Pembukaan The 3rd International Peace Conference. Wujudkan Kesatuan yang Harmonis dan Penuh Kasih Sayang

JAKARTA,PGI.OR.ID-Dirjen Bimas Kristen Jeane Maria Tulung, mewakili Menag RI, membuka kegiatan The 3rd International Peace Conference 2023, yang diselenggarakan oleh United Evangelical Mission (UEM) bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), di Mercure Hotel, Jakarta, pada Selasa (21/11/2023).
Koferensi yang mengusung tema Peace Among The People ini, akan berlangsung selama tiga hari (21-23/11), dan diikuti sekitar 50 peserta dari Amerika Serikat, Australia, Sri Lanka, Philippines, Indonesia, Tanzania, dan Republik Demokrasi Kongo.
Dalam sambutannya, Moderator UEM Bishop Dr. Abednego Keshomshahara mengatakan, hidup damai bersama semua orang berarti kita harus inklusif, bukan eksklusif. Dengan demikian kita dapat mewujudkan kesatuan yang harmonis dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi, segregasi dan kebencian.
Ditambahkan pula, konflik dan peperangan yang terjadi antar umat beragama, yang dilakukan oleh orang-orang beragama. Selain itu, dalam kebanyakan kasus, politisi menggunakan agama untuk mencapai tujuan mereka. Dengan kata lain, beberapa politisi menyalahgunakan agama untuk mewujudkan tujuan politiknya.
Bishop Abednego juga menyinggu sejumlah tantangan yang terjadi di berbagai benua. Semisal adanya peperangan yang menyebabkan kematian, kelaparan, buta huruf, keterbelakangan, kebencian jangka panjang, dan sebagainya. “Di semua benua terdapat orang-orang yang berbeda agama dan budaya. Apalagi saat ini globalisasi telah menyebabkan perpindahan manusia dengan cepat. Semua bergerak dan menimbulkan efek positif dan negative, yang pada akhirnya bertemu,” ujarnya.
Dalam konteks ini, lanjutnya, UEM terus berupaya semaksimal mungkin untuk meyakinkan bahwa umat Kristiani dan anggota masyarakat yang berbeda agama serta budaya, diberikan kesempatan mendiskusikan permasalahan melalui dialog antaragama yang bertujuan untuk hidup bersama dengan damai.
Diakhir sambutan, Bishop Dr. Abednego berharap konfrensi perdamaian yang juga telah dilaksanakan di Eropa dan Afrika ini, dapat menghasilkan lebih banyak hal terkait pembangunan perdamaian di seluruh dunia, dan dapat mendorong gereja-gereja anggota, untuk melanjutkan pembangunan perdamaian, diberbagai tingkat dan tempat, nasional maupun internasional.
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom. Menurutnya, konferensi ini penting mengingat kondisi dan situasi dunia saat ini, yang sedang terancam oleh kiamat ekologi. Perlakuan manusia terhadap alam semesta sudah melampaui niat Tuhan menciptakan dunia ini.
“Akibat eksploitasi alam yang berlebihan, kita harus berhadapan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang menimbulkan bencana atau malapetaka yang luar biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 merupakan akibat dari mutasi genetik yang memunculkan hama dan virus jenis baru akibat mutasi genetik. Pandemi yang lalu seharusnya mengingatkan kita bahwa kekerasan terhadap alam harus dihentikan,” paparnya.
Di sisi lain, Pdt. Gomar Gultom melihat eksploitasi alam juga membawa penderitaan bagi masyarakat adat yang terabaikan haknya atas tanah dan alam sekitar. Sistem ekonomi dan hukum yang ada cenderung hanya melindungi kepentingan investor, sehingga hak asasi manusia menjadi terpinggirkan.
“Saya merasa bahwa kegagalan negara mengatasi situasi yang tidak adil ini juga merupakan kegagalan agama dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. Mungkin agama masih ada, namun kehadirannya hanya dalam peran minimalis, berupa ritual ibadah. Namun peran historis agama, yakni membawa perdamaian dan keadilan, hanya tinggal retorika dan rumusan dogmatis yang jauh dari langkah praktis dan strategis. Uskup Abednego mengatakan bahwa setiap agama menawarkan perdamaian, namun banyak juga kekerasan yang terjadi atas nama agama tersebut,” jelasnya.
Dalam kondisi seperti ini, Ketum PGI menyambut gembira dengan diadakannya konferensi di bawah payung KPKC ini. Dia pun berharap kegiatan ini dapat memberikan inspirasi baru bagi kita semua dalam mengubah perkataan menjadi tindakan, mengubah pengakuan iman kita menjadi program nyata. Kredenda tanpa agenda hanyalah kesia-siaan. Sebab itu, perdamaian antar manusia, perdamaian dengan alam semesta harus menjadi kontribusi kita terhadap dunia.
Sedangkan Dirjen Bimas Kristen Jeane Maria Tulung mengajak semua umat untuk bersatu memperjuangkan hak-haknya, menolak diskriminasi, dan segala bentuk kekerasan. “Kita semuanya harus terus menyuarakan kerja sama yang setara dan inklusif, perbanyak kolaborasi untuk mewujudkan stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran dunia. Kita perluas ruang-ruang kerja sama, baik dalam konteks bilateral maupun multilateral,” tandasnya.
Dia menegaskan, bahwa persaudaraan dan solidaritas harus terus dibangun dengan langkah-langkah yang nyata dan hasil-hasil yang nyata dan bersiap untuk memitigasi, serta mengelola krisis dengan sebaik-baiknya.
“Mari terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam membina, mengembangkan, dan memfasilitasi kiprah generasi kita untuk ikut berperan aktif dalam setiap momentum dan aktifitas perdamaian dan kemakmuran dunia. Besar harapan kegiatan ini dapat memberikan kemanfatan dan kemaslahatan bagi peradaban ke depan, serta menjadi berkat bagi banyak orang,” pungkas Jeane.
Pembukaan The 3rd International Peace Conference semakin semarak dengan penampilan mahasiswi STT IKAT, Jakarta yang membawakan tari-tarian nasional. Sebelumnya, peserta konferensi melakukan kunjungan ke sejumlah tempat, diantaranya Kampung Sawah, Bekasi, daerah yang dikenal sebagai area sarat toleransi antar-umat beragama.
UEM sebagai persekutuan internasional dari 38 gereja dan organisasi gereja di Afrika, Asia dan Eropa, telah berjuang sejak didirikan pada 1996 untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Pada 2019, UEM memulai pertemuan antaragama dan antarwilayah yang bertujuan untuk membangun komunitas inklusif di tingkat lokal. Pengalaman antaragama, refleksi, tantangan dan kegiatan dari Asia, Afrika dan Jerman dibagikan dan menjadi rekomendasi bersama memperkuat perdamaian di antara masyarakat dikembangkan, serta diterbitkan.
Konferensi antaragama internasional pertama fokus pada model aksi antaragama komunitas yang damai dan inklusif diadakan di Wuppertal, Jerman pada 2017. Konferensi kedua diadakan di Zanzibar, Tanzania pada 2019 dengan fokus pada radikalisme agama dan ekstremisme. Kedua konferensi tersebut digabungkan dengan aksi dan pertemuan publik di Jerman dan Zanzibar untuk berbagi pesan perdamaian antaragama, serta tindakan untuk komunitas inklusif dan mengundang orang untuk bergabung dalam perjalanan ini.
Sedangkan konferensi ketiga ini, mensoroti sejumlah isu, seperti ancaman ekstrem terhadap penciptaan, dan kehidupan manusia, akibat krisis iklim, serta penghancuran lingkungan hidup. Dengan tujuan memperkuat aktor lokal, membuat inisiatif antaragama lebih terlihat, mengatasi permasalahan umum orang-orang di seluruh dunia, memperkuat jaringan internasional, berbagi keprihatinan, ide dan visi dengan semua orang dengan mengundang aksi publik. Masukan dan rekomendasi dari konferensi ini termasuk acara publik akan dibagikan dalam persekutuan UEM.
Pewarta: Markus Saragih