Pertobatan Ekologis yang Mendesak. Berkaca pada Pengalaman 5 Negara
Oleh: Pdt. Jimmy Sormin
Negara-negara dengan hutan yang luas cenderung memiliki masalah moral dan politik terhadap keberlanjutan ekologi dan kemanusiaan. Ini salah satu poin reflektif saya ketika mengikuti pertemuan intensif bersama United Nations Environmental Program (UNEP) dan Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Global, di Sao Paolo, Brazil.
Dari para utusan negara Brazil, Peru, Colombia, dan Republic Democratic Congo, diketahui bahwa mereka mengalami persoalan tersebut dalam upaya penyelamatan hutan hujannya. Indonesia sebagai pemilik hutan hujan terbesar kedua di dunia (terletak di tanah Papua) tentu mengalami hal yang tidak jauh berbeda.
Dalam kapasitas sebagai Ketua IRI Indonesia, saya beruntung bisa berbagi serta belajar dari para pakar internasional untuk isu lingkungan hidup, bencana, antariksa, dan gerakan antaragama. Pertemuan selama beberapa hari itu menyoroti situasi keadaan bumi saat ini dari berbagai sisi.
Pemerintah Brazil, melalui Pusat Penanganan Bencana, serta Badan Antariksa Brasil, membantu para utusan kelima negara dan pimpinan UNEP untuk memahami situasi iklim sekaligus hutan hujan secara komprehensif dan mendalam.
Beberapa ilmuwan di Brazil menjelaskan bahwa di negara dengan luas wilayah 4 kali lipat Indonesia ini– telah terjadi pergeseran yang sangat pesat dalam hal kerusakan hutan hujan selama satu dekade terakhir. Hal itu memengaruhi suhu udara yang semakin panas, serta kekeringan di beberapa tempat. Sementara ketika terjadi hujan yang lebat dan cukup lama– mudah terjadi banjir dan longsor yang menimbulkan banyak korban.
Sekalipun Pusat Penanganan Bencana telah membangun sistem peringatan dini yang cukup maju dalam menginformasikan potensi dan bukti-bukti ganasnya bencana alam, hingga edukasi bagi masyarakat, namun belum terlihat kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara serius membenahi kembali lingkungan hidup demi mitigasi bencana yang optimal. Hal itu belum menjadi prioritas dalam perpolitikan dan kebijakan pemerintah, sehingga secara tidak langsung membuat masyarakat menjadi belum tanggap terhadap bencana.
Salah seorang ilmuwan di Pusat ini mengatakan bahwa apa yang kita lakukan dalam bentuk perubahan perilaku yang selaras alam barangkali tidak akan menyelesaikan masalah lingkungan yang sudah akut ini dalam 10 tahun ke depan. Namun perubahan perilaku dan keseriusan untuk merestorasi hutan serta ekosistemnya dapat terakumulasi, dan menghambat kerusakan yang lebih masif dan cepat.
Sementara itu, pada kesempatan diskusi dan belajar bersama Badan Antariksa Brazil, diketahui bahwa pemantauan melalui satelit dapat memberi gambaran kerusakan hutan dan beragam dampaknya. Melalui pemantauan secara satelit ini dapat membantu evaluasi keadaan hutan dan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi kerugian. Artinya, secara ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah ekologis ini benar-benar nyata, serta dapat diupayakan penanganannya jika ada keseriusan dan konsistensi.
Selama beberapa hari kami juga berbagi pengalaman antar-negara dalam menjalankan program IRI, mengevaluasi program, serta merencanakan dan mengembangkan program-program ke depan. Setidaknya ada beberapa poin pembelajaran dari pertemuan istimewa ini. Pertama, ekosistem hutan hujan pada kelima negara sama-sama dalam keadaan kritis. Padahal, kelestarian hutan hujan sangat memengaruhi keadaan iklim; memperlambat laju krisis iklim dan beragam dampak negatifnya.
Kedua, kerusakan itu terjadi akibat deforestasi, fragmentasi, dan degradasi hutan. Aktivitas industri ekstraktif secara masif terhadap sumber daya alam (SDA) telah mendorong dan memperluas kerusakan tersebut. Ini merupakan bentuk degradasi moralitas manusia, ditandai dengan semakin meluasnya keserakahan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kelestarian dan keberlanjutan alam. Inilah variable utama yang menyebabkan kerusakan itu.
Ketiga, ada banyak metode yang dapat dibuat secara rasional, dan bahkan legal, untuk melanggengkan praktik-praktik keserakahan dimaksud, seperti perizinan oleh pemerintah dalam pengelolaan SDA. Kelima negara sendiri menghadapi perpolitikan yang tidak berpihak pada keseriusan dalam mitigasi bencana iklim, dan memastikan keberlanjutan alam itu. Perizinan atas usaha-usaha ekstraktif, pembiaran terhadap perampasan lahan masyarakat adat, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup, serta perusakan lingkungan, semakin memberi karpet merah bagi perusakan hutan.
Keempat, darurat iklim dan beragam bencana alam menuju ‘kiamat ekologis’ belum benar-benar membuat para kaum serakah itu sadar untuk melakukan pertobatan ekologis. Seolah hal itu menjadi isu sampingan, dan mempunyai cara sendiri untuk menyelamatkan diri dan bisnisnya dari beragam dampak ekologis tersebut.
Karena itulah selain beragam pendekatan advokatif untuk kebijakan yang melindungi hutan dan ekosistemnya, oleh beragam lembaga, dibutuhkan gerakan moral dari kelompok agama dan masyarakat adat secara masif dan konsisten. Tokoh-tokoh agama dan masyarakat adat tidak hanya berperan menyuarakan keprihatinan atas kerusakan hutan, tetapi juga mengawalnya hingga para pembuat kebijakan dan penegak hukum dapat mengubah pola yang salah selama ini. Demikian pula terhadap para pelaku bisnis, dikawal untuk tidak semata mengejar keuntungan sekalipun mengorbankan hutan termasuk masyarakat adat.
Peran tokoh agama dan adat sangat sentral untuk mengembalikan moralitas yang peduli akan kehidupan seluruh makhluk hidup dan keberlanjutannya. Bagaimana jika lembaga keagamaan dan masyarakat adat sendiri terjebak dalam pola atau sistem yang destruktif tersebut? Di sini letak persoalan besarnya kemudian, karena hemat saya, merekalah benteng pertahanan terakhir.
Upaya yang panjang dan tentu tidak mudah ini mensyaratkan kolaborasi organisasi keagamaan dengan beberapa pihak lainnya (secara pentahelix) seperti akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, media, dan masyarakat sipil lainnya. Gerakan demikian dapat menjadi warisan pula bagi generasi-generasi ke depan. Pelibatan kaum muda sebagai kelompok penentu juga tidak dapat dihindari. Kreativitas, idealisme, dan energi yang dimiliki kaum muda akan sangat berkontribusi dalam penyelamatan hutan dunia.
Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia hari ini, dengan semangat bersama untuk menyelesaikan global triple planetary crisis (krisis perubahan iklim, krisis kerusakan alam dan kehilangan biodiversitas, serta krisis polusi dan limbah), pembelajaran dari kelima negara di atas sangatlah berarti. Tidak akan ada perubahan yang signifikan tanpa pertobatan ekologis dari kita semua; perubahan moralitas dan politik, dari serakah menjadi selaras dengan alam dan kemanusiaan.
Inovasi atau terobosan besar tentu sangat dibutuhkan dari beragam sektor, dengan mengedepankan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Keadilan dimaksud bukan berarti sekadar mendistribusikan kesempatan untuk keuntungan finansial kepada beragam kelompok masyarakat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Akhirnya, selamat hari lingkungan hidup sedunia 2024! Mari berubah dan konsisten demi keutuhan ciptaan-Nya. Salam lestari!
Penulis Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI