Pembukaan Konas HIV-AIDS 2024, Sekum PGI: Mari Selaraskan Langkah Bersama
JAKARTA,PGI.OR.ID-Kepedulian terhadap dinamika dan penanggulangan HIV-AIDS harus menjadi panggilan bersama, baik lintasagama, bahkan lintas berbagai latarbelakang. Sebab persoalan HIV-AIDS tidak mengenal perbedaan agama, etnis dan lain sebagainya.
Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty, saat membuka Konsultasi Nasional HIV-AIDS: Memperkuat Advokasi HIV-AIDS Lintas Agama di Indonesia, di Aula lantai 3 Grha Oikoumene, Senin (26/8/2024).
Lebih jauh dijelaskan, isu HIV-AIDS sudah menjadi bagian dari perhatian PGI sejak lama, dan sebagai ekspresi PGI sebagai lembaga agama terhadap perhatiannya mengenai dan dinamika dan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia, yaitu dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) HIV-AIDS PGI.
Menurutnya, hal tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Christian Conference of Asia (CCA) dan World Council of Churches (WCC) terhadap persoalan HIV-AIDS. “Kita ada dalam jalan yang sama dengan CCA dan WCC. Artinya isu ini menjadi salah satu isu dalam dinamika oikoumene mondial. Kami mendorong sebaliknya supaya gereja-gereja anggota menginstitusionalisasikan kepedulian terhadap dinamika HIV-AIDS di wilayah masing-masing dengan membentuk unit-unit, pokja, atau entah apa namanya, tetapi ada dalam struktur yang memberikan perhatian terhadap penanggulangan masalah ini,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Sekum PGI juga menceritakan pengalamannya di Gereja Protestan Maluku (GPM), saat menggalang concern gereja pasca kerusuhan Maluku, ternyata menemukan bahwa persoalan HIV-AIDS menjadi burning issue. “Dan dalam kajian-kajian lebih lanjut kita menemukan, lalu mengajak, dan menggelisahkan tokoh-tokoh agama pada situasi pasca konflik, untuk melihat persoalan ini sebagai panggilan dan tanggungjawab bersama yang harus mendapat perhatian serius,” kisahnya.
Pdt. Jacky berharap melalui kegiatan ini, peserta dapat mengupdate, melakukan pemetaan, dan skoring terhadap sampai sejauhmana kita mengambil bagian dalam dinamika serta penanggulangan HIV-AIDS. Selain itu, pada akhirnya mari menyelaraskan langkah-langkah bersama, termasuk dengan CCA serta lembaga-lembaga lainnya.
Sementara itu, Ketua Umum Sinode Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) Pdt. Dr. Alexsander Zeth Rondonuwu yang hadir dalam kegiatan ini, berharap ada solusi yang dihasilkan dalam menyikapi persoalan HIV-AIDS. “Saya berharap semoga melalui pertemuan ini kita semua bisa berdiskusi dan ada solusi yang diperoleh, karena di wilayah pelayanan GPID di Sulawesi Tengah kasus HIV-AIDS agak naik. Memang sepertinya masalah ini sudah kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan, sehingga kita perlu memberi perhatian kembali,” tandasnya.
Konas HIV-AIDS diikuti sekitar 50 peserta yang merupakan perwakilan dari tokoh lintas agama di Indonesia, pimpinan sinode gereja anggota PGI, serta lembaga peduli HIV dan AIDS. Kegiatan yang diinisasi oleh PGI bersama CCA, dan INTERNA ini akan berlangsung selama tiga hari (26-28/8/2024) di Grha Oikoumene, Jakarta. Melalui kegiatan ini diharapkan adanya penguatan jaringan lintas agama di Indonesia, dan dapat membekali para pemimpin lintas agama dalam respons efektif terhadap HIV dan AIDS.
Sebagaimana diketahui, isu HIV-AIDS masih menjadi masalah utama kesehatan sedunia, dan Indonesia secara aktif tetap bekerja keras untuk mengurangi dampaknya. Terdapat sekitar 540.000 orang saat ini hidup dengan HIV di Indonesia. Dalam hal jumlah yang didiagnosis dengan HIV data menunjukkan telah terjadi penurunan sebesar 3,6% pada tahun 2022. Namun saat ini sebanyak 24.000 orang baru terdiagnosa mengidap HIV.
Dalam upaya mengurangi peningkatan penularan HIV, pemerintah Indonesia telah menerapkan langkah-langkah pencegahan untuk mencapai target “95-95-95,” dengan mengurangi stigma dan meningkatkan akses ke perawatan. Pada saat yang sama, untuk meningkatkan derajat Kesehatan Masyarakat dan demi masa depan yang lebih baik, maka fokus pengobatan HIV-AIDS di Indonesia makin diperluas.
Terapi antiretroviral (ARV) adalah landasan strategi Indonesia, yang bertujuan untuk mengurangi replikasi virus, meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, dan memperpanjang umur orang yang hidup dengan HIV-AIDS. Ketersediaan obat ARV telah meningkat secara signifikan, tetapi tantangan seperti stigma dan kebutuhan akan kepatuhan pengobatan secara teratur tetap menjadi prioritas.
Data menunjukkan bahwa stigma seputar HIV-AIDS masih ada di tengah masyarakat, termasuk stigma publik terhadap pengidap HIV, stigma dalam pengaturan perawatan kesehatan, dan stigma terhadap diri sendiri.
Stigma dipahami sebagai penilaian negatif yang ditujukan pada individu atau kelompok dalam masyarakat dan bermanifestasi dalam dua bentuk: stigma internal dan eksternal. Stigma internal melibatkan persepsi diri negatif individu berdasarkan keyakinan mereka tentang bagaimana orang lain memandang mereka, dan ini sering menyebabkan depresi dan penarikan diri dari pergaulan. Stigma eksternal, sebaliknya, mewakili diskriminasi yang dihadapi individu dari lingkungan mereka dan masyarakat pada umumnya.
Diskriminasi ini dapat memaksa mereka yang hidup dengan HIV-AIDS untuk menyembunyikan status mereka, yang berujung pada hambatan terhadap intervensi yang diperlukan. Oleh karena itu, mengurangi stigma dan membangun jaringan dukungan, serta peran dukungan sosial merupakan elemen penting dalam meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan ARV di Indonesia.
Dalam situasi di mana jumlah kasus HIV-AIDS terus meningkat, maka organisasi berbasis agama memainkan peran penting dalam pemberian layanan kesehatan dan sosial, khususnya dalam konteks HIV-AIDS. Melalui jaringan yang mapan yang ada di lingkup lembaga keagamaan serta adanya hubungan terpercaya antara lembaga keagamaan dan umatnya, maka secara efektif lembaga keagamaan dapat berperan meningkatkan kesadaran, meretas hambatan, dan menjangkau populasi yang terpinggirkan.
Pewarta: Markus Saragih