Menjadikan Agama-Agama Jembatan Kerjasama Mengatasi Krisis Global
SURAKARTA,PGI.OR.ID-Kita menghadapi kondisi geopolitik yang kompleks di berbagai wilayah di dunia, ancaman kesehatan, dan perubahan iklim yang menyebabkan krisis pangan dan energi, ancaman ekonomi global, dan kemiskinan ekstrem. Dalam situasi ini, agama-agama harus menjembatani kerjasama dunia dan membangun solidaritas bersama untuk mengatasi krisis global.
Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Fritz Manuputty dalam paparannya di acara World Peace Forum (WPF) ke 8, di Hotel Sunan Surakarta, pada Kamis (17/11/2022).
“Pemuka agama, aktor agama, dan lembaga agama harus meyakinkan pemerintah, partai politik, dan pembuat kebijakan lainnya untuk mengembangkan keterlibatan yang konstruktif dengan pemangku kepentingan agama dan spiritualitas,” katanya.
Institusi keagamaan dan berkeyakinan, lanjut Pdt. Jacky Manuputty, memiliki tingkat kepercayaan yang khas dalam banyak masyarakat. Mereka dapat mendorong perubahan perilaku, membuat narasi pro-eksistensi, menetapkan standar moral dan etika untuk mendukung kesehatan masyarakat, ketahanan masyarakat, penegakan keadilan serta pengelolaan lingkungan, dan mengurangi penyebab kekerasan.
Menurutnya, tren politik dan ekonomi global menunjukkan evolusi yang berbahaya. Situasi ini membunyikan alarm bagi agama dan kepercayaan untuk bertindak. Persaudaraan manusia (human fraternity) dan prinsip jalan tengah (the middle path) menawarkan kontra-narasi terhadap kecenderungan evolusioner yang mencemaskan kehidupan saat ini. Sudah saatnya agama memperkuat kerja sama dan bertindak.
Diakhir paparannya, Pdt. Jacky Manuputty menawarkan sejumlah ide singkat sebagai kesimpulan dari pidatonya. Pertama, kita harus terus bekerja untuk membumikan prinsip-prinsip pro-eksistensi dari dokumen persaudaraan manusia dan perspektif jalan tengah di berbagai wilayah rapuh dan banyak menderita akibat krisis kemanusiaan dan lingkungan.
Dimensi etis yang sangat kuat dari kedua prinsip yang terkait erat dengan relasi antar-manusia ini harus diterjemahkan dalam gerakan bersama lintas agama dan kepercayaan. Prinsip-prinsip dasar yang berakar pada nilai luhur agama-agama ini, juga selaras dengan banyak model kearifan lokal di berbagai kelompok masyarakat, khususnya di Indonesia, karenanya tidaklah sulit bila prinsip-prinsip ini diterjemahkan secara konkrit dalam relasi masyarakat di akar rumput.
Kedua, sementara kita bekerja pada tingkat penyusunan kebijakan global untuk mempromosikan persaudaraan manusia dan jalan tengah, kita juga harus bekerja sama untuk memperkuat kapasitas motivator, pekerja perdamaian, negosiatir, dan mediator berbasis agama yang hidup dan bekerja di tengah masyarakat basis yang rentan terhadap gejolak politik, sosial, dan ekonomi. Seruan para pemangku kepentingan agama untuk bertindak harus diperkuat dengan kapasitas untuk bertindak secara tepat di dunia yang berubah dengan cepat.
Ketiga, kita harus mendorong diakhirinya kecenderungan instrumentalisasi ajaran agama dan aktor-aktor agama untuk kepentingan politik dan ekonomi. Sebaliknya, libatkan pemangku kebijakan agama dan kepercayaan untuk mengembangkan relasi konstruktif agama dalam pembangunan berkelanjutan.
WPF ke 8 yang akan berlangsung hingga Jumat (18/11/2022), diikuti sebanyak 70 orang dari Indonesia dan 20 negara dari 5 benua. 20 Negara tersebut adalah Australia, Arab Saudi, Bosnia Herzegovina, Italia, India, Lebanon, Maroko, Malaysia, Mesir, dan Pakistan. Juga hadir delegasi dari Palestina, Philipina, Rusia, Slovakia, Thailand, Timor Leste, USA, UK, UEA serta Vatikan.
Acara yang digelar empat tahun sekali ini, mengusung tema Fraternity and the Middle Path for A Peacefull, Just, and Prospherous World.
Pewarta: Markus Saragih