Memperingati HPI. Jadikan Perempuan Gereja sebagai Agen Perobahan
JAKARTA,PGI.OR.ID-Mengusung tema Percepatan Kesetaran Gender dengan Mendukung Pelayanan Perempuan di Komunitas Gereja, Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI bersama Kompera PGIW DKI Jakarta menggelar Talkshow dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) yang dilaksanakan setiap 8 Maret, di GGP Ecclesia Christi, Jakarta, pada Kamis (2/4/2024).
Talkshow yang berlangsung secara hybrid ini, diikuti sekitar 100 peserta yang mewakili Komisi Perempuan Gereja di sekitat Jabodetabek, dan Bandung. Melalui kegiatan ini diharapkan muncul Komitmen gereja untuk melakukan advokasi terhadap kasus-kasus kekerasan di komunitas gereja, memahami hak-hak perempuan dan kemajuan perjuangan perempuan di Indonesia dan dunia.
Pada kesempatan itu, Pdt. Darwita Purba dari PERUATI, melihat bahwa realitas di lokal terhadap perempuan memang masih kurang mendapat tempat di tengah masyarakat, juga gereja, dikarenakan adanya budaya patriarki yang begitu kental di beberapa daerah. Hal ini menyebabkan kebersetaraan dan berkeadilan belum menyentuh kaum perempuan.
Menurutnya, persoalan ketidakadilan gender dari perspektif teologi, dalam Alkitab tertulis bagaimana perempuan mengalami ketidakadilan, seperti dalam tulisan Paulus. Namun banyak juga tokoh perempuan dalam Alkitab, seperti Ester. Sebab itu, menjadi tugas gereja untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks Alkitab dan budaya kita.
“Tugas gereja melaukan pembacaan ulang terhadap teks Alkitab dan budaya kita. Contoh di masyarakat Batak ada istilah parsonduk bolon. Artinya yang menekankan perempuan di ruang domestik saja. Tapi mari kita lakukan dekonstruksi teks Alkitab dan budaya sehingga dapat membedakan cara berpikir kita untuk melihat siapa kita sebagai perempuan,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Kabiro BPA PGI Pdt. Sonnya Uniplaita. Menurutnya di gereja dan sinode juga banyak tokoh perempuan. Sebab itu yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana peluang dan memperkuat kapasitas. Namun untuk mendahuluinya, yang perlu dilakukan dalam memperkuat organisasi yaitu identifikasi masalah di sekitar, setelah itu baru bicara visi dan misi.
Lanjut Sonya, hal lain yang mendesak yang untuk dilakukan yaitu pemberdayaan ekonomi. “Ini sudah dilakukan oleh BPA PGI lewat program di Bopendigul, Papua. Salah satu tradisi masyarakat Papua yang menjadi warisan dunia adalah membuat noken. Pembentukan kelompok untuk memantapkan skill menganyam. Kita masuk dari pemberdayaan ekonomi, dan sekarang dalam tahap pengembangan dalam produk lainnya. Jadi ada banyak peluang tapi diawali identifikasi persoalan, bisa dilakukan oleh komisi perempuan gereja,” jelasnya.
Dengan demikian, Gereja tidak hanya bicara firman Tuhan, tapi bagaimana hidup di tengah masyarakat, bagaimana mengupayakan perempuan gereja sebagai agen perobahan, minimal di lingkungannya sendiri.
Sementara itu, pendiri Sa Perempuan Papua, Faransina Olivia Rumere, melihat bagaimana pemanfaatan media sosial tidak hanya sebagai ruang aman virtual untuk mendiskusikan berbagai hal termasuk yang merugikan perempuan, tetapi juga sarana untuk memperkuat kapasitas. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya kolaborasi dengan kaum perempuan generasi Z, yang piawai dalam menggunakan platform digital sekarang ini.
Hal tersebut juga diamini Pdt. Darwin Darmawan. Jika ini dilakukan (kolaborasi dengan generasi Z), dia optimis kerinduan akan kesetaraan gender dan perhatian terhadap perempuan akan terwujud. “Jadi ada orang muda yang punya concern serius terhadap perempuan dan menggunakan platform digital sebagai sarana kolaborasi, hal ini dapat mendorong dan mengajak jemaat untuk membuka terobosan kreatif bagi perempuan,” tandasnya.
Diakuinya, hingga saat ini perempuan kurang diberi tempat dalam kehidupan gereja. Andaipun dibutuhkan, mereka (Perempuan, red) hanya diberikan tempat yang kurang strategis, begitu pula dalam setiap kegiatan. “Ini memang pergumulan gereja hingga saat ini. Padahal Perempuan telah berbuat pbanyak dalam kehidupan gereja sayangnya kurang diberi tempat. Kehadiran perempuan membuat hidup ini lebih bermakna,” pungkas Pdt. Darwin Darmawan.
Pewarta: Markus Saragih