Refleksi 74 Tahun Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
Oleh: Pdt Rudy Rahabeat
Kemanakah arah PGI menuju 1 abad (2050)? Akankah perahu oikumene ini tetap eksis ditengah terpaan gelombang zaman atau karam dan tenggelam bersama sang kala. Semuanya tetap menyimpan rahasia Sang Nahkoda. Tugas kita saat ini adalah terus berlayar dan memberi makna atas tiap kesempatan yang tak selalu sama. Pada arus pikir inilah refleksi ini hendak dijangkarkan.
Mengawali refleksi sederhana ini bersama Gereja Protestan Maluku kami ucapakan Selamat Ulang Tahun ke-74 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Kiranya PGI tetap eksis dan dinamis mewartakan kabar baik kepada seluruh ciptaan Tuhan di Indonesia dan semesta. Pada momentum yang berbahagia ini hendak disampaikan empat refleksi sederhana memaknai keberadaan wadah oikumene gereja-gereja Indonesia yang terus menghidupkan doa Tuhan Yesus: Agar mereka semua menjadi satu (ut omnes unum sint). Menjadi satu dalam keberagaman di bumi Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Pertama, persekutuan yang terus berjalan bersama. PGI adalah anugrah Tuhan bagi gereja-gereja di Indonesia. Sejak awal pendiriannya 25 Mei 1950, lima tahun setelah Indonesia merdeka, PGI telah memancangkan kesadaran dan komitmen untuk terus bersatu sebagai gereja yang esa dan teguh berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Selain menggumuli soal-soal ajaran yang benar (ortodoksi) tetapi juga menggauli relevansi kehadiran gereja-gereja atau Kekristenan di tengah pluralitas bangsa Indonesia guna terus menghadirkan kesejahteraan bersama.
Kesadaran berjalan bersama (sun-hodos) merupakan elan vital PGI sejak kelahirannya. Berjalan bersama Tritunggal Allah, berjalan bersama-sama gereja-gereja, berjalan bersama agama-agama, bersama pemerintah serta komponen bangsa lainnya termasuk bersama bangsa-bangsa lain. Olehnya pada momen ulang tahun ini, perlu ditakar kembali kadar berjalan bersama itu dan apa dampaknya bagi gereja-gereja dan bangsa. Tentang pentingnya berjalan bersama itu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada HUT ke-100 tahun 2024 ini memilih tema: Berjalan bersama membangun gereja dan bangsa. PGI sendiri tahun ini membingkai tema HUT ke 74: Menjadi Satu dengan Sempurna (Yohanes 17:23).
Kedua, menakar kembali dokumen-dokumen keesaan gereja. Jelang Sidang Raya ke-18 PGI 8-16 November 2024 di Toraja Sulawesi Selatan, upaya-upaya pengayaaan Dokumen Keesaan Gereja (DKG) terus ekstensif dilakukan. Sebagai contoh studi pengayaan draft DKG 2024-2029 di Ambon 10-11 Mei 2024 menyoal kembali cikal bakal Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) dan perubahan nama Dewan menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia 40 tahun silam pada SR DGI/PGI ke-10 tahun 1984 di Karang Panjang Ambon. Di situ diakui bahwa belum semua gereja anggota secara konsisten apalagi militan menjemaatkan dokumen-dokumen berharga itu. Olehnya perlu evaluasi dan studi yang lebih komprehensif. Pengayaan DKG ini penting sebagai kompas untuk pengembangan pelayanan PGI tetapi jangan sampai terhenti di atas kertas semata.
Geliat oikumene in action menandaskan pentingnya langkah-langkah cepat dan tangkas PGI merespons perubahan yang super cepat dan tak terduga serta disruptif. Meminjam pandangan Pdt Joas Adiprasetya, gereja masa kini tidak sekedar membutuhkan visi melainkan virtue (keutamaan nilai). Alasannya, visi terlalu jauh ke depan sedangkan perubahan dapat terjadi esok pagi. Dengan berkata demikian, itu bukan berarti dokumen tidak penting, tetapi hendak dicamkan saja bahwa dokumen-dokumen yang hidup (living document) yakni manusia dengan serbaneka lukanya lebih penting dan genting untuk disikapi ketimbang keasyikan merumuskan kata dan kalimat yang berwarna warni. Apalagi jika diawali perdebatan yang berjilid-jilid dan pemaksanaan ego sendiri atau sektoral. Pokok-Pokok Panggilan dan Tugas Bersama (PPTB) dan Pengakuan Bersama Iman Kristen (PBIK) misalnya, dapat saling melengkapi untuk menggerakan tindakan gereja yang berdampak bagi keesaan dan kebaikan gereja juga bagi kemajuan bangsa dan negara.
Ketiga, kepemimpinan, sumber daya manusia unggul dan penguasaan teknologi. Sejak berdiri hingga kini PGI telah memiliki sembilan pemimpin puncak (ketua umum). Mulai dari Dr Todung Sutan Gunung Mulia Harahap (1950-1960, HKBP),Pdt Prof Dr Johannes L C Abineno (1960-1980, GMIT), Pdt Prof Dr Peter Dominggus Latuihamallo (1980-1984, GPM), Pdt Dr Soritua A E Nababan (1984-1987, HKBP), Pdt Prof Dr Sularso Sopater (1987-1999, GKJ), Pdt Dr Nathan Setiabudi (1999-2004, GKI), Pdt Dr Andreas A Yawangoe (2004-2014, GKS), Pdt Dr Henriette Lebang-Hutabarat (2014-2019, GT), Pdt Gomar Gultom, M,Th (2019-2024, HKBP).
Formasi kepemimpinan ini terdistribusi pada wilayah Indonesia Timur dan Barat, serta 7 sinode yakni HKBP (3 orang), enam lainnya yakni GKJ, GKI, GMIT, GPM, GKS, dan Gereja Toraja (GT) masing-masing 1 orang, dengan 1 orang perempuan di antara 8 laki-laki. Kepemimpinan (leadership) merupakan salah satu elemen penting dalam mendorong perubahan dan transformasi. Olehnya dibutuhkan para pemimpin yang cakap, berintegritas dan berkomitmen kuat serta memiliki spiritualitas sahabat dari Galilea.
Momen SR PGI 2024 di Toraja akan pula menjadi momentum untuk memilih pemimpin baru yang diharapkan dapat membawa perahu oikumene ini melaju dengan selamat di tengah terpaan badai zaman ini, termasuk terpaan revolusi teknologi informasi. Olehnya pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penguasaan Teknologi merupakan kunci (Meminjam judul buku diterbitkan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) yang berjudul: Indonesia Menuju 2045: SDM Unggul dan Teknologi adalah Kunci. PGI diharapkan dapat menjadi lokomotif yang menggerakan gereja-gereja dan segenap elemen bangsa untuk bersama-sama meningkatkan kualitas SDM dan penguasaan teknologi agar tidak dihempas zaman, melainkan terus bertumbuh dan berbuah bagi gereja, bangsa dan negara serta dunia.
Keempat, gereja di tengah ancaman krisis lingkungan hidup. Paus Fransiskus dalam dua dokumen terkini gereja Katolik yakni Laudato Si’ (2015) dan Laudato Deum (2023) dengan konsisten dan sungguh-sungguh mengingatkan dan menggelisahkan komunitas dunia untuk dengan serius merespons ancaman krisis iklim yang bermuara pada kiamat ekologis (ekosida). Jika menelisik keprihatinan dewan gereja-gereja sedunia (WCC) sejak SR ke-6 di Vancouver 1983 yang antara lain mengalamatkan pentingnya keutuhan ciptaan (integrity of creation) selain keadilan dan perdamaian (justice and peace) maka kita patut mengakui dosa-dosa bersama bahwa kita lambat bahkan abai menerjemahkan Firman Tuhan yang juga terpatri dalam dokumen-dokumen oikumenis tersebut.
Olehnya dibutuhkan pertobatan ekologis untuk memulai sebuah babakan baru berjalan bersama menjaga dan merawat bumi sebagai rumah bersama. Bukankah kata oikumene itu sendiri berarti rumah bersama tempat kita hidup dan bereksistensi? Akanlah rumah itu terbakar oleh panas ekstrim dan atau terseret oleh gelombang tsunami krisis ekologis? Kondisi ini memanggil gereja-gereja bersama seluruh elemen sosial kemanusiaan untuk bersama-sama menyelamatkan dunia ini. Pada arus pikir ini, bolehkah kita menyertakan dimensi alam dalam cakupan doa Tuhan Yesus agar mereka menjadi satu, termasuk alam semesta dalam kesempurnaan (infinite).
Selamat Hari Jadi PGI. Tuhan beserta kita dan semesta !
Penulis, Wasekum MPH Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM