Lokakarya Beriman di Ruang Publik: Memetakan Tantangan Gereja di Era Digital Pasca Pandemi
BANDUNG,PGI.OR.ID-Merespon tantangan gereja serta memahami pelayanannya di era digital pasca pandemi, kemitraan emansipatoris Protestantse Kerk in Nederland (PKN) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menggelar Lokakarya Beriman di Ruang Publik, dengan tema Tantangan Pengelolaan Persekutuan Gereja di Era Digital, di Bandung, Jawa Barat.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari (12-14/7/2022) dilaksanakan secara hybrid (online dan onsite), dan diikuti generasi muda utusan dari GPID, Gereja Toraja, GPIBT, GPIG, GKI, GKJW, GPIB, GKJ, GKJTU, GKP, GPI, PGI, GKSBS, GKPB, HKBP, Sinode Am Sulutteng, GMIH, GKI Sumut, dan BNKP.
Membuka lokakarya, Praeses HKBP Distrik XVIII Jabartengdiy Pdt. Pahala Sitorus, STh, mewakili tuan rumah, dalam sambutannya mengungkapkan, perubahan terus terjadi sehingga kegiatan ini menjadi penting, sehingga diharapkan melaluinya dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dan bermanfaat bagi semua gereja.
“Saya juga berharap sekembalinya dari kegiatan ini peserta dapat berbagi ilmu tidak hanya kepada gereja pengutus, tetapi juga masyarakat yang membutuhkan bantuan, dan sapaan gereja sebagai wujud kehadirannya di tengah kegamangan akibat dinamika perubahan yang terjadi,” ujar Pdt. Pahala Sitorus, pada Selasa (12/7/2022).
Sedangkan Moderator Steering Committee (SC) Kemitraan Emansipatoris PKN-PGI Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, M.Th.,MA berharap, melalui kegiatan ini peserta semakin menghayati, dan memperkaya pengetahuan, terkait mengelola persekutuan gereja di era digital, yang semakin diperkuat di masa pandemi.
Hari pertama lokakarya, Pdt. DR. Enig S. Aritonang dalam paparan materinya bertajuk Spiritualitas Pemuda dan Digital Era, mengungkapkan, era digital telah memberikan warna baru bagi pelayanan bergereja. Digitalisasi dan virtualisasi menjadi suatu suatu yang tak terhindarkan. Secara langsung dan tidak langsung, ia telah mempengaruhi warna spiritualitas warga, secara khusus bagi pemuda gereja yang sangat aktif di ruang digital dan online.
“Dengan melihat kekuatan dan kelemahan yang ditawarkan oleh digitalisasi tersebut, pemuda gereja harus tetap memegang teguh spiritualitasnya hanya kepada Tuhan Yesus semata atau teosentris, bukan menjadi digital sentris atau manusia sentris, apalagi kepada diri sendiri,” jelas Kepala Biro Pembinaan HKBP ini.
Menurutnya, persekutuan maya yang efektif dan efisien harus disyukuri sebagai anugerah Tuhan, namun, persekutuan aktual adalah kebutuhan dasar sebagai ruang untuk merekatkan relasi dan saling berbagi yang lebih dalam. Di sana tumbuh solidaritas mendalam yang sadar konteks. Selanjutnya, sambil mensyukuri ruang virtual sebagai sarana misi efektif dan masif berbagi kebenaran. Juga mewaspadai jatuh pada penyesatan di era digital dan post truth.
Gereja konvensional, lanjut Pdt. Enig, masih suatu yang sangat dibutuhkan untuk membentuk spiritualitas dan persekutuan yang mendalam. Melalui gereja konvensional, dampak oppressor yang ditimbulkan oleh teknologi digital bisa dihindari, terlebih saat ini, mayoritas jemaat masih terbatas dalam ekonomi dan teknologi. “Jadi gereja virtual bukanlah baik seutuhnya bagi semua. Kita membutuhkan gereja konvensional sebagai basis perwujudan spiritualitas,” tandasnya.
Sementara itu, narasumber lain, Pdt. Binsar Jonathan Pakpahan yang menyoroti Persekutuan Gereja di Masa dan Pasca Pandemi: Tinjauan Teologis, melihat, mayoritas pelayanan ibadah secara online gereja-gereja tradisional di Jakarta adalah dengan melaksanakan ibadah dari lokasi familiar yang sudah dikenal oleh jemaat (dari mimbar dan altar gereja) dan menyiarkannya pada waktu tertentu di media digital. Ibadah tersebut tidak hilang setelah jam berakhir dan masih bisa dilihat/disaksikan oleh yang lain setelah jam peribadahan di gereja berakhir.
Selain itu, tata ibadah dan khotbah juga tidak berubah drastis, karena jemaat yang dating ke ibadah online gereja tersebut adalah mereka yang juga sudah mengenal gereja tersebut. Gereja-gereja tradisional di Jakarta juga akhirnya memilih untuk menyiarkan ibadah mereka dengan media Youtube secara livestreaming, meski ada beberapa yang tetap menggunakan platform digital Zoom.
Dia menyimpulkan, yang membedakan persekutuan baik di ruang fisik maupun digital adalah tanda baptisan kepada Kristus sebagai kepala gereja, dengan landasan pengakuan iman yang sama, keterlibatan dalam pemberitaan Firman, pelaksanaan sakramen, kesaksian, dan pelayanan pastoral terstruktur, serta ikatan dan partisipasi antaranggota (budaya, bahasa, dan sejarah).
Dalam pelayanan digital terutama ibadah secara online, faktor partisipasi aktif dalam pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen menjadi pembeda apakah ibadah menjadi sekadar tontonan atau sebuah perayaan liturgis yang sesungguhnya. Gereja-gereja tradisional di Indonesia, terutama yang di Jakarta, memilih menyiarkan ibadah mereka dari ruang gereja secara online sehingga persekutuan di ruang digital adalah penguatan terhadap perasaan persekutuan tersebut, namun bukan pengganti.
“Tiga komponen partisipasi aktif dalam ibadah “dalam,” “bersama,” dan “dengan cara”memberi indikator bagi gereja untuk tetap menyiapkan ibadah secara online yang menguatkan persekutuan,” jelasnya.
Diakhir sesi, peserta melakukan diskusi kelompok untuk sharing pengalaman dalam 3 aspek pelayanan gereja yakni Koinonia, Marturia, dan Diakonia, dikaitkan dengan sebelum, selama dan pasca pandemi.
Dari diskusi kelompok tersebut mencuat bagaimana peran pemuda di ketiga aspek (Koinonia, Marturia, dan Diakonia) sebelum pandemi sangat banyak, namun semakin menurun saat pandemi. Meski demikian, peran pemuda dirasakan makin tinggi terkhusus dalam pemanfaatan teknologi digital dalam ibadah, juga partisipasinya dalam membantu mereka yang terdampak covid.
Pasca pandemi, mereka (pemuda, red), berharap agar peran dan partisipasinya untuk tetap setia melayani jemaat di era digital ini.
Pewarta: Markus Saragih