Mengupayakan Koherensi Diakonia Ekumenis (Catatan Perjalanan ke Kenya)

Oleh: Pdt. Mery Kolimon
Selama satu minggu penuh beta berada di Nairobi, Kenya. 17-24 Februari 2025. Ini kali kedua beta berkunjung ke Afrika. Kunjungan pertama beta pada tahun 2018 saat mengikuti Konferensi Misi dan Penginjilan di Tanzania, Afrika Timur. Afrika selalu menawan. Memiliki banyak keindahan tetapi juga menyimpan ingatan ketidakadilan dan api kegigihan melawan eksploitasi manusia dan alam. Benua yang indah, orang-orang yang berani melawan politik rasisme, para perempuan yang gigih berjuang melawan kekerasan berbasis gender, para teolog yang berpikir merdeka, masyarakat yang merangkul kehitaman sebagai identitas budaya, politik, teologi, dan spiritualitas: black is beautiful, hitam itu indah. Mereka berteologi tentang kehitaman: Black Messiah, Kristus hitam, yang hadir dalam pengalaman perendahan rasial, kejahatan kemanusiaan, menjadi satu dengan mereka dalam kerendahan dan memberi mereka daya iman untuk bangkit dan merebut kembali harkat dan martabat sebagai ciptaan Allah yang mulia.
Pertemuan Komunitas Praktis untuk Agama dan Pembangunan
Kunjungan beta kali ini ke Afrika adalah dalam rangka pertemuan Komunitas Praktis untuk Agama dan Pembangunan (Community of Practice of Religion and Development/CoPRD). Komunitas kecil ini dibentuk bersama oleh Dewan Gereja Sedunia (WCC) dan Act Alliance (ACT). Tujuan umum CoPRD adalah untuk menguatkan dan mendukung pelayanan ACT dan WCC dan anggota-anggotanya, sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan dan rencana strategisnya, dan untuk membangun kapasitas anggotanya. Lembaga ACT adalah persekutuan badan-badan pelayanan gereja-gereja anggota WCC. Kata Act selain berarti bertindak, juga sebenarnya berasal dari singkatan Action of Churches Together (gereja bertindak/melayani bersama). Sebagai salah satu anggota Majelis Pusat (Central Committee) dari WCC dan teolog dari Indonesia, beta diundang untuk ikut dalam rapat komunitas praktis ini. Seluruh biaya kehadiran beta dalam rapat ini ditanggung oleh Gereja Belanda (PKN).
Di kalangan WCC dan ACT, ada pemahaman bahwa badan-badan pelayanan gereja-gereja anggota WCC perlu bekerja sama untuk meningkatkan pengetahuan, berbagi pembelajaran dan praktik-praktik terbaik mereka, dan mengembangkan kompetensi terkait bidang atau tugas mereka, baik di level nasional, regional, maupun internasional. Badan-badan pelayanan yang dibentuk gereja maupun yang muncul sebagai inisiatif individu dan kelompok Kristen lainnya perlu bekerja sama secara lebih kuat dengan gereja-gereja.
Di pertengahan tahun 2010, aktor-aktor utama kerja sama pembangunan di level regional dan internasional menyadari kebutuhan untuk penegasan kembali dan apresiasi baru terhadap peran komunitas-komunitas agama dalam pembangunan. Ini merupakan kelanjutan dari paradigma dominan setelah Perang Dunia Kedua yaitu ‘tesis sekularisasi” dan ‘pendekatan modern’. Jadi, ada pengakuan yang diperbarui bahwa pendekatan pembangunan yang berkelanjutan perlu dikontekstualisasi secara tepat. Dalam hal penting mengakui peran agama untuk membentuk dan memberi arah kepada masyarakat. Jadi tujuan dari CoPRD adalah untuk mengembangkan suatu pemahaman mengenai peran agama dalam pembangunan dan mempromosikan perubahan kebijakan, sarana, dan praktik menuju meningkatnya keterlibatan aktor-aktor komunitas beriman dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Pertemuan kami kali ini dibayangi oleh krisis global yang melanda dunia. Kebijakan Trump, presiden AS yang membatasi dukungan pemerintah AS terhadap pelayanan internasional Amerika sangat terasa dampaknya. Beberapa kawan dari US dan Eropa yang harusnya mengikuti kegiatan ini terhalang datang sebab dukungan dari USAID untuk lembaga mereka ditiadakan. Pertemuan ini menjadi kesempatan berefleksi yang sangat baik mengenai apa, siapa, dan bagaimana tugas gereja-gereja dilakukan dalam masa ini, terutama terkait tugas melayani bersama (diakonia ekumenis).
Dalam pertemuan ini kami berbicara banyak tentang pentingnya upaya dekolonisasi dan lokalisasi dalam pembangunan dan pelayanan gereja. Dekolonisasi di sini berarti dilucutinya cara-cara kolonial dalam relasi antarbangsa dan antargereja. Cara pandang bahwa masyarakat suatu bangsa atau benua tertentu lebih pintar dan lebih berdaya dari yang lain karena kekuasaan ekonomi, politik, dan budaya, sudah harus dibongkar dan diubah ke cara berelasi yang saling mengakui keunikan masing-masing, berbagi daya, membangun agency (daya laku dan daya mampu) bersama, dan bersedia bekerja sama mengatasi kesenjangan ekonomi, politik, dan budaya antarbangsa. Pada saat yang sama upaya lokalisasi, yaitu dorongan dan penghargaan kepada semua orang dan semua komunitas/bangsa untuk upaya-upaya membangun kemandirian, kecerdasan, kreatifitas, kearifan dan percaya diri di konteks masing-masing, perlu terus didorong. Mandiri secara daya, dana, dan teologi, namun sekaligus terhubung. Tak satupun yang dibiarkan tertinggal sendiri di belakang.
Keterpilihan sejumlah pemimpin politik di Amerika dan Eropa dari politik sayap kanan membuat upaya-upaya membangun solidaritas global makin sulit. Kebijakan populis untuk mengutamakan bangsa sendiri dan menolak memikul tanggung jawab bersama untuk keadilan sosial dan keadilan ekologis global akan membawa jurang yang makin dalam antara bangsa-bangsa maju/kaya dan negara-negara miskin. Seruan “Indonesia Gelap” yang digaungkan para mahasiswa di Indonesia dalam demonstrasi mereka sebenarnya mencerminkan situasi global juga: bangsa-bangsa dunia sedang memasuki masa temaram, solidaritas global terancam, apatisme dan nasionalisme sempit mengemuka, kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi makin jauh. Saya menangkap kegelisahan dalam rapat kami terkait perkembangan global terkait kebijakan Trump dan para pemimpin negara lain yang memiliki kebijakan yang sama. Pada saat yang sama ada juga kesadaran bahwa masyarakat di Asia dan Afrika sudah lama memiliki daya tahan/resiliensi yang perlu diperkuat menghadapi turbulensi politik dan ekonomi global sekarang.
Koherensi Ekumenis
Dalam situasi ancaman nasionalisme sempit, meningkatnya ketidakpedulian antarbangsa, dan kebutuhan untuk penguatan daya resiliensi seperti ini, gereja-gereja perlu mencari cara untuk memperkuat solidaritas dan koherensi ekumenis. Iman tentang gereja milik Kristus yang satu dan am/katolik memandatkan solidaritas global antargereja: saling peduli dan saling mendukung. Tripanggilan gereja untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani bersama perlu diperkuat melalui peningkatan koherensi ekumenis gereja-gereja sedunia. Dalam pertemuan ini makin disadari bahwa sebenarnya gereja memiliki visi, teologi, dan struktur yang kaya untuk bergerak bersama melayani secara efektif. Sayangnya koherensi ekumenis antargereja di level nasional, regional, dan global tidak kuat. Masing-masing denominasi gereja bergiat sendiri. Hubungan antargereja tidak tertata kuat, terutama dalam pelayanan diakonia. Belum ada kesadaran dan strategi yang kuat untuk saling menopang secara sungguh-sungguh demi menjadi suatu gerakan diakonia global yang efektif dan berdampak luas. Salah satu rekomendasi pertemuan ini adalah menyiapkan suatu proposal untuk mengingatkan semua kepemimpinan gereja di level lokal, nasional, regional, dan global memperkuat kohenresi diakonia ekumenis.
Koherensi diakonia ekumenis di sini dapat dipahami sebagai kesadaran dan gerakan pelayanan bersama gereja sedunia yang lebih terpadu. Basisnya adalah pemahaman teologis tentang gereja sebagai kesatuan Tubuh Kristus yang melayani bersama. Jadi pemahaman tersebut tidak berhenti pada skala teoritis, tetapi koherensinya mesti ditindaklanjuti sampai pada gerakan melayani bersama. Latar belakang tradisi dan organisasi gereja yang berbeda tidak boleh menjadi penyebab perpisahan justeru sebaliknya menjadi kekayaan pemahaman dan pengalaman untuk saling menopang melayani dunia milik Allah, terutama bersama kelompok-kelompok rentan.
Jika ada masalah perdagangan orang dari Timor Barat yang dieksploitasi di Malaysia, misalnya, suatu koherensi ekumenis yang kuat akan memungkinkan gereja-gereja di NTT terhubung dengan gerakan ekumenis di lingkup nasional dan regional (Asia) untuk penanganan masalah kejahatan global ini. Selama kohenresi diakonia ekumenis tidak kuat, masing-masing gereja berjuang sendiri dan dampaknya terbatas. Penguatan koherensi diakonia ekumenis akan memungkinkan gereja terlibat dalam pembelaan kaum miskin, penegakan keadilan dan transformasi sosial secara lebih kuat.
Menurut saya, gereja-gereja di Indonesia dan di Asia dapat mulai menjadikan agenda koherensi ekumenis dan koherensi diakonia ekumenis ini juga sebagai pokok perhatian, percakapan, dan strategi lebih lanjut. Kita perlu menyiasati agar gerak diakonia gereja-gereja lokal dan badan-badan pelayanan diakonia tiap gereja anggota PGI dapat tersambung secara nasional difasilitasi oleh PGI. Selanjutnya gerakan nasional ini dapat terhubung dengan upaya-upaya yang sama di Asia dalam koordinasi dengan CCA, dan lebih luas lagi secara global dalam koordinasi dengan WCC dan ACT Global.
Seminar tentang Diakonia Ekumenis
Salah satu acara CoPRD di Kenya adalah memperkenalkan dokumen Called to Transformation: Ecumenical Diakonia (ED) dalam satu seminar dengan pimpinan gereja anggota NCCK (Dewan Gereja Nasional Kenya) dan anggota ACT di Kenya. Beta sudah memakai bahan ED sejak beberapa tahun terakhir dalam mengajar di Program Pascasarjana Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (PPsT UKAW) Kupang. Dokumen penting yang dapat diunduh gratis di website WCC ini telah disahkan oleh Dewan Gereja Sedunia pada Sidang Raya 2022 di Karlsruhe, Jerman. Beta mendapat kesempatan untuk memperkenalkan dokumen penting ini dari perspektif gereja-gereja di Indonesia. Beta juga membagikan catatan pertemuan antara pimpinan gereja dan anggota ACT Indonesia dan Filipina yang berdiskusi tentang ED dalam pertemuan di Tagaytai, Filipina, pada September 2024 yang lalu, kepada gereja-gereja di Kenya.
Diakonia ekumenis terutama berarti gereja-gereja sedunia melayani bersama untuk transformasi dan pemberdayaan. Diakonia adalah bagian integral dari siapa itu gereja dan apa yang menjadi tugasnya. Seperti Kristus yang datang ke dunia, berinkarnasi dalam realitas kehidupan manusia, berkeliling mengabarkan kabar baik, menyembuhkan orang sakit dan mengusir kuasa jahat (Matius 4:23), gereja terpanggil untuk melayani dalam arti demikian. Diakonia bukan hanya tentang membagi bantuan sewaktu-waktu kepada orang sakit dan korban bencana alam, tetapi terutama berarti melawan kejahatan dan membela mereka yang menjadi terpinggirkan dan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Dokumen ED ini menggeser pemahaman dan kesadaran tentang diakonia sebagai bantuan kepada pemahaman ED sebagai pelayanan keadilan yang tertuju kepada perubahan sistem yang dibutuhkan.
Penting juga diperhatikan bahwa dalam pemahaman terbaru mengenai diakonia, gereja-gereja anggota WCC melalui ED mengafirmasi hikmat dan kekuatan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Sebagai ganti pelayanan diakonia untuk mereka atau bahkan dengan mereka, dokumen ini menegaskan bahwa “diakonia mesti menciptakan ruang untuk aksi, yang memungkinkan mereka yang berada di pinggiran tidak saja menjadi menjadi subyek, melainkan juga menjadi tokoh utama (protagonist) dalam perjuangan demi masa depan yang lebih baik bagi semua”.
Kuliah Umum di St. Paul University Nairobi tentang Diakonia Profetis
Pada Senin, 24 Maret beta mendapat kesempatan untuk memberikan kuliah umum di St. Paul University di Lumuru, Kenya. Kampus ini berada sekitar 45 menit dari Kota Nairobi, di daerah pegunungan yang indah. Daerah ini terkenal karena perkebunan teh yang luas. Suhu di sana umumnya lebih sejuk dibanding di Kota Nairobi. Namun saat kami ke sana, udara cukup panas. Banyak kawan di sana mengatakan itu adalah akibat dari pemanasan global.
Beta pakai kesempatan mengajar untuk sekali lagi memperkenalkan dokumen ED kepada para mahasiswa S1 dan S2 dan para dosen teologi di sana, sekaligus mengembangkan pemikiran mengenai diakonia profetis berdasarkan pelayanan GMIT terkait isu perdagangan orang dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Beta bicara sampaikan bahwa umumnya di Indonesia ketika berbicara mengenai diakonia, orang bicara tentang 3 kategori: karitatif, reformatif, dan transformatif. Kategorisasi seperti itu menolong untuk membedakan pelayanan jangka pendek, pemberdayaan, dan pembebasan. Namun jika dilihat dari lensa dokumen ED, pemahaman diakonia tradisional dengan tiga kategori itu masih terbatas pada pelayanan kasih dalam gereja saja dan belum cukup kuat merangkul aspek keadilan dan transformasi di ruang publik.
Beta menunjukkan bahwa dokumen ED membantu gereja-gereja sedunia merangkul advokasi sebagai bagian integral dari pelayanan diakonia. Sejauh yang beta amati, banyak gereja di dunia, termasuk di Indonesia, belum melihat tugas advokasi sebagai tugas gereja. Dokumen ED membantu membangun kesadaran bahwa diakonia transformatif atau profetis secara kuat merangkul aspek advokasi sebagai bagian integral dari pelayanan diakonia. Sebagaimana ditekankan oleh dokumen ED:
“Advokasi merupakan bagian integral dari pekerjaan diakonia. . . Identitas unik dari diakonia, akar Alkitabiahnya dan panggilan Kristiani, menuntut diakonia ekumenis untuk bersifat profetik, membela kaum miskin dan terpinggirkan, mengungkap ketidakadilan sistemis dan memajukan martabat manusia, keadilan dan perdamaian… Advokasi melibatkan mereka yang dibungkam untuk bersuara dalam upaya mereka untuk memperbaiki ketidakadilan. Hal ini menuntut keterlibatan kita dalam isu-isu dan inisiatif mereka yang memperjuangkan kehidupan, keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia dan perdamaian. Advokasi adalah misi gereja di dunia. Ini adalah salah satu cara gereja berpartisipasi dalam Missio Dei yang berkelanjutan.”
Dalam hal ini, diakonia diharapkan untuk bersifat politis dan profetis. Diakonia bersifat politis dalam arti bahwa diakonia mengakui konteks politik di mana diakonia tertanam dan mengembangkan bentuk-bentuk tindakan yang mengecam ketidakadilan dan mendukung proses menuju masyarakat yang lebih adil. Diakonia juga bersifat kenabian/profetis artinya diakonia diilhami oleh teladan para nabi Perjanjian Lama dan Yesus Kristus, yang membela martabat dan hak-hak orang-orang yang terpinggirkan dan mengumumkan nilai-nilai pemerintahan Allah, di antaranya adalah keadilan dan perdamaian.
Berdasarkan pengalaman dan refleksi pendampingan para korban-penyintas kekerasan politik anti-komunis 1965 di Indonesia, beta membagikan pemikiran mengenai unsur-unsur diakonia profetis seperti mendengarkan dan menciptakan ruang untuk mendengar suara para korban-penyintas; menyentuh, membuka dan mengakui luka trauma kolektif masa lalu; menyebut dan mengakui kejahatan yang telah terjadi; meratapi kekerasan masa lalu; merayakan daya tahan para korban-penyintas; mengembangkan kemampuan bilingual, yaitu berdialog dengan pihak-pihak non-Kristen di ruang publik; dan merawat luka, yaitu mengupayakan perdamaian pihak-pihak yang berkonflik di masa lalu, termasuk melalui memorialisasi tempat kekerasan sebagai ingatan dan pembelajaran agar hal yang sama tak lagi terulang di masa depan. Beberapa artikel beta sebelumnya membahas mengenai hal-hal ini.
Beta senang dengan tanggapan yang sangat positif dari para mahasiswa dan dosen di sana yang hadir, baik secara tatap muka maupun secara online. Panitia meminta soerang dosen muda dan seorang mahasiswa Pascasarjana menyiapkan tanggapan mereka. Lalu ada diskusi forum. Beta lebih senang lagi karena beberapa mahasiswa kami dari PPs UKAW Kupang bisa hadir secara online bahkan memberikan tanggapan mereka walaupun bahasa Inggris terbata-bata. Pdt. Debby Sioh dari Kupang bertanya mengenai bagaimana caranya agar gereja-gereja di Afrika dan di Indonesia dapat bekerja sama untuk diakonia profetis. Chat-room memungkinkan mahasiswa di Indonesia mengetik pertanyaan mereka sehingga lebih dapat dimengerti. J Sungguh beta senang dengan proses lintas negara dan benua ini.
Spirit Afrika: Energi Kegigihan
Beta selalu senang bisa berkunjung ke Afrika. Di akhir pekan kami memanfaatkan waktu beberapa jam mengunjungi beberapa program diakonia dari NCCK. Beta belajar dari pengembangan pelayanan rumah sakit di daerah kumuh untuk membantu kaum miskin di wilayah itu memperoleh akses pada pelayanan kesehatan. Selain itu kami juga mendapat waktu menikmati pemandangan negara itu. Kami mengunjungi salah satu taman nasional di dekat Nairobi yang disediakan untuk menjaga kelestarian jerapah. Dengan dukungan mitra-mitra internasional, taman nasional itu ditata dengan sangat baik untuk kelestarian tiga jenis jerapah di negara itu. Kami juga berjalan di hutan yang disediakan bagi pejalan kaki di daerah itu.
Beta juga selalu terinspirasi oleh para perempuan dan laki-laki teolog feminis Afrika. Berhadapan dengan kentalnya budaya patriarki yang membatasi peran perempuan di ruang publik dan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, para teolog Afrika mengembangkan pemikiran teologi dan aksi untuk mencegah dan menangani kekerasan. Organisasi para teolog feminis lintas negara di Afrika yang disebut Circle of Concern African Woman Theologians (Lingkaran Keprihatian Teolog-teolog Perempuan Afrika) dimaksudkan untuk menjadi platform kerja sama pemikiran para teolog feminis (perempuan dan laki-laki) lintas bangsa, lintas denominasi dan tradisi gereja, serta lintas generasi. Organisasi ini selalu menonjol dalam pemikiran kreatifnya memahami berita Injil untuk pembebasan dan transformasi. Mereka berkonsentrasi pada penelitian, publikasi, dan interaksi dengan masyarakat terkait isu-isu agama dan teologi. Dengan cara itu mereka bermaksud memberdayakan perempuan Afrika agar berkontribusi dalam pemikiran kritis dan analitis. Di setiap pertemuan ekumenis global, beta selalu terkesima dengan ketajaman analisa dan kekuatan refleksi para anggota Circle ini.
Beta makin menyadari pentingnya gereja-gereja sedunia berziarah bersama ke masa depan dengan keberanian iman, kejernihan kesaksian, ketajaman batin, kewarasan akal, dan kekuatan persaudaraan lintas benua. Semoga di masa depan makin terbuka kesempatan kerja sama Asia-Afrika seperti yang dirintis Presiden Soekarno bersama para pemimpin Asia-Afrika di masa lalu untuk membangun peradaban dunia yang lebih saling peduli.
Beta dan kawan-kawan peserta rapat juga bersyukur pertemuan CoPRD berlangsung di Afrika, tempat di mana dekolonisasi diperjuangkan dan upaya-upaya kreatif lokalisasi diakonia profetis dilakukan dengan gigih. Tempat pertemuan kelompok CoPRD adalah di kantor Dewan Gereja Afrika (All Africa Conference of Churches). Dewan Gereja ini memiliki lebih dari 200 gereja anggota di seluruh benua tersebut. Ketika berkunjung ke Afrika beta selalu merasakan energi Afrika yang berjuang melawan ketidakadilan rasial dan sikap kritis terhadap sistem yang menindas dan korup. Beta pulang ke Timor dengan hadiah ini: Pemikiran yang luas dan dalam, tajam dan menantang, mengguncang dan membalut, memberi arah untuk perjalanan ke depan.
Penerbangan Doha-Jakarta, Jakarta Kupang, 26-27 Februari 2025
Penulis, Ketua PGI