Pembukaan ICSA 2024. Perkuat Solidaritas bagi Pekerja Migran, Pengungsi dan Masyarakat Termarjinal

JAKARTA,PGI.OR.ID-Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI bersama APMM, AP Inform, Forum Islam Progresif, Kabar Bumi, dan Beranda Perempuan, menginisiasi kegiatan Interfaith Conference on Service and Advocacy/ICSA (Konferensi Antaragama tentang Pelayanan dan Advokasi), dalam rangka kerjasama dan solidaritas untuk hak dan kesejahteraan migran, pengungsi dan Masyarakat termarjinal lainnya di kawasan Asia Pasifik dan Timur Tengah.
Konferensi yang berlangsung selama tiga hari (26-28/2/2024), diikuti para aktivis pekerja migran dari sejumlah negara, diantaranya Filipina, Jerman, Korea, Bangladesh, Afrika, Uganda, Amerika Latin, Pacific (Fiji), Kanada, Singapura, Thailand, Jepang, Hong Kong, dan Indonesia. Sementara peserta dari Timur Tengah oleh karena situasi tidak dapat menghadiri kegiatan ini.
“Kami sangat antusias untuk melihat bagaimana konferensi ini akan memperkuat solidaritas jaringan institusi dan organisasi keagamaan di Asia Pasifik dan Timur Tengah untuk mengadvokasi hak-hak dan perlindungan para migran, pengungsi, dan kelompok masyarakat yang termarjinal,” ujar Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacky Manuputty, dalam pesannya saat pembukaan konferensi, di GMIST Bait Allah, Cempaka Putih, Jakarta, pada Senin (26/2/2024).
Menurutnya, PGI telah menangani masalah ini sejak 2016 bersama gereja-gereja anggota PGI, kementerian/pemerintah, dan lembaga. Selanjutnya pada 2018, konferensi yang sama diadakan bekerja sama dengan PGI. “Saat itu kami melakukan advokasi khusus terkait kasus Mery Jane yang menunggu hukuman mati oleh pemerintah Indonesia. Kasus ini masih belum selesai, meski pelaku sudah menjalani hukumannya di Filipina. Aktivis di Indonesia masih memperjuangkan pembebasan Mary Jane karena dia adalah korban perdagangan orang. Kita harus terus mengadvokasi kasus ini dan kasus migran lainnya di negara kita,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Sekum PGI juga menegaskan, bahwa terkait dengan kondisi migran, tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN juga tidak lepas dari kerja keras/keringat para pekerja migran, namun ironisnya mereka belum mendapatkan perlindungan yang baik. Saat ini kondisi pekerja migran di Asia Tenggara masih jauh dari kondisi kerja yang layak dan rentan terhadap praktik perdagangan manusia dan penyelundupan.
Ditambahkan, banyak pekerja migran dari Indonesia yang berangkat ke luar negeri dengan status ilegal. Prosesnya lebih cepat dibandingkan jalur resmi yang memakan waktu berbulan-bulan, padahal keamanan dan haknya tidak terjamin. Di Provinsi Timor Barat, misalnya, rata-rata satu hingga dua jenazah buruh migran kembali ke NTT dalam keadaan peti mati setiap minggunya selama sembilan tahun terakhir.
Diakhir pesannya, dia berharap agar konferensi yang menjadi ajang penting, di mana seluruh peserta akan memberikan masukan dan berbagi pengalamannya masing-masing, dapat menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk menindaklanjuti perjuangan kita bersama dalam mengadvokasi dan melindungi pekerja migran serta merawat pengungsi dan permasalahan masyarakat terlantar di negara kita dan berbagai wilayah lainnya.
Harapan yang sama juga disampaikan Pdt. Joram H. Calimutan dari Asia Pacific Interfaith Network for the Rights of Migrants (AP Inform). “Semoga konferensi lintas iman ini menuntun kita untuk menghidupi iman kita dalam tindakan dan kerja sama, doa kita dalam tindakan solidaritas, memobilisasi komunitas iman dan migran untuk bersama-sama menghadapi penyebab migrasi paksa, mendorong masyarakat yang adil dan manusiawi, membangun kerja sama dan kemitraan melalui pelayanan dan advokasi,” katanya.
Pdt. Joram melihat, perpindahan penduduk secara paksa dan besar-besaran yang disebabkan oleh dampak yang tidak manusiawi dari kemiskinan, pengangguran, ketidakberdayaan, dan kurangnya kesempatan yang lebih baik di banyak negara berkembang seperti Indonesia, Bangladesh, Myanmar, Thailand, dan Filipina semakin diperparah oleh berbagai krisis perang dan konflik, pendudukan ilegal, genosida, serta perubahan iklim seperti yang terjadi pada masyarakat Rohingya dan Palestina.
“Dengan jutaan orang yang terjebak dalam kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup, ratusan ribu orang seperti Jane dan Usrianti yang menjadi korban pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, dan perbudakan modern menarik perhatian untuk mendapatkan belas kasihan dan solidaritas,” ujarnya.
Sedangkan General Manager Asia Pacific Mission for Migrants (APMM) Aaron Cedaroy berharap melalui kegiatan yang akan diisi dengan berbagi pengalaman dan Pelajaran ini, menjadi kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain dan pekerjaan kita, serta dapat menghasilkan komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang berkelanjutan saat kita menghadapi tantangan untuk mengatasi kondisi krisis migran yang sedang terjadi, serta melihat ke depan untuk mencari solusi yang lebih tahan lama untuk masalah migrasi saat ini.
Usai pembukaan, peserta konferensi mengikuti sesi yang mengulik situasi regional: Perubahan, tren, dan permasalahan migrasi yang disebabkan oleh dampak pandemi yang berulang dan berbagai krisis global, serta sesi yang disampaikan Pdt. Dr. Liberato C. Bautista, President-Conference of NGOs in Consultative Relationship with the United Nations, dengan pokok bahasan Kerja sama dan solidaritas untuk pelayanan dan advokasi hak-hak dan kesejahteraan para migran.
Sementara di hari kedua, Selasa (27/2/2024), peserta mengikuti workshop yang dibagi dalam 4 kelompok besar untuk sharing kekuatan masing-masing lembaga, dan memperkuat jejaring nasional serta internasional.
Pewarta: Markus Saragih