Masih Ada Tuntutan dan Harapan Mengakhiri Pendemi HIV
Oleh Pdt. Jimmy Sormin
Di tengah perjuangan mengakhiri pandemi HIV di seluruh dunia, di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, masih mengalami tingginya transmisi virus ini. Sulitnya pengendalian serta pengakhiran penularan HIV, salah satunya disebabkan masih kentalnya stigma dan diskriminasi terhadap Sesama Manusia Terinfeksi HIV dan AIDS (SEMATHA), serta kebijakan yang belum inklusi dan berkeadilan.
Sekalipun HIV dan AIDS telah dianggap kurang popular dan mendesak untuk direspons oleh beragam pihak, bukan berarti realitas akan tingginya jumlah SEMATHA dapat berakhir dengan sendirinya. Semakin menurunnya kepedulian terhadap persoalan ini justru dapat berakibat pada transmisi yang semakin meningkat. Itu terbukti pada beberapa daerah ditemukan penambahan angka transmisi dimaksud.
Secara sadar atau tidak sadar, pada akar rumput, khususnya komunitas umat beragama sendiri berkontribusi terhadap panjangnya persoalan ini. Berawal dari penafsiran dan pendistribusian informasi kepada masyarakat luas tentang penularan virus HIV yang disebabkan oleh moralitas atau perilaku yang bertentang dengan ajaran agama. Dengan memandang rendah serta mengeksklusi para SEMATHA telah menjauhkan kita dari realitas sesungguhnya serta solusi yang seharusnya dapat diupayakan bersama.
Dalam konferensi yang bertajuk Action Together in Combating HIV and AIDS in Asia (ATCHAA) di Bangkok, Thailand, pada 5-7 April 2024, Christian Conference of Asia (CCA) mengundang lebih dari 50 para pelayan gereja dan aktivis terkait isu HIV dan AIDS. Forum ini menjadi wadah bagi CCA dan para peserta konferensi untuk menggumuli dan saling berbagi informasi maupun ilmu dan pengalaman terkait HIV dan AIDS.
Di antara para peserta konferensi, hadir 8 orang dari Indonesia yang mewakili PGI dan beberapa gereja/lembaga, antara lain saya (Pdt. Jimmy Sormin – Sekretaris Eksekutif Bidang KKC-PGI), Nadia Teresa Manurung (perwakilan HKBP AIDS Ministry), Pdt. Hinna K. M. A. Praing (perwakilan Gereja Kristen Sumba), Pdt. Jeny Elna Mahupale (perwakilan Gereja Protestan Maluku), Meta Osemargaretha Ginting (perwakilan Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum), Pdt. Linda Patricia Ratag (perwakilan Gereja Masehi Injili Minahasa/UKIT), Arisdo Gonzales (perwakilan Yayasan Pesona Bumi Pasundan), dan Timotius Hadi (perwakilan Jaringan Indonesia Positif).
Pada kesempatan ini, saya didaulat menjadi pembicara pada Refleksi Alkitab-Teologis yang bertema “Menuju Iklusi SEMATHA.” Dengan memilih nats dari Galatia 4:12-14, Pdt. Jimmy menekankan cara memandang dan memperlakukan sesama manusia, sebagai para pengikut Kristus. Paulus sendiri yang sepatutnya menjadi beban bagi jemaat Galatia, karena sakit dan dipersekusi saat itu– ternyata tetap dipandang seperti malaikat, bahkan seperti Yesus Kristus sendiri.
Di momen ini, saya menegaskan, bahwa Tuhan bersama setiap orang, dan itu hanya bisa kita lihat ketika Tuhan sendiri hadir dan bekerja dalam diri kita; Ia mentransformasi cinta-kasih dalam diri kita. Dengan demikian kita dapat mengasihi orang lain tanpa syarat, sebagaimana mengasihi Kristus, serta berinteraksi sebagai sesama gambaran Allah sendiri. Karenanya dibutuhkan relasi yang intim dengan Tuhan. Bentuk perlakuan dan kasih kita terhadap SEMATHA dapat menjadi indikator kualitas relasi tersebut.
Dalam konferensi ini Diakones Nadia Manurung, mengungkapkan bahwa komunitas sangat berpengaruh dalam pencapaian pencapaian ‘Ending AIDS 2030,’ yakni nol infeksi HIV baru, nol kematian karena AIDS, nol stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV (ODHIV). Jika stigma dan diskriminasi masih tinggi di tengah-tengah masyarakat, maka angka infeksi HIV baru akan terus meningkat dan juga kematian karena AIDS. Tentunya dalam hal ini dibutuhkan kerja sama yang serius dan berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas.
Nadia juga berharap agar CCA mendorong semua gereja anggotanya untuk memiliki layanan HIV dan AIDS, demikian juga kepada PGI terhadap gereja-gereja anggotanya. Gereja dari dapat berpartisipasi mulai dari pewajiban setiap calon pengantin untuk menerima konseling dan tes HIV sebelum menikah dalam rangka mengurangi infeksi HIV baru.
Merefleksikan pengalamannya secara teologis dan praktis, Arisdo Gonzalez mengatakan “Sama seperti Yesus menyentuh orang kusta dan Lady Diana menyentuh orang dengan HIV, kita dapat melakukan tindakan yang sama untuk merengkuh mereka yang terpinggirkan. Ia berharap gereja dan organisasi keagamaan dapat membuka kacamata baru dalam merengkuh sesama manusia, khususnya orang dengan HIV.
Sementara itu, Pdt. Linda Patricia Ratag mengatakan bahwa, “Kita harus belajar dari Yesus yang tidak hanya memberi pengajaran tetapi juga mendemostrasikan kasih-Nya kepada mereka yang membutuhkan. Demikian pula gereja perlu berpartisipasi dalam tindakan atau aksi kemanusiaan, termasuk bagi mereka yang rentan terhadap HIV.”
Bagi Meta Ginting pembelajaran paling penting dari konferensi ini bahwa, meskipun banyak tantangan gereja perlu mewujudkan kasih dalam bentuk pelayanan yang inklusif dan melibatkan setiap individu apapun latarbelakang serta kondisi hidupnya. Ia berharap akan ada jaringan yang terintegrasi antara gereja dan komunitas dalam urusan pengendalian HIV dan pemberdayaan SEMATHA.
Senada dengan itu, Pdt. Jeny Mahupale mengungkapkan, “selalu ada harapan bahwa dalam berbagai isu kemanusiaan kita tidak bekerja sendiri. Di semua tempat, di manapun dan menuju masa depan selalu ada kita bersama teman-teman kita yang bekerja bersama dan terus berjuang.” Pdt. Jeny berharap semua pihak, baik Gereja, LSM, masyarakat, beserta seluruh stakeholders dapat bekerja secara inklusif dengan prinsip saling menghargai dan menghormati dan memberi rasa cinta kasih, aman, damai dan sukacita.
Konferensi yang berlangsung 3 hari ini memberi kesan tersendiri bagi Pdt. Hinna Praing. Baginya, perjumpaan eikumenis ini merupakan kesempatan untuk mendengar dan untuk didengarkan, berbagi pengalaman menarik tentang panggilan gereja dan komunitas untuk hadir dan bergumul bersama dengan sesama yang menderita dan terpinggirkan, bahkan terbuang.
Karenanya sangat penting bagi kita untuk membangun ruang inklusif yang dipenuhi cinta kasih di dalam gereja bagi semua orang. Pdt. Hinna berharap gereja dan komunitas dapat bersinergi untuk membangun kesadaran dan kepedulian bagi SEMATHA, dan aktif terlibat dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV.
Timotius Hadi juga mendapatkan pembelajaran, konferensi ini turut menceritakan dan membagikan Kasih untuk mereka yang rentan. Membuka pintu bagi mereka yang memerlukan kasih Tuhan. Ia berharap gereja dan tokoh agama dapat menerima kaum rentan terhadap HIV, sehingga kasih Tuhan menyembuhkan mereka yang terluka.
Sejumlah afirmasi dan rekomendasi konferensi ini disampaikan oleh para peserta di akhir kegiatan. Salah satu poinnya, para peserta menegaskan pentingnya pertemuan-pertemuan ekumenis yang berkelanjutan dalam menggumuli bersama realitas HIV dan AIDS, agar saling memperkaya pengetahuan masing-masing secara lintas negara. Kolaborasi yang serius dan berkelanjutan antara negara, gereja dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam menghadapi HIV dan AIDS adalah kebutuhan yang krusial.(*)