Merajut Keesaan Gereja dari Tanah Pela: Semiloka dan Penjemaatan Dokumen Keesaan Gereja di Ambon

AMBON,PGI.OR.ID-Gereja Protestan Maluku (GPM) menjadi nyonya dan tuan rumah pelaksanaan Semiloka dan Penjemaatan Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang berlangsung di Gereja Jemaat Khusus GPM Hok Im Tong, Ambon (2-3 Mei 2025). Semiloka ini sebagai rangkaian menyambut 75 tahun PGI, yang sebelumnya telah dilaksanakan di Sumatera Utara, Sulwasesi Utara, dan Kalimantan.
Kegiatan ini mempertemukan para pemimpin gereja dari GPM, GMIH, dan PGIW Maluku, serta Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dalam satu semangat: menggumuli dan merajut keesaan gereja dalam konteks poli-krisis yang tengah dihadapi bangsa dan gereja-gereja di Indonesia.
Acara ini dibuka dengan ibadah yang dipimpin oleh Pdt. Yanes Parihala, yang dalam khotbahnya menegaskan pentingnya membangun keesaan yang relasional—sebuah relasi yang hidup dan berakar dalam keberagaman. Ia menafsirkan ruang tempat para murid Yesus berkumpul pasca-penyaliban sebagai ruang krisis—sebuah gambaran kondisi gereja kini yang bergumul dengan berbagai krisis: keesaan, kebangsaan, pendidikan, keluarga, dan ekologi.
“Kristus hadir dan mengucapkan, ‘Damai sejahtera bagi kamu.’ Itu bukan sekadar penghiburan, tapi amanah. Gereja-gereja di Maluku dipanggil untuk mengurai poli-krisis ini dan menghadirkan damai di bumi,” ujar Pdt. Yanes.
Seusai Ibadah, Ketua Umum Sinode GPM, Pdt. Elifas Maspaitella, dalam sambutannya menggarisbawahi makna sejarah kehadiran DKG di tanah Maluku. Ia menegaskan bahwa masyarakat gerejawi di Ambon merasa DKG adalah bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
“DKG itu lahir di tanah ini, lewat Sidang Raya PGI ke-10 tahun 1984 di Ambon. Maka menjadi bagian dari proses penjemaatan dokumen ini adalah juga panggilan sejarah dan iman kami sebagai orang basudara di Bumi Raja-Raja,” kata Maspaitella.
Sementara itu, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan, mengangkat nilai Pela sebagai fondasi kultural yang kuat dalam menjawab krisis Oikumene gereja-gereja di Indonesia. Ia menyoroti bahwa krisis Oikumene saat ini bersumber dari egosentrisme gerejawi, dan justru dari Maluku—tanah Pela—terbit terang.
“Nilai Pela adalah contoh konkret bagaimana gereja bisa keluar dari egosentrisme. Hubungan Pela bukan hanya tentang kerja sama, tapi tentang relasi hidup yang saling memberi dan menerima, sebagaimana saya alami langsung di Ambon,” ujar Darwin.
Ia menyebut peran penting GPM dalam dalam sejarah Oikumene Indonesia, termasuk perubahan nama Dewan Gereja Indonesia menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia yang terjadi di Sidang Raya ke X di Ambon pada tahun 1984.
Pendidikan Oikumene GPM yang baru dibuka juga dipuji sebagai langkah strategis mencetak pelayan gereja yang hospitalitas, relasional, dan inklusif.
Kegiatan ini bukan hanya menjadi ruang refleksi dan peneguhan komitmen keesaan gereja, tetapi juga pengakuan bahwa akar budaya lokal—seperti Pela dan Gandong—dapat menjadi daya spiritual yang kuat dalam menghadirkan kesatuan dalam keberagaman.
Dengan semangat orang basudara, gereja-gereja di Maluku sekali lagi menunjukkan bahwa mereka bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga aktor penting dalam merajut persekutuan gereja-gereja di Indonesia yang tangguh dan relevan di tengah zaman yang penuh tantangan.