Menyongsong Sidang MPL PGI 2025. Bersama-sama Mewujudkan Masyarakat Majemuk yang Pancasilais dan Berdamai dengan Segenap Ciptaan

Oleh: Martin Lukito Sinaga
Bagaimanakah sebentuk masyarakat yang majemuk diwujudkan? Tentu di sini ada hal yang genting: kita tidak sekadar mau mengatakan bahwa masyarakat majemuk sudah “taken for granted” [atau” sudah dari sononya] ada Indonesia, tetapi kita mau melakukan hal konstruktif ddengan cara memberi corak atasnya, yaitu Pancasilais serta tidak menggerus lingkungkan hidup. Lalu apa langkah-langkah konstruktif dalam upaya mewujudkan masyarakat sedemikian?
Banyak sekali pendekatan yang berkembang dalam upaya membentuk masyarakat, salah satunya yang cukup dikenal ialah melalui pendekatan yang diusulkan Anthony Giddens, yaitu strukturasi. Secara sederhana hal ini berarti bahwa masyarakat terbentuk sebagai akibat dinamika antara “agency” (yaitu tindakan setiap pribadi atau lembaga, atau kepeloporan, atau gagasan-gagasan yang disebarkannya), berhadapan dengan struktur (semacam aturan, tradisi atau sumber-sumber daya yang sudah terbentuk). Melalui dinamika berulang ataupun “recurrence” dari “agency” dan “struktur” tersebut, yang lantas melibatkan banyak orang, dalam konteks dan waktu yang kerkesinambungan, maka wujud masyarakat tertentu akan muncul.
Sekarang pertanyaan terpenting ialah, apa yang perlu kita praktikkan secara berulang dan berkelanjutan (dan menjadi habitus ekumenis) agar masyarakat majemuk sedemikian terbentuk di Indonesia, dan sumber-sumber struktural apa yang ada dan dapat kita manfaatkan? Di bawah ini saya daftarkan struktur-struktur yang nyata, lalu pemetaan kemajemukan Indonesia, yang di dalamnya “agency” gerejawi dapat kita praktikkan:
- Struktur baru Islam Indonesia: Tanpa Islamisme
Tentu kita sadari bahwa masyarakat majemuk yang Pancasilais di Indonesia tak bisa terwujud tanpa keterlibatan umat Islam. Dalam perjalanan Islam di Indonesia, mereka tampaknya sudah tiba pada momen struktural yang serius, yaitu tidak lagi menuntut formalisasi Islam ke dalam struktur (ideologi) negara.
Ambil contoh analisis Buya Ahmad Syafii Maarif (ASM), posisi Islam saat ini ialah bahwa Islamisme telah gagal dalam upaya politik dan ideologi di Indonesia. Menurutnya ideologi Islam sebagai basis politik kenegaraan sudah tidak relevan lagi. Namun demikian suatu proses pengislaman yang berkelanjutan sedang ditempuh. ASM berjuang agar islamisasi Indonesia berbingkai intelektual yang kukuh dan dengan pesan moral yang relevan.
Dalam istilah Nurcholish Madjid (NM) arah baru Islam akan tampak dengan proses “satrinisasi” Indonesia modern. Arah baru ini akan mendorong proses yang oleh NM disebutnya “keseimbangan baru dalam kepemimpinan sosial politik di Indonesia”, sebab selama itu menurutnya Indonesia terlalu didominasi kelompok “nasionalis sekuler” dalam kerjasamanya dengan kelompok Kristiani. Kebaruan itu secara khas oleh Abdurrahman Wahid (AW) ditempuh dengan Pribumisasi Islam (kini: Islam Nusantara), yang “non-teokratis” tetapi terus menunjukkan peranan moderasinya (moderation).
Maka dapat kita catat bahwa menurut ke-3 pemikir Islam ini, masyarakat yang majemuk sudah cukup jadi konteks yang terbuka, tidak lagi ada niat memasukkan gagasna islamisme. Tentu saja pengaruh agama islam atau pun islamisasi masyarakat akan terus masuk, namun tidak lagi memakai ideologi atau kekuasaan.
- Struktur Ekumenis semakin Inklusif
Sebelum munculnya kiprah pasca-ideologi Islam di atas -secara historis-, suatu sikap umat Kristiani yang tegas atas ideologi Islam (baca: menjadikan Islam sebagai dasar negara) dapat kita lihat dalam sidang Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 1953. Dan hal ini menentukan jalannya sejarah Indonesia. Dalam Laporan Seksi I persidangan tersebut dicatat suatu pemerian yang mencemaskan bahwa “Agama Islam di Indonesia tengah memperkukuh kedudukannya dan mengusahakan terlaksananya suatu negara Islam tempat hukum Islam berlaku”.
Atas hal ini sidang tersebut mengeluarkan Resolusi yang menegaskan pentingnya “Universal Declaration of Human Rights” agar dicantumkan di dalam UUD RI. Bahkan sidang juga melanjutkan perlunya Pekabaran Injil digiatkan dalam konteks masyarakat Indonesia dan juga dalam upaya menghadapi perkembangan ideologi berbasis agama. Dengan ini semua kecemasan atas bangkitnya Islam sebagai kuasa keagamaan dan politis disadari sebagai tantangan serius.
Soal ideologi Islam pun sekali lagi telah selesai pasca dekrit presiden Soekarno 1959, dan setelah Orde Baru muncul sebagai suatu momen konsolidasi ideologi yang berfokus pada isu pembangunan nasional, maka mengemukalah sikap umat Kristiani dalam frasa “Bersama-sama memasuki Masa depan Bersama” (tema sidang Raya PGI di Ambon, 1984). Sikap ini melahirkan suatu posisi yang terbuka dan inklusif, sebab kini urusan Islam-Kristen ialah menemukan basis bersama untuk sebuah kerjasama praktis dalam hal kemajuan Indonesia.
Dalam kaitan dengan itu Bahtiar Effendi secara tepat menjelaskan bahwa memang telah berlangsung arah “Teologi Baru Politik Islam” ia mencatat bahwa Islam telah menempuh proses keluar dari formalisasi Islam dalam kaitannya dengan negara, menuju suatu proses yang lebih substantif atau bahkan transformatif. Bagi ASM misalnya, kini diperlukan suatu konvergensi etis (dengan nilai-nilai keadilan dan egalitarianisme) yang selanjutnya memungkinkan proses kerjasama sosial demi pembentukkan “common platform” di antara anggota komunitas dengan latar belakang agama yang berbeda.
- “Agency” kita Kini: Praktik-praktik grejawi untuk Mewujudkan Masyarakat Majemuk Yang Pancasilais dan Berdamai dengan Ciptaan
Dalam pembacaan saya, disertasi Simone Sinn memetakan kemungkinan “agency” kita dalam pembentukan pluralisme (dengan istilah pluralisme, kemajemukan mendapat rekonstuksinya atau pun arah pewujudannya). Dengan studi kepustakaan yang intensif, disertai wawancara mendalam atas hampir 70 orang teolog Islam dan Kristen dari berbagai wilayah Indonesia, Simone menggambarkan peta wacana (dan tentu saja kemungkinan praktik gerejawi) terkait situasi struktural sekaligus kemungkinan pewujudan masyarakat majemuk atau pun pluralisme tersebut. Saya adaptasi -agar berpola pendekatan “structure” dan ‘agency” di atas – seperti tergambar di bawah ini:
Penulis adalah pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama Kemenag RI. Ia juga dosen luarbiasa pada Sekotah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
Daftar Pustaka
- Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tetang Perdebatan dalam Konstitusi (Bandung, Mizan:2017)
- ibid., hl. 278.
- Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini”, dalam buku suntingan Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta, LP3ES: 1989), hl. 193-207.
- Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2004), hl. 288-9.
- Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta, Galang Press: 2001), khususnya hl. 3-41.
- Ahmad Syafii Maarif, “Piagam Madinah dan Konvergensi Sosial” dalam Islam dan Politik pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988), hl. 149-163 (apendiks)
- Simone Sinn, Religioeser Pluralismus im Werden: Religions Politische Kontroversen und Theologische Perspektiven von Christen und Muslimen in Indonesien (Tuebingen, Mohr Siebeck: 2014). Untuk tabel atau pemetaan, lihat khususnya halaman 362.