serumit itu? Tiur Simorangkir mengungkapkan film yang mengangkat kisah nyata persahabatan anak muda berbeda agama ini, penuh kendala. Mulai dari penolakan orangtua yang tak setuju anaknya main film di gereja, dan seorang pemain film yang menolak memerankan figur ayah.
Usai pemutaran film, Sekretaris Eksekutif Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC), Pdt. Jimmy Sormin, mengungkapkan, film ini berawal kegusaran hati, khususnya generasi muda Z dan Milenial dalam isu kerukunan dan kebebasan beribadah.
“Karena kalau dilihat melalui survei, cara beragama atau spritual anak-anak muda masa kin, sudah bisa lebih dinamis. “Anak-anak muda saat ini tidak lagi belajar agama dengan cara konvensional. Mereka tidak belajar melalui tokoh-tokoh agama yang tradisional.,Tetapi mereka cenderung mengakses melalui media sosial atau melalui ruang digital,” ujarnya.
Berangkat dari pemahaman mereka, lanjut Pdt. Sormin, anak-anak muda lebih memahami keagamaan masa kini. “Sekali pun mereka taat agama, tapi melihat agama lain misalnya mengalami persekusi mereka akan ikut marah dan mengkritisi, ini berdasarkan hasil riset kita. Oleh karena itu kami pikir perlu memfasilatasi isu ruang-ruang perbedaan agama. Contoh viral pernikahan beda agama beberapa waktu lalu, ini bisa menjawab permasalahan banyak generasi muda sekarang,” tandasnya.
Pewarta: Markus Saragih