Obituari: Trisno Subiakto Sutanto, Sang Pejuang Keberagaman
JAKARTA,PGI.OR.ID-Jelang tengah malam, Sabtu, 30 Maret 2024, aktivis gerakan oikoumene, interfaith, peneliti, sekaligus jurnalis, Trisno Subiakto Sutanto (61), telah kembali ke pangkuan Sang Khalik. Kepergiannya yang mendadak itu, tidak hanya mengejutkan keluarga, dan sahabat, tetapi juga Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Mas Trisno, biasa dia disapa, lahir di Purwokerto, 11 Desember 1962. Dia dikenal sebagai sosok yang memiliki kontribusi besar bagi PGI, bahkan jauh sebelum menjadi Tim Kerja Revisi Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI.
Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacky Manuputty dalam sambutan usai ibadah penghiburan dari PGI bersama sahabat oikoumene dan mitra interfaith di RD Ukrida, Kebon Jeruk, Jakarta, pada Senin (1/4/2024), menyampaikan rasa duka mendalam atas berpulangnya Trisno Sutanto.
“Rasa belum percaya bahwa Trisno sudah tiada karena intesitas perjumpaan dengan Trisno sangat tinggi. Perilaku, dan sikapnya secara detail masih sangat membekas didalam dengan kita di PGI, karena memang ada pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan yang membutuhkan kehadiran Trisno. Kami tidak menduga, betul-betul pukulan bagi kami, sangat kehilangan tapi fakta berbicara sahabat, saudara kita Trisno telah berpulang,” ungkapnya.
Menurut Sekum PGI, Trisno ibarat surat yang terbuka, serta pribadi yang sangat cair kepada siapa saja. “Karena itu tidak sulit mencari apa yang tersembunyi, apa yang dia rasa dan sampaikan. Bagi kami Trisno, terlepas dari pemikiran-pemikiran yang cemerlang, dia memperlihatkan sebuah karakter manusia yang apa adanya, sangat sederhana. Jika PGI membicarakan keugaharian sudah sangat lama, tapi saya kira salah satu figur yang berkelindat diantara kita dengan sangat ugahari ya Trisno. Itulah kesehariannya,” ujarnya.
PGI, lanjut Pdt. Jacky, mendapat pembelajaran didalam refleksi untuk mengenal sahabat yang meninggalkan jejak-jejak pribadi yang sangat terbuka, sederhana, apa adanya, dan sangat terus-terang. “Harapan kami masih ada pemikir-pemikir Kristiani yang hadir, dan melakoni di dalam kemanusiaan untuk mewarnai Indonesia seperti Trisno. Tidak hanya dengan pemikiran tetapi laku yang benar-benar bisa menjadi role model,” pungkasnya.
Rasa kehilangan juga diungkapkan rekan seperjuangan Trisno Sutanto dalam isu-isu interfaith, Muhamad Guntur Romli. Menurutnya, almarhum adalah sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dialog antaragama. “Inilah warisan almarhum yang sangat kuat, dan itu didasari dengan pemahaman teologisnya, pemikiran, tetapi juga praktik nyata, sehingga dia dekat dengan semua pemeluk agama lain,” ungkapnya.
Lanjut Guntur Romli, Trisno Sutanto adalah sosok yang sangat bahagia dan menikmati hidup. “Ada tiga hal yang menurut saya dia bahagia, pertama, memiliki pemikiran luar biasa terhadap dialog antaragama dan lainnya. Kedua, sangat hangat dengan sahabat-sahabatnya. Ketiga, ini soal makanan. Saya lihat almarhum mirip dengan Gusdur, peduli dengan orang lain tapi tidak peduli dengan diri sendiri, apalagi soal makanan. Kalau sudah menikmati makanan tidak peduli dengan hal lainnya,” katanya sambil tersenyum.
Dia berharap nilai-nilai kesederhanaan, ketulusan, kecerdasan, dan sikap tanpa pamrih yang ada dalam diri Trisno Sutanto, dapat kita teruskan. Selamat jalan Mas Trisno!
Pewarta: Markus Saragih