Namun Toleransi Bukanlah Sebatas Festival, Melainkan Wujud Kenyataan Hidup Sehari-hari
Oleh: Chris Poerba
Rangkaian Festival Toleransi Indonesia 2024, telah berakhir tadi malam di Galeri Nasional (Galnas), Rabu, 4 September 2024. Ada beragam kegiatan yang telah dilakukan selama tiga hari (2-4/9/2024). Satu diantaranya adalah lomba esai Esoterika menyambut Paus Fransiskus dalam lawatannya ke Indonesia.
Esai saya berjudul “Paus Membasuh Kaki Semua Umat di Indonesia Agar Semakin Kuat Melangkah dalam Keberagaman dan Kesetaraan (Menafsir Pesan Pluralisme Lukisan AI Denny JA)” terpilih sebagai salah satu dari 380 peserta yang mengirimkan esainya, sebagai juara harapan satu. Selain itu ada lomba swafoto dengan jumlah 135 orang peserta, namun keterbatasan waktu, saya berhalangan dapat ikut beberapa kegiatan lainnya.
Awalnya, pada hari ketiga festival toleransi, saya akan datang pagi hari, hanya sebentar di Galnas, dan selanjutnya melakukan kegiatan lainnya. Namun, pagi hari panitia menghubungi saya akan ada pengumuman pemenang lomba esai pada sore hari, dan jalanan depan Stasiun Gambir dan Galnas akan ditutup. Ini bagian rekayasa lalu lintas, karena pada hari yang sama Paus Fransiskus akan melakukan kunjungan kenegaraan menemui Presiden Joko Widodo. Saya pun mengusahakan kepada panitia, supaya dapat datang pada sore hari.
Bagi seorang peneliti dan penulis, maka menulis adalah merayakan sebuah peristiwa sejarah. Kisah yang akan terjadi masa kini, akan menyejarah di kemudian hari. Sejarah pun bukan lagi milik orang-orang besar, pun semua orang dapat menuliskan sejarahnya masing-masing. Besar, atau kecil, semua cerita dapat kita tuliskan. Catatan-catatan harian pun di kemudian hari dapat dijadikan referensi sejarah.
Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia akan dicatat sebagai sebuah peristiwa sejarah. Sejarah besar yang akan dicatat dunia, saya pun beruntung, karena esai saya dan para pemenang lomba esai lainnya akan dibukukan oleh Esoterika. Namun kita janganlah lupa menuliskan peristiwa-peristiwa ‘sejarah kecil’ yang berada di sekitar kita.
Setelah mengikuti acara penutupan festival toleransi, saya ijin pamit ke beberapa orang panitia. Setelah melintasi pintu gerbang, terlihat banyak aparat kepolisian di sepanjang pedestrian. Sebagian besar warga memang telah mengetahui kalau Paus Fransiskus akan melewati jalan di depan Galnas, saya pun mengetahui hal yang sama. Namun, saya memilih menggunakan jembatan penyeberangan menuju halte TransJakarta. Di atas jembatan penyeberangan, saya berpapasan dengan dua polisi dengan senapan laras panjang.
Seorang polisi di tangga naik menyapa, “Mau nyebrang pak.” Saya pun mengiyakan. Pada saat menuruni tangga, saya yang menyapa petugas polisi lainnya, “Aman kan, pak”. Dilanjutkan dengan jalan setapak menuju halte perhentian TransJakarta. Jalan pedestrian ini bentuknya mengintari. Ternyata pada sisi sebelahnya, saya masih berpapasan dengan 4-5 petugas kepolisian lagi. Pada hari itu menggunakan angkutan umum menjadi pilihan bijak.
Ketika saya menanti bus di dalam halte, pada saat itulah rombongan Paus Fransiskus melintasi sepanjang jalan di depan Galnas. Jalan yang tadinya telah saya lalui. Peristiwa sejarah lainnya pun kembali muncul. Saat rombongan Paus Fransiskus melintas, terlihat banyak warga menyerukan namanya. Sepertinya ada peserta yang memiliki inisiatif membawa lukisan AI dari Denny JA dibawa keluar agar dilihat oleh Paus Fransiskus. Peristiwa antar iman pun terlihat pada saat itu.
Sahabat dari Jamaah Ahmadiyah dan petugas ambulan membawa lukisannya, namun terhalang oleh pintu gerbang yang telah ditutup. Seorang pendeta perempuan Kristen sudah berada di luar gerbang pada saat itu. Lantas, mengangkat lukisan dan memboyongnya. Paus Fransiskus pun melihat lukisan tersebut dari dalam mobil, dan berjabat tangan dengannya.
Di Indonesia cukup ‘unik’ ketika kita mengatakan Kristen sudah hampir dipastikan yang dimaksud adalah Kristen Protestan, padahal masih beragam aliran Kristen lainnya. Sebutlah ada Kristen Advent dan Kristen Orthodox atau gereja-gereja dari timur. Dan Katolik cukup disebut Katolik, bukanlah Kristen Katolik.
Seorang sahabat dari Kristen Protestan, menanyakan kepada saya, mengapa saya menulis tentang, “Paus membasuh kaki rakyat Indonesia?” Saya menjawabnya, saya seperti ‘melihat’ Yesus yang membasuh di lukisan itu. Padahal memang tidak ada gambar Yesus di semua lukisan Denny JA. Namun, semasa remaja saya pernah melihat seniman Brazil melukiskan Yesus sedang membasuh kaki warga miskin di perkampungan kumuh Brazil. Saya juga pernah melihat seorang pelukis Indonesia yang melukiskan Yesus sedang berkotbah di atas becak. Ingatan itu cukup membekas.
Lain hal, seorang sahabat Katolik mengajak saya mengikuti misa akbar bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno (GBK). Saya pun beruntung mendapat ajakan tersebut, apalagi saya terakhir kali ke GBK pada saat konser Guns n Roses (2018). Namun karena harus mempersiapkan diri sejak siang hari dan mengatur waktu lainnya. Akhirnya saya memohon pihak panitia agar mengirimkan surat undangan kepada teman Katolik saya yang lainnya. Biarlah saya cukup menyaksikannya dari televisi saja.
Kamis (05/09/2024) misa akbar bersama Paus Fransiskus telah selesai, dan sehari sebelumnya, Rabu (04/09/2024) Festival Tolerasi 2024 pun usai. Seperti judul tulisan saya ini, walau festival telah berakhir, namun toleransi bukanlah sebuah festival, karena toleransi yang sesungguhnya akan tampak dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Terimakasih Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Esoterika Forum Spiritualitas membuka ruang peristiwa sejarah ini.