Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian: Kita Butuh Undang-undang yang Berpihak kepada Masyarakat dan Lingkungan
TORAJA,PGI.OR.ID-Problem utama lingkungan dan sumber daya alam saat ini jika ditarik keakarnya, yaitu belum adanya peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada masyarakat, dan lingkungan hidup. Hal ini terjadi sejak zaman kolonial yang sifatnya mengambil sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi, dan terus berlanjut saat Indonesia merdeka hingga sekarang. Sebab itu kita butuh undang-undang yang berpihak kepada masyarakat dan lingkungan.
Hal tersebut ditegaskan Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian dalam studi tematik (Ma’ kombongan) bertajuk Krisis Ekologi yang Berkelanjutan. Menakar Upaya Penyelamatan dan Membangun Harapan, di Sidang Raya ke XVIII PGI, Senin (11/11/2024).
Periode 10 tahun terakhir, lanjut sosok yang juga aktivis lingkungan hidup ini, kebijakan pemerintah masih banyak yang belum selaras dengan HAM dan lingkungan hidup, akibatnya masih kerap terjadi penggusuran lahan dan lainnya, termasuk deforestasi atau penggundulan hutan).
“Kebijakan kita belum berobah, belum memberi jawaban pemerintah akan komitmennya Perjanjian Paris. Ini salah satu yang belum harmonis antara komitmen dengan kebijakan yang kita miliki. Sebab itu mitigasi kita terhadap lingkungan hidup dan HAM perlu diperbaiki, termasuk agenda pembangunan, karena kita masih meneruskan bisnis seperti biasa. Perlu kita khawatir akan kebijakan lingkungan hidup kita dalam jangka panjang,” tandasnya.
Selain negara, lanjut Saurlin, ada entitas lain yang mesti diminta pertanggungjawabnya terhadap lingkungan hidup dan HAM, yaitu korporasi. Seperti di Eropa yang telah memiliki 2 peraturan yang ada, yang isinya meminta pertanggungjawaban korporasi jika usahanya berdampak terhadap kerusakan lingkungan, termasuk pemulihan atas apa yang terjadi.
“Dua regulasi itu dianggap sebagai hal positif oleh dunia, karena Eropa memberi contoh dimana perusahaan bisa diminta tanggungjawabnya jika terbukti apa yang dilakukan mengakibatkan perusakan lingkungan, termasuk pemulihan. Di Indonesia mestinya seperti ini juga, terhadap lingkungan tapi juga kepada masyarakat adat yang terdampak, yang terusir,” ungkapnya.
Terkait masyarakat adat, dia pun melihat dalam 10 tahun terakhir telah ada pengakuan terhadap masyarakat adat. Hal ini ditandai dengan adanya ratusan peraturan daerah dan keputusan menteri yang mengakui masyarakat adat dan hutan. Namun, tetap masih dibutuh ada undang-undang yang disahkan untuk menjadi payung hukum agar bagaimana masyarakat adat dan lingkungan bisa terlindungi.
Dalam upaya mewujudkan semua itu, Saurlin melihat PGI memegang peran sangat penting. Sebab lembaga yang kini menaungi 104 sinode gereja ini, memiliki jangkauan wilayah yang sangat luas, melebih NU dan Muhammadiyah.
“Ini menjadi penanda bahwa PGI bisa bicara lebih besar lagi dan melakukan hal serius untuk lingkungan. Saya amati PGI sudah lakukan satu dan lain hal lewat programnya tapi perlu diintensifkan akan penyadaran terhadap lingkungan juga integrasi iman dan lingkungan serta praktek berkelanjutan. PGI juga perlu PGI mengusulkan kebijakan yang pro lingkungan hidup di Indonesia,” ujar Saurlin.
Dia pun berharap Sidang Raya ke XVIII PGI dapat menelorkan poin pemikiran terhadap lingkungan, deforesasi, tambang, kriminalisasi terhadap aktivis pejuang lingkungan, serta mendorong pemerintah untuk segera sahkan RUU Masyarakat Adat.
Studi tematik yang menghadirkan juga narasumber pejuang lingkungan dari Gereja Toraja Pdt. Rasely Sinampe, MTh ini, mendapat respon luar biasa dari peserta. Hal ini ditandai dengan banyaknya pertanyaan serta masukan yang dilontarkan.
Pewarta: Markus Saragih