Menilik Hegemoni Politik Identitas dalam Pemilu 2024
JAKARTA,PGI.OR.ID-Peneliti masalah sosial dan politik Made Supriatna mengungkapkan, dalam pemilihan umum, mengeksploitasi politik identitas merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam memobilisasi suara. Dan tidak selamanya politik identitas merupakan satu hal yang buruk.
“Di banyak daerah, sekalipun politisi memainkan kartu identitas, koalisi tetap terbentuk. Jadi memang tidak selamanya politik identitas merupakan satu hal yang buruk. Tidak selamanya menghasilkan kekerasan. Bahkan ia lebih banyak menghasilkan kerjasama, dan kerjasama yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya di Kalbar tahun 2008 koalisi Dayak, Cina, Madura terbentuk,” jelas Made saat diskusi Hegemoni Politik Identitas Dalam Pemilihan Umum 2024, yang dilaksanakan melalui zoom oleh Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) PGI, pada Senin (15/8/2022).
Sebab itu, lanjut Made, siapa pun yang berlaga di 2024, pasti akan mengeksploitasi politik identitas. Meski demikian, perlu kehati-hatian dalam menggunakan politik identitas untuk mencapai kemenangan. Perlu diperhatikan keharusan untuk membentuk koalisi.
Ditambahkan, politik identitas bukan barang baru di negara ini. Dalam realitas politik pendekatan ini termaterialisasi dalam Pemilu 1955, dimana pemilih memilih berdasarkan identitas. “Politik identitas sudah ada sejak kita memikirkan Republik ini. Adalah salah pandangan yang mengatakan politik identitas mulai sejak 2017 pada Pilgub DKI. Ia sudah mulai jauh sebelum itu,” tandasnya.
Sementara itu narasumber lain, Staf Ahli Menkominfo Devi Rahmawati, secara khusus menyoroti berita hoaks di media sosial terutama menjelang Pemilu 2024. Temuan Litbang Kominfo sejak 2018-2022 berita hoaks tertinggi meliputi informasi terkait kesehatan, pemerintahan, politik, dan penipuan.
Menurutnya, jika informasi hoaks secara terus menerus disebarkan maka ada 7 bahaya yang ditimbulkan, seperti adanya ketakutan, kepanikan, kebingungan, mampu menghantarkan orang kepada kematian, kegagalan, kebodohan, dan konflik sosial.
“Nah, terkait konflik sosial. Bayangkan jika para kandidat menggunakan cara-cara politik dengan menyebar berita hoaks, maka konflik sosial bukan lagi halusinasi tapi betul-betul menghampiri kehidupan kita sehari-hari. Masyarakat pun terpecah-belah. Bukan hanya di Indonesia, hampir semua negara terkena pandemi hoaks. Ada upaya adu domba. Contoh black lives matter di Amerika. Sosmed menjadi media baru penyebar hoaks,” jelasnya.
Sebab itu, ujar Devi, Kominfo melakukan upaya dengan merangkul pemuka agama agar umat tidak terbelah akibat berita hoaks yang memainkan politik identitas. Selain itu, pada 2021 telah merangkul 10 juta masyarakat Indonesia untuk ikut program Cakap Digital. Hal serupa juga diharapkan dapat terwujud di 2022. Program ini sesuai arahan Presiden Jokowi agar memastikan masyarakat Indonesia memiliki 4 ketrampilan yang harus dikuasai, agar tidak mudah terbawa arus konten negatif.
“Selain upaya ini, tentu perlu ada pendekatan jangka panjang yaitu edukasi. Sedangkan jangka pendek yaitu penegakan hokum. Harus ada keberanian untuk melapor ke pihak berwenang agar upaya memecah belah bisa diusut cepat dan tuntas,” tandasnya.
Pewarta: Markus Saragih