Menilik UU Cipta Kerja: Harus Dipahami Secara Utuh
JAKARTA,PGI.OR.ID-Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah pada akhirnya sepakat dan mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Kesepakatan itu diambil melalui rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (5/10)
Sebelum disahkan, Pimpinan DPR yang memimpin jalannya rapat, Azis Syamsudin, mempersilahkan kepada Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas untuk membacakan laporan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja. Namun dalam perjalanannya, proses pengesahan diwarnai dengan perdebatan hingga menimbulkan ketegangan, sampai Fraksi Partai Demokrat walk out dari persidangan.
Setelah melalui perdebatan panjang, Azis Syamsudin mempersilahkan Menko Perekonomian Airlangga menyampaikan pandangan sebelum DPR mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Keputusan itupun menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dari Partai Gerindra Hendrik Lewerissa, SH, LLM, mengungkapkan, disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang memang menimbulkan kontroversi karena tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, prinsip utama pemerintah melalui undang-undang ini untuk menolong masyarakat. “Sekarang sudah menjadi undang-undang. Maka jika ada yang melihat substansi dari undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi, maka bisa diuji lewat Mahkamah Konstitusi,” jelas Hendrik dalam webinar yang dilaksanakan oleh PGI, Rabu (7/10).
Lanjut Hendrik, ada 11 kluster dalam undang-undang yang merupakan inisiatif pemerintah ini, salah satunya kluster ketenagakerjaan. Terkait kluster ini, Panja telah melakukan diskusi dengan sejumlah organisasi serikat pekerja, petani, mahasiswa, LSM, dalam rangka menampung aspirasi publik. Tetapi memang tidak semua bisa dilakukan karena suasana pandemi Covid 19. “Akhirnya timbul kontroversi karena banyak reaksi dari serikat kerja karena dianggap pro korporasi, bukan buruh, padahal tidak seperti itu,” tandasnya.
Menjawab pertanyaan peserta menyoal pengesahan UU Cipta Kerja yang terkesan diutamakan daripada sejumlah rancangan undang-undang lainnya, menurut Hendrik tidaklah demikian. Melainkan lebih dilatarbelakangi kondisi ekonomi negara yang sangat mengkhawatirkan. “Maka diperlukan segera instrument atau paket regulasi yang mampu menarik investor untuk mengatasi masalah ekonomi bangsa, seperti yang telah dilakukan oleh sejumlah negara, apalagi kita tidak tahu kapan Covid 19 ini akan berakhir,” tandasnya.
Hendrik menegaskan kepada masyarakat untuk membaca UU Cipta Kerja secara menyeluruh sehingga mendapat pemahaman yang utuh, dan tidak hanya mendengar apa yang muncul di media, agar tidak menimbulkan distorsi, semisal mengenai pesangon, hak buruh, outsourching, cuti, karyawan, wewenang pemerintah daerah, dan sebagainya.
Diakuinya, terbitnya undang-undang terkadang jauh dari harapan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya peran civil society untuk mengawasi pelaksanaannya di tengah masyarakat.
Pewarta: Markus Saragih