Proyek Food Estate di Merauke Berpotensi Membunuh Rakyat Papua Bahkan Merusak Kehidupan Planet Bumi

JAKARTA,PGI.OR.ID-Gereja-gereja di Papua menaruh keprihatinan mendalam terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di Merauke yang menggerus lahan seluas 2,29 juta hektar. Proyek ini telah merampas tanah adat masyarakat di wilayah itu.
“Proyek Food estate ini telah mengambil lahan yang sangat luas, dan gereja-gereja di Papua sangat prihatin terhadap proyek ini karena telah merampas hak tanah adat masyarakat. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan dari proyek ini? Sebab itu, PGI yang peduli terhadap persoalan menyangkut tanah adat turut mendampingi isu ini,” ujar Kabiro Papua PGI, Pdt. Ronald Rischard dalam diskusi media bertema Dampak Buruk Food Estate di Merauke, di Media Center PGI, Rabu (25/9/2024).
Lebih jauh dijelaskannya, hutan di Papua sebagai paru-paru dunia karena menghasilkan banyak oksigen. Hutan Papua termasuk hutan hujan tropis dunia yang diperkirakan memiliki luas total 42,5 juta hektar. Hutan hujan tropis sering disebut sebagai paru-paru dunia karena kemampuannya menghasilkan oksigen dalam skala besar. Oksigen yang dihasilkan hutan hujan tropis mampu menutupi 40% kebutuhan oksigen di bumi, termasuk yang dibutuhkan manusia.
Jika proyek ini tetap dilanjutkan, lanjut Pdt. Ronald, akan berpotensi membunuh rakyat Papua, bahkan menghancurkan planet bumi karena rusaknya paru-paru dunia yang semakin tipis menerima oksigen dari hutan alam yang sehat.
Romo Pius Cornelis Manu dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, salah satu narasumber dalam diskusi, juga merasa kecewa karena tidak ada keterbukaan dari pemerintah setempat terhadap proyek ini, dan secara tiba-tiba alat-alat berat telah menghancurkan hutan di Merauke.
“Pimpinan setempat semua katakan mereka tidak tahu sama sekali, tapi alat-alat berat sudah bekerja menghancurkan hutan yang luas dalam waktu singkat. Lalu, kami khawatir ada aparat dalam jumlah besar rencananya akan di-drop di sana. Masyarakat pun karena dalam kondisi terdesak terpaksa setuju,” ujar Romo Pius Cornelis.
Menurutnya, masyarakat adat di Merauke yang terdampak proyek ini tetap gigih menyatakan penolakan. Pertemuan-pertemuan pun terus dilakukan, termasuk dengan Majelis Rakyat Papua (MRP). Dia pun menekankan bahwa masyarakat Papua sebenarnya tidak menolak pembangunan dari negara, asalkan ada dialog.
“Masyarakat adat pemilik hak ulayat harus dihargai, karena itu hutan adat bukan hutan negara, apa manfaatnya bagi masa depan mereka, hak-hak pengelolaan hutan adat harus dibicarakan agar pelestarian alam Papua tetap terjaga,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samparante, melihat proyek untuk mencetak 1 juta hektar sawah ini, belum memenuhi sejumlah prasyarat dan penerapan prinsip-prinsip pembangunan, seperti memiliki dokumen lingkungan, serta persetujuan lingkungan.
“Sejak bulan Juli masyarakat sudah melakukan aksi supaya pemerintah setempat melakukan dialog terkait proyek ini, dan menyatakan tidak ada proyek ini, tapi akhirnya keluar dokumen terkait rencana tersebut untuk proyek tebu, yang sudah dimulai pada Juli 2024 sebagai proyek perdana diversifikasi pangan, dan proyek baru, cetak sawah seluas 1 juta hektar,” ujar aktivis lingkungan hidup yang aktif membela hak masyarakat adat terutama di Tanah Papua ini.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, lanjut Franky, sebelumnya telah menyampaikan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengenai persetujuan, kajian lingkungan, serta analisis terhadap dampak lingkungan hidup dari proyek ini. Namun sayangnya hingga saat ini belum mendapat jawaban.
Dia pun khawatir adanya ribuan aparat yang berperan dalam proyek ini, juga soal lahan masyarakat adat yang tidak diberi kompensasi atas kerugian yang mereka alami. Untuk itu yayasan yang dipimpinnya akan terus melakukan upaya advokasi agar Presiden Jokowi menghentikan proyek ini, dan berkonsultasi dengan masyarakat adat.
Sebagaimana diketahui, Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Provinsi Papua Selatan diawali pada 12 Juli 2024, ketika Menteri KLHK, Siti Nurbaya, menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 835 Tahun 2024. Surat tersebut berisi persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan.
Persetujuan diberikan, dalam rangka pertahanan dan keamanan, atas nama Kementerian Pertahanan RI. Luarnya mencapai 13.540 hektar, di kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan Kawasan Hutan Produksi yang “dapat dikonversi” di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, untuk mencetak 1 juta hektar sawah.
Pewarta: Markus Saragih