Perayaan Hari Anak Nasional 2020: Anak Terlindungi Indonesia Maju
JAKARTA,PGI.OR.ID-Anak-anak Sekolah Minggu dari seluruh Indonesia penuh sukacita mengikuti acara Selebrasi Hari Anak Nasional 2020-Anak Gembira di Rumah, yang dilaksanakan secara virtual oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) bersama JPAB Nasional, Gerakan Ramah Anak, JPA, dan JKLPK, Kamis (23/7).
Dalam perayaan tersebut mereka menikmat berbagai penampilan, mulai dari tari-tarian, nyanyian dan permainan musik, serta ketrampilan lainnya, yang dibawakan oleh anak-anak dari Sanggar Widia Asih Bali, dari Kalimantan, Sanggar Anak Nekamese NTT, SM GMIM Jakarta, Panti Asuhan Rawinala, Panti Tuna Netra Bartemues, dan Yayasan Mual Hapistiran, Sumatera Utara.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam sambutannya mengatakan, kondisi yang sulit akibat pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi kita semua, termasuk anak-anak, untuk berpikir kreatif dan pantang menyerah. “Tentunya bagi orangtua sekalian tantangan yang kita hadapi bersama juga tidak mudah. Orangtua juga punya beban pekerjaan, saya berharap tetap bersabar dan tetap melakukan yang terbaik untuk memenuhi hak-hak anak yang kita sayangi,” ujarnya.
Bintang Darmawati juga berharap agar para orangtua menjadikan momen ini untuk menjalin kembali komunikasi dengan anak, inovatif dan kreatif, karena anak-anak membutuhkan kasih sayang dan rasa aman di rumah.
Hal yang sama juga disampaikan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty. Menurutnya, rumah harus bisa menjadi tempat dimana anak-anak gembira dari waktu ke waktu, karena selama pandemik Covid-19 semua aktivitas di berlangsung di rumah. “Mulai dari bejalar, bermain, beribadah semua dari rumah. Karena itu peran orangtua sangat penting. Saya kira kita harus mensyukuri peran ini, sebagai bukti dari tangungjawab kepada anak-anak, dengan demikian pemenuhan hak anak dimulai dari tempat mereka tumbuh dan berkembang, perlindungan, partisipasi, sikap nondiskriminasi, dapat kita terapkan mulai dari rumah dan diajarkan dari rumah,” jelasnya.
Sekum PGI juga melihat, kondisi ini sebagai kesempatan dimana keluarga menumbuhkan spiritualitasnya berbasis keluarga, dimana anak-anak dan orangtua memperoleh ruang dan waktu seluas-luasnya untuk membangun keintiman, kedekatan-kedekatan di sekitar firman Tuhan. Tetapi juga kedekatan-kedekatan sebagai satu keluarga yang utuh, yang nilai-nialnya dikenalkan sejak anak-anak.
Pada kesempatan itu, anak-anak, orangtua, dan pendamping anak yang juga ikut dalam webinar ini, mendapatkan pencerahan dari dua nara sumber yaitu Ketua Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, dan Guru Besar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Prof. Irwantho.
Pdt. Gomar Gultom dalam paparannya terkait pengasuhan anak dari presfektif teologis, mengatakan, realitas sekarang ini di gereja, posisi anak-anak selalu mendua, antara hakekat (siapa dia) dan manfaat (bisa apa dia). Karena selalu mendua maka anak-anak selalu menjadi subordinasi dari orang dewasa. Sehingga tanpa sadar akhirnya anak-anak terdiskriminasi.
“Di beberapa gereja misalnya, pelayanan anak-anak Sekolah Minggu itu seperti ibadah mini orang dewasa, karena katanya anak-anak harus latihan ibadah orang dewasa. Di ibadah ada votum, mereka tidak paham apa itu votum. Ada bermacam iturgi yang dipahami orang dewasa tetapi sulit dipahami oleh anak kecil, belum lagi bahasa dalam liturgi yang digunakan. Nah ini kan menciptakan diskriminasi anak,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, gereja juga hadapi posisi-posisi dilematis antara hubungan dogma atau ajaran gereja. Diantaranya dalam Keluaran 20:12 “hormatilah ayah-ibumu”. Ini dapat mengiliminar hak-hak anak berhadapan dengan orangtua. Ada juga anggapan dosa turunan, sehingga anak harus didik dengan keras bila perlu, dijinakkan oleh otoritas orangtua.
“Dengan posisi dilematis ini, membuat posisi anak sangat terdiskriminasi, dan yang terjadi di gereja, bahkan mungkin di rumah juga, bukan the intrest of the children. Padahal Konvensi Hak Anak mengatakan untuk anak-anak yang paling menentukan untuk ukuran, kriteria, indikator, segala pendekatan kepada anak adalah the intrest of the children. Tetapi yang terjadi menyesuaikan daya pikir anak-anak dalam alam pikir dan demi kepentingan orang dewasa, sehingga potensi dan aspirasi anak terpendam,” jelas Pdt. Gomar.
Menurut Ketua Umum PGI, anak adalah karunia terindah yang diberikan Tuhan kepada kita. Dalam keagungan dan kebesaranNya Yesus menjelma dalam rupa anak manusia, untuk menandakan bahwa seorang anak pun merupakan bagian dari karya keselamatan. Dalam setiap anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi, dan dilindungi. Anak bagian utuh tubuh Kristus. Perlindungan dan pengasuh anak harus membawa anak sesuai dengan pertumbuhannya untuk semakin dekat dengan Yesus.
Sementara itu, terkait perlindungan anak di masa pandemik Covid-19 Prof Irwantho melihat, dampak dari situasi ini memiskinkan masyarakat dan keluarga. Akibatnya orangtua merasa terbebani karena tanggungjawab ekonomi, dan mengurus anak-anak. Dampak lain yang ditimbulkan adanya kasus perdagangan dan eksploitasi anak. Selain itu, memunculkan potensi konflik karena adanya ketakutan-ketakutan. Sebab itu, dia melihat seluruh elemen masyarakat, termasuk gereja, harus mengupayakan adanya tindakan-tindakan yang out off the box atau di luar kebiasaan untuk mengatasi dampak-dampak tadi.
Di penghujung kegiatan, perwakilan dari peserta menyampaikan pesan penutup. Mewakili anak Sekolah Minggu, Clara Lea dari Sorong, Papua Barat mengingatkan agar gereja dan pemerintah memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak yang merupakan generasi masa depan gereja. Sehingga anak-anak Indonesia terlindungi. Sedangkan Revmindo Landang dari GSJA Malang, mewakili Guru Sekolah Minggu berpesan agar anak-anak dididik dan dipelihara dengan baik, bersandar kepada firman Tuhan. Sehingga muncul generasi-generasi yang baik dan sehat, yang berdampak bagi Indonesia.
Mewakili, pimpinan gereja, Ivo Christina Siregar, dari Komisi Anak GKPA, mengajak gereja, guru Sekolah Minggu, dan pegiat anak untuk berpikir kreatif sehingga anak-anak bisa gembira selama menjalani masa tinggal di rumah ini.
Sementara itu, Prof. Irwantho berpendapat, hidup tidak bisa kita rencanakan, salah satunya yang kita hadapi hari ini. Tetapi menurutnya, pengalaman hari ini akan memberikan pelajaran bagi kita bagaimana untuk hidup ke depan. Sehingga tidak bosan-bosannya kita mencari solusi baru, karena ke depan kita harus tetap seperti itu.
Pentingnya berpikir out of the box juga diingatkan oleh Pdt. Gomar Gultom di pesan penutupnya. “Benar apa yang disampaikan oleh Prof. Irwantho di awal, yang mengajak semua untuk out of the box, untuk melihat apa yang bisa kita lakukan sekarang, dan peristiwa ini sangat luar biasa sehingga penangannya tidak bisa biasa-biasa saja. Menolong anak-anak yang karena situasi ini makin rentan menderita juga kelompok masyarakat. Gereja ada untuk mereka yang terpinggir, terlupakan, dan terdiskriminasi. Dengan demikian anak-anak Indonesia akan terlindungi sehingga Indonesia akan maju,” tegasnya.
Pewarta: Markus Saragih