Ketika Hidup Berdampingan dengan Covid-19
JAKARTA,PGI.OR.ID-Hingga kini kasus Covid-19 belum menunjukkan angka penurunan yang signifikan. Malah sebaliknya, terjadi peningkatan. Sementara itu, akibat adanya pelonggaran PSBB, masyarakat terlanjur beraktifitas, bahkan jemaat mulai beribadah di gereja. Masyarakat pun seolah-olah mulai hidup berdampingan dengan Covid-19.
Persoalan tersebut, menjadi pokok bahasan dalam diskusi virtual bertajuk Hidup Berdampingan dengan Covid-19 (?) yang dilaksanakan oleh PGI, Kamis (30/7). Diskusi menghadirkan nara sumber Stafsus Menteri Kesehatan RI dr. Alexander Ginting, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, dan praktisi nutrisi dr Genti Nanere.
Pada kesempatan itu, dr. Alexander Ginting dalam paparannya menjelaskan, secara global memang terjadi peningkatan kasus Covid-19, dan pemerintah terus berupaya memutus mata rantai penularan, lewat berbagai macam regulasi, dari PSBB, kini menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Dengan AKB ini, masyarakat sudah harus mulai ke luar dari rumah untuk melakukan aktifitas, bekerja, bersosialisasi, beribadah, dan melakukan semacam aktifitas perekonomian lainnya.
“Tetapi aktifitas ini berjalan tidak membuat terjadi mata rantai penularan yang semakin panjang. Sehingga apa yang kita lakukan pada AKB mengubah yang selama ini tidak kita laksanakan menjadi kita laksanakan, apa itu? Keluar rumah pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, menggunakan disinfektan, dan bagi mereka yang bergejala jangan ke luar rumah. Ini harus diterapkan,” katanya.
Menurut Alexander, peran dan kesadaran seluruh masyarakat sangat dibutuhkan, dalam penanganan Covid-19 di era AKB ini, yaitu dengan melakukan pengaktifan satuan tugas Kelurahan, RT/RW, pemanfaatan media sosial seperti whatsapp untuk memantau situasi warga, perangkat RT mencatat pergerakan keluar masuk warga, berbagi informasi langkah cepat pencegahan penularan Covid-19, melapor ke Puskesmas setempat apabila menemukan warga dengan gejala Covid-19, dan melapor apabila ada warga yang tidak bisa melakukan isolasi mandiri.
Sementara itu, Pdt. Gomar Gultom melihat, hidup berdampingan dengan Covid-19 lantaran adanya pelonggaran atau relakasasi PSBB, yang dilatari oleh stagnasi di bidang ekonomi. Jika PSBB dipertahankan maka ekonomi runtuh. Dan ini bisa menjadi pintu masuk bagi runtuhnya, secara politik, paling tidak, pemerintahan.
“Jadi sasaran sebenarnya adalah geliat ekonomi. Tetapi kita salah kaprah menganggap semuanya sudah ok. Maka beramai-ramailah kita ke super market, ke gereja, sementara kondisinya masih sangat rawan, dan penyebaran belum terkendali. Mustinya kita bertanya kepada diri kita, terutama kepada gereja-gereja, perlunya memandang lebih serius situasi sekarang ini. Saya khawatir pada akhirnya berjuang untuk ketahanan tubuhnya sendiri, mempertahankan hidupnya sendiri, bisa saja jadi herd immunity,” jelasnya.
Dalam kondisi ini, lanjut Pdt. Gomar, mereka yang lemah, yang kekurangan akses-akses, dan orangtua, akan menjadi korban. Dan, Gereja seharusnya hadir untuk mereka yang terlemah, termiskin, dan terlunta-lunta. “Oleh karenanya, menurut saya istilah hidup berdampingan dengan covid-19 ini janganlah kita maknai seolah-olah kita tidak perlu lagi berperang melawannya. Tapi justru gereja sekarang bersama Allah berperang melawan copid ini, berperang melalui upaya-upaya untuk menemukan virusnya bersama negara-negara, berperang bersama para dokter dan paramedik di rumah sakit, berperang bersama keluarga kita dengan cara mengikuti protokol kesehatan,” tegasnya.
Ketua Umum PGI melihat, yang sangat dibutuhkan sekarang ini adalah kesabaran, ketenangan, dan kearifan. Namun, pada saat yang sama, diharapkan gereja menumbuhkan harapan. Sebab harapan ini memberi perspektif baru dalam menjalani realitas, untuk membangun habitus baru.
Menurutnya, ada dua hal penting dalam habitus baru ini. Pertama, bagaimana kita meningkatkan daya tahan tubuh. Dan ini adalah pekerjaan rumah yang berat bagi gereja bagaimana mendorong semua warga jemaat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya. Kedua, menjalankan protokol kesehatan. “Tetapi yang tidak kalah penting, tetap memiliki pengharapan. Karena tanpa pengharapan kita akan mudah jatuh dalam kepanikan,” tandasnya.
Sedangkan dr. Genti Nanere mengingatkan, di tengah pandemi Covid-19 jemaat harus tetap sehat dan produktif, serta beradaptasi dengan cepat dengan situasi yang ada. Dan ini harus dimulai dari diri sendiri.
“Sekarang ini, berhubungan dengan nutrisi, kekebalan tubuh, maka yang harus dilakukan oleh warga gereja adalah pro-aktif, mulai dari diri kita sendiri. Kata kunci dari Covid-19 ini adalah kekebalan tubuh. Maka yang pertama jemaat harus bertanggungjawab tehadap diri kita sendiri dengan menjalankan perilaku baru yang harus terus dilakukan yaitu cuci tangan, jaga jarak dan pakai masker,” katanya.
Selain itu, jemaat juga harus melaksanakan perilaku hidup sehat, yang benar-benar harus dilakukan dan menjadi gaya hidup, seperti berjemur, olahraga rutin, tidur yang cukup, minum air putih sesering mungkin, dan tidak dalam kumpulan banyak orang. Juga pola makan sehat dengan mengkonsumsi sayuran berwarna hijau tua (brokoli, kelor, bayam, dan lainnya), buah yang mengandung vitamin c plus lemak baik, (pepaya, pisang, sirsak, dan lainnya), rempah-rempah, telur, ikan, kacang-kacangan, tahu, tempe, dan juice.
“Imunitas itu tidak bisa instan tetapi harus dibangun melalui pola pikir yang benar, pola makan yang benar, pola hidup yang benar, pola olahraga yang benar, dan semua harus didekatkan dengan holistic approach,” tandas Anggota Komisi Kesehatan PGI ini.
Pewarta: Markus Saragih