Menilik UU Cipta Kerja bagi Kehidupan Bangsa
JAKARTA,PGI.OR.ID-UU Cipta Kerja merupakan terobosan untuk menggerakan ekonomi, termasuk untuk merespons jumlah angkatan kerja yang bertambah. Di dalamnya perizinan usaha ditata kembali dengan menekankan perizinan berbasis resiko, kemudian ada kesesuaian tata ruang, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penataan perizinan berusaha dengan memperhatikan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Hal tersebut ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinvest) Luhut Binsar Panjaitan, dalam Webinar bertajuk Undang-Undang Cipta Kerja: Bagaimana Memahaminya dan Apa Implikasinya bagi Kehidupan Bangsa, yang diinisiasi oleh Gereja Protestan Indonesia (GPI), Rabu (14/10).
Sebelumnya, Luhut mengungkapkan, munculnya UU Cipta Kerja merupakan upaya terobosan dan perbaikan bagi perekonomian Indonesia, mengingat banyaknya peraturan yang tumpang-tindih, praktik kartel dan monopoli di sektor strategis, serta pencegahan korupsi yang belum terlalu berkembang, khususnya di sektor swasta. Dan, masih diwarnai inefisiensi yang tinggi sehingga mengakibatkan terhambatnya aktivitas investasi dan meningkatnya biaya bahan pokok yang pada gilirannya membebani masyarakat. “Undang-undang ini juga mendorong berlangsungnya otonomi kesehatan, hilirisasi sumber daya alam dan mengurangi ketergantungan pada bahan mentah, kemudian mendukung pengembangan koneksi maritim serta penurunan emisi karbon,” katanya.
Dia menambahkan, dari segi ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja membatasi “Perjanjian Kerja Waktu tertentu” hanya bisa diterapkan pada jenis pekerjaan tertentu. Selain itu, dilakukan juga pengaturan kerja outsourching, upah minum, tenaga kerja asing, jaminan pesangon dan kehilangan pekerjaan, serta pengaturan waktu kerja pada jenis pekerjaan tertentu.
Hal yang juga menonjol dalam UU Cipta Kerja, menurutnya, adalah kemudahan yang diberikan kepada sektor Usaha Menengah dan Kecil (UMK). “Di sini pemerintah mempermudah pendaftaran UMK, memberikan insentif dan kemudahan berusaha, membantu pendanaan, memberikan dukungan kemitraan untuk melakukan promosi dan penjualan produk, serta kemudahan dalam membentuk koperasi. Sktor UKM paling diuntungkan dalam UU Cipta Kerja dan sejauh ini sudah ada 11 juta UKM yang diintegrasikan ke dalam sistem online,” ujar Luhut.
Anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR RI, Hendrik Lewerissa, salah satu pembicara dalam webinar ini, mengatakan, RUU Cipta Kerja baru diterima DPR pada Februari 2020 sebagai inisiatif pemerintah. Kemudian, selama 8 bulan RUU tersebut dibahas dalam rapat Badan Legislatif sebanyak 64 kali dan dilakukan secara terbuka, termasuk mengundang berbagai pihak dari 11 cluster yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Diakuinya, dari 11 cluster yang ada, ketenagakerjaan merupakan cluster yang paling banyak mendapat sorotan. Namun UU Cipta Kerja justru memberikan kepastian proteksi kepada para buruh. Semisal dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ada jaminan mengenai tanggung jawab pengusaha dalam jumlah pesangon dan juga tanggung jawab pemerintah dalam Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam bentuk uang tunai, pelatihan kerja dan akses pada informasi kepada pasar. Posisi ini dipandang lebih baik dibandingkan UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengingat undang-undang tersebut seringkali menimbulkan perselisihan yang mengakibatkan ketidakpastian dalam jaminan perlindungan hukum bagi buruh.
Selain itu, Undang-undang ini juga memberi jaminan bagi keteraturan perizinan mengingat ada standar dan prosedur bersama yang ditetapkan pemerintah pusat, kemudian adanya kemudahan usaha di Kawasan ekonomi dan kebijakan afirmatif bagi UKM.
Narasumber lain, Ketua Umum PIKI, Bakti Nendra Prawira, pada kesempatan itu menyoroti jaminan proteksi hak ulayat masyarakat adat, serta nasib para petani, buruh tani dan nelayan yang dikuatirkan terkena dampak aktivitas investasi, dalam UU Cipta Kerja ini.
Sebab itu, menurutnya, terkait proses yang sedang berjalan saat ini terkait UU Cipta Kerja, termasuk penyusunan 39 PP selama 3 bulan ini, diperlukan adanya komunikasi yang baik termasuk kemudahan kepada masyarakat sipil dalam melakukann judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, mewakili Serikat Buruh, Timboel Siregar, mengingatkan pentingnya penegakan hukum yang selama ini menjadi titik lemah, dan UU Cipta Kerja tidak memberi ruang bagi penguatan penegakan hukum. Ke depan, hal ini bisa menjadi persoalan mengingat UU Cipta Kerja memuat banyak relaksasi terhadap dunia usaha. Apabila penegakan hukum lemah maka relaksasi berpotensi menimbulkan kecurangan dan ketidakpastian di lapangan, apalagi bagi para pekerja kontrak dan outsourcing.
“Dalam hubungan kerja, persoalan JKP masih perlu diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP), yakni apakah semua yang di-PHK akan mendapat JKP? Berapa besarannya yang akan diberikan? Apakah seseorang yang di-PHK akan mendapat JKP secara penuh apabila kurang dari 6 bulan dia sudah mendapat pekerjaan? Bagaimana integrasinya dengan kartu pra-kerja? Dan beberapa persoalan lainnya. Demikian juga dengan pasal pengaturan PHK, pada undang-undang sebelumnya, yang dihilangkan dalam UU Cipta Kerja. Pengaturan tersebut memang akan diatur lebih lanjut dalam PP, namun di sini perlu kepastian apakah akan terjadi relaksasi lagi di dalam PP sehingga pengusaha bisa dengan mudah mem-PHK seseorang, tanpa ada serangkaian peringatan dan komunikasi dengan pihak buruh,” jelas Timboel.
Dia juga menyoroti dengan kebijakan upah minimum di mana, dalam pengaturan di PP, bisa saja gubernur memberlakukan upah minimun provinsi ke wilayah kabupaten/kota. Padahal, selama ini upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Sehingga diperlukan ada pengawasan dan komunikasi yang lebih baik antara masyarakat dengan pihak pemerintah saat UU Cipta Kerja diatur lebih lanjut dalam PP.
Pewarta: Markus Saragih