Pernyataan Sikap Para Pendeta Terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja
JAKARTA,PGI.OR.ID-Sebanyak 104 pendeta lintas denominasi, mengeluarkan pernyataan bersama menyikapi pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dijadwalkan pada hari ini, Kamis (16/7). Pernyataan sikap tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab untuk mewujudkan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC). Juga bentuk kepedulian sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup (ciptaan Tuhan).
Mereka (para pendeta, red) melihat, jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan, maka akan mengancam keselamatan lingkungan, ruang hidup warga/umat, dan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu, dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan pada 14 Juli 2020 ini, para pendeta menegaskan, pertama, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup, mengancam ruang hidup warga/umat, dan mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, mendesak Pemerintah dan DPR RI agar membatalkan agenda pengesahan Omnibus Law RUU Cipta kerja yang direncanakan pada tanggal 16 Juli 2020. Ketiga, mendesak Presiden RI Ir. Joko Widodo agar menarik Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, dalam pernyataan sikap tersebut para pendeta mengungkapkan, masalah Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini masih menuai polemik, baik di saat proses pembahasan maupun substansinya. Sejumlah masalah yang perlu ditindaklanjuti, diantaranya, pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak demokratis karena tidak melibatkan partisipasi publik. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik yang luas dan mudah kepada masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). Publik berhak memberi masukannya terhadap RUU yang sedang dibahas.
Selain itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup, dengan alasan, pertama, “izin lingkungan” diganti dengan “izin usaha”. Padahal, berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), izin lingkungan merupakan syarat untuk memperoleh izin usaha. Analisis dampak dan lingkungan (AMDAL) statusnya bukan prasyarat tetapi faktor yang harus dipertimbangkan. Dan menurut UU PPLH, setiap usaha yang berpotensi berdampak terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. Perlu diingatkan kembali, bahwa pada hakikatnya izin lingkungan dan AMDAL harus tetap ada karena hal ini berkaitan dengan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Kedua, perusahaan pemegang izin konsesi di areal hutan tidak memiliki keharusan bertangggungjawab jika terjadi kebakaran hutan di areal kerjanya. Perusahaan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 37 angka 16 Omnibus Law RUU Cipta Kerja). Ketiga, pengusaha lewat izin dari pemerintah pusat dapat memanfaatkan pantai atau lautan untuk kepentingan bisnisnya walaupun tanpa pertimbangan lingkungan. Cukup dengan dengan membuat pertimbangan bisnis dan keuntungan pengusaha (Pasal 19 angka 3 Omnibus Law RUU Cipta Kerja). Hal ini akan berakibat pada kehancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Bahkan, pasal ini bisa dengan mudah menggusur masyarakat yang tinggal di wilayah itu.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga dilihat akan memperparah ketimpangan terkait penguasaan lahan dan memperuncing konflik-konflik agraria yang belum dituntaskan. Hal ini karena kemudahan dan prioritas pemberian hak atas lahan untuk kepentingan investasi. Selain itu, Omnibus Law RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan berpotensi meningkatkan monopoli atas penguasaan lahan.
Petani, masyarakat adat, dan nelayan akan tergusur dari ekosistem mereka, karena pemerintah memberikan ruang istimewa dan prioritas kepada pemilik bisnis dan investasi untuk memiliki lahan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Pasal 127 ayat 2 dan 3) memperpanjang jangka waktu hak pengelolaan tanah atau disebut dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun, bahkan lebih panjang dari masa HGU yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yakni 75 tahun. perpanjangan jangka waktu ini adalah bentuk penghapusan kedaulatan negara atas tanah. Hal ini tentu melukai rasa keadilan. Jelas ini menyakitkan dan menyinggung hakikat kemanusiaan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja menghilangkan kewenangan pemerintah daerah karena seluruh perizinan dan pengelolaan tambang (Minerba) akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Padahal peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam. Ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, yakni penguatan dan kemandirian daerah. Jelas ini menghianati agenda reformasi. Ini mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi daerah menuju negara yang sentralistik. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pemerintah pusat sudah siap melaksanakan seluruh kewenangan perizinan, pembinaan dan pengawasan sekaligus baik dari sisi SDM, kelembagaan dan lainnya?
Petani, buruh, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan nelayan akan mudah diproses hukum (kriminalisasi) jika tidak menyetujui (menolak) dan melawan proyek pengusaha dan investor yang mendapat izin dari pemerintah.
Pewarta: Markus Saragih